Kurs Rupiah Terus Merosot, PPN 12 Persen Hingga Gonjang-Ganjing Politik Jadi Pemicu
Berbagai faktor eksternal dan internal menjadi penyebab utama melemahnya mata uang Indonesia ini.
Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS atau USD kembali mengalami pelemahan yang signifikan. Rupiah terdepresiasi hingga 54 poin, menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar dan masyarakat. Prediksi penguatan Rupiah di akhir tahun ternyata tidak terwujud, dan hingga kini tren pelemahan terus berlanjut.
Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi mengungkapkan bahwa berbagai faktor eksternal dan internal menjadi penyebab utama melemahnya mata uang Indonesia ini.
Secara eksternal, salah satu faktor utama adalah kebijakan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed). Menurut Ibrahim, pada tahun 2025, kemungkinan besar The Fed tidak akan menurunkan suku bunga sebanyak yang diperkirakan sebelumnya.
"Salah satunya adalah The Fed yang kemungkinan besar Tahun 2025 tidak akan menurunkan suku bunga lebih banyak lagi," kata Ibrahim dalam keterangan yang diterima, Jumat (27/12).
Dia menjelaskan, jika kebijakan Presiden Donald Trump di masa mendatang bertentangan dengan kondisi pasar, bahkan ada potensi The Fed menaikkan suku bunga. Hal ini mendorong penguatan dolar AS, yang secara langsung melemahkan nilai tukar Rupiah.
"Bahkan kalau kebijakan-kebijakan Trump nanti berlawanan dengan pasar, kemungkinan besar Bank Sentral Amerika tidak menurunkan suku bunga, bahkan bisa saja menaikkan suku bunga, itu yang pertama," jelas dia.
Kedua, faktor geopolitik juga turut memperburuk situasi. Konflik yang masih berlangsung di Timur Tengah serta ketegangan antara Rusia dan Ukraina memanaskan situasi global, terutama di kawasan Eropa. Gejolak ini memperkuat posisi Dolar AS sebagai aset safe haven di tengah ketidakpastian.
Selain itu, kondisi ekonomi China yang masih bermasalah juga memberi dampak besar. Sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, perlambatan di China mempengaruhi banyak negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Ibrahim menjelaskan bahwa masalah ekonomi di Tiongkok menyebabkan guncangan di kawasan Asia, yang pada akhirnya memengaruhi ekonomi global.
"Ini membuat kondisi perekonomian di kawasan Asia ya ini mengalami satu permasalahan dan ini berdampak terhadap ekonomi global karena kita melihat bahwa Tiongkok adalah salah satu negara ekonomi terbesar kedua di dunia," paparnya.
Pengaruh Sisi Domestik
Dari sisi domestik, terdapat beberapa isu yang turut melemahkan Rupiah. Pertama, penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada awal tahun 2025 menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar.
Menurutnya, kebijakan ini dianggap tidak tepat waktu, mengingat kondisi ekonomi global yang tidak stabil. Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan penundaan kebijakan tersebut untuk meringankan beban ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.
"Nah di sisi lain pun juga secara internal bahwa investor ya saat ini masih tertuju dengan PPN 12 persen yang ini menjadi satu blunder ya karena memang pemerintah sudah apa undang-undang ini menganjurkan untuk dijalankan di bulan Januari ya tetapi dengan kondisi ekonomi global yang bermasalah yang berdampak terhadap ekonomi di Indonesia ya apalagi kelas menengah ke bawah," paparnya.
Kedua, dinamika politik dalam negeri juga memberi kontribusi. Ibrahim menyebut gonjang-ganjing politik yang terjadi, seperti penetapan salah satu tokoh penting PDIP sebagai tersangka, menciptakan ketidakpastian di pasar.
Kondisi ini membuat investor asing enggan menanamkan modal di Indonesia, bahkan banyak yang menarik dana investasinya. Hal ini menyebabkan arus modal keluar dari Indonesia meningkat pada saat yang tidak diharapkan.
"Investor asing pun juga enggan untuk kembali masuk bahkan banyak dana-dana asing yang keluar yang seharusnya ya di akhir-akhir tahun ini adalah tidak terlalu signifikan dana arus modal yang keluar tetapi rupanya ini cukup mengagetkan," ungkapnya.
Meskipun Bank Indonesia (BI) terus melakukan intervensi di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, langkah tersebut belum cukup untuk menahan Rupiah di bawah level Rp16.000 per dolar AS. Situasi ini menunjukkan upaya stabilisasi masih memerlukan strategi yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan baik dari dalam maupun luar negeri.
"Nah walaupun Bank Indonesia terus melakukan intervensi ya di pasar untuk menstabilkan mata uang rupiah tetapi dengan kondisi saat ini belum bisa mempertahankan ya mata uang rupiah itu di bawah Rp16.000," Ibrahim mengakhiri.