Industri Petrokimia RI Kalah Dibanding Malaysia dan Vietnam, Pengusaha Minta Hal Ini ke Pemerintah
Para pelaku usaha mengungkapkan bahwa ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh industri ini.
Industri petrokimia memiliki peranan yang sangat vital dalam mendukung sektor hulu manufaktur di Indonesia. Produk kimia yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh berbagai industri, seperti industri plastik, tekstil, farmasi, kosmetik, dan obat-obatan.
Namun, para pelaku usaha mengungkapkan bahwa ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh industri ini.
Achmad Widjaja, Ketua Komisi Tetap Industri Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menyatakan bahwa partisipasi swasta sangat penting untuk pengembangan industri hulu, tetapi mereka menghadapi kesulitan karena banyaknya kebijakan yang tidak mendukung.
Salah satu contohnya adalah investasi dari luar negeri, seperti Lotte Group, yang memerlukan waktu lama sebelum dapat beroperasi di Indonesia.
"Seperti Lotte kan sampai makan waktu berapa tahun itu. Hal ini menjadi koreksi pemerintah," ungkap Achmad.
Untuk menarik lebih banyak investor asing agar bersedia memasuki pasar domestik, pemerintah perlu menyediakan paket kebijakan yang menarik, termasuk memberikan tax holiday yang lebih panjang.
Hal ini penting karena pembangunan pabrik di sektor petrokimia memerlukan waktu minimal tiga tahun.
"Nah itu harus dibebasin pajak lah yang paling penting. Investasi tax holiday-nya 20 tahun. Kalau nggak kan nggak bisa orang investasi. 20 tahun minimum seperti di Vietnam. Kita kalah sama Vietnam sama Malaysia karena memang mereka kasih minimum 20 tahun. Petrochemical kan sekali investasi umpamanya USD 20 miliar gitu lho," jelas Achmad Widjaja.
Investasi di sektor petrokimia dapat membantu Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, yang menjadi harapan Presiden Prabowo Subianto. Namun, pemerintah harus menciptakan iklim investasi yang kondusif agar industri dapat berkembang lebih luas.
Achmad Widjaja juga menekankan bahwa untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, terdapat satu langkah yang harus diambil.
"Untuk mencapai 8 persen caranya cuma satu. 5 persen itu kan sudah diberikan secara cuma-cuma sejak covid tidak pernah turun, yaitu kontribusi industri primer, tambang dan lain-lain. 3 persen itu pemerintah cukup menjaga iklim pengolahan industri. Untuk menjaga iklim perekonomian yang menuju 8 persen, 3 persen itu industri sekunder menjadi kontribusi dari industrialisasi pengolahan. Untuk itu jangan terlalu banyak mengeluarkan peraturan-peraturan baru atau Kepmen-Kepmen atau kebijakan baru," tambahnya.
Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan industri petrokimia dapat semakin berkembang dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Kondisi Industri Migas
Industri petrokimia di Indonesia sangat tergantung pada kondisi minyak dan gas bumi sebagai bahan baku utama. Untuk mencapai perkembangan industri yang lebih terencana, peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti Pertamina, menjadi sangat krusial, terutama dalam pengelolaan sektor hulu untuk melaksanakan Refinery Development Master Plan (RDMP).
"Sejak demokrasi, belum pernah ada BUMN-BUMN yang ditugaskan oleh pemerintah untuk melakukan penanaman modal dalam negeri dengan full hulunya, terutama di Pertamina. Integrated plan-nya yang disebut RDMP kan. RDMP itu tidak berjalan, kilang tidak jalan, semuanya nggak jalan," kata Achmad Widjaja.
Menurutnya, BUMN bisa diberi tugas total untuk berkontribusi dalam revolusi industri di sektor hulu.
Di sisi lain, Hari Supriyadi, Ketua Komisi Tetap Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, berpendapat bahwa salah satu regulasi yang sangat dibutuhkan oleh dunia usaha adalah adanya kepastian berkelanjutan dalam investasi di sektor petrokimia, seperti kontrak jangka panjang untuk pasokan gas.
"Dan kita kontraknya itu jangan pendek-pendek. Gimana kita bisa hilirisasi, gimana kita bisa ekspansi? Kontrak gas itu cuma lima tahun, nggak bisa. Karena industri petrochemical kan hidupnya harus 20 tahun, investasinya triliunan," jelasnya.
Selain masalah kontrak, ada juga kebutuhan untuk menetapkan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang bersifat merata bagi semua pelaku industri petrokimia. Sayangnya, tidak semua pihak merasakan kebijakan tersebut, yang menetapkan harga USD 6 per MMBTU. Meskipun industri petrokimia termasuk dalam tujuh sektor prioritas, Hari menekankan,
"Atau bahkan bisa lebih rendah lagi dari US$ 6 per MMBTU. Dan semua industri no one left behind, sekarang kan dipilih-pilih, dipilih-pilih yang tertentu." Ia menambahkan bahwa seharusnya semua perusahaan yang sudah direkomendasikan oleh Kementerian Perindustrian mendapatkan dukungan, namun pelaksanaan dari ESDM tidak berjalan sesuai harapan.
Tampung Ribuan Tenaga Kerja
Jika sektor petrokimia dapat berkembang dengan pesat, maka akan ada lebih banyak kesempatan kerja yang tersedia. Saat ini, perusahaan-perusahaan besar dalam industri petrokimia mampu menyerap ribuan tenaga kerja, termasuk yang terlibat dalam rantai pasok.
"Kalau kita tidak bisa terutilisasi 100 persen, makin turun, ya, otomatis sejalan dengan tenaga kerja. Meskipun industri petrokimia bukan padat karya tetapi tetap akan mempengaruhi. Karena industri petrokimia tetap ada rantai pasoknya, ada vendor-vendor kecil. Kalau kita menurun kan mereka juga akan menurun. Jelas berdampak. Jadi rantai pasok yang mungkin terdampak tuh sampai ribuan orang juga," sebut Hari.
Di sisi lain, Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin, Wiwik Pudjiastuti, menjelaskan bahwa pemerintah terus berupaya untuk menciptakan kondisi yang lebih baik bagi industri petrokimia. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan memantau produk impor melalui pengembangan instrumen neraca komoditas. Sistem ini sangat penting karena produk petrokimia dan turunannya masih didominasi oleh barang-barang impor.
Sementara itu, industri petrokimia dalam negeri sedang berusaha untuk memperkuat rantai pasok produksinya. Menurut catatan Kemenperin, kapasitas produksi produk petrokimia nasional seperti olefin mencapai 9,72 juta ton, produk aromatik 4,61 juta ton, serta metanol dan turunannya sebesar 980.000 ton. "Untuk penguatan struktur industri, yang perlu memang untuk penguatan salah satunya adalah melakukan integrasi industri hulu dan hilir," tuturnya.