Nelayan Bakal Rugi Rp2 Triliun Jika Pemerintah Memaksakan Ekspor Pasir Laut
Penambangan pasir laut berdampak pada kerusakan habitat laut yang sulit untuk diperbaiki dalam jangka panjang.
Center of Economic and Law Studies (Celios) menyampaikan hasil studi terkait keputusan pemerintah melonggarkan ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024.
Studi yang dilakukan lembaga penelitian ekonomi dan kebijakan publik, CELIOS mengungkapkan meskipun ekspor pasir laut diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi para pengusaha dan pendapatan negara, namun potensi keuntungan bagi negara terbilang kecil.
Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda menyampaikan Simulasi yang dilakukan menemukan dampak negatif pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp1,22 triliun, dan pendapatan masyarakat akan menurun hingga Rp1,21 triliun.
"Jadi studi ini memberikan respon atas berbagai klaim pemerintah bahwa ekspor pasir laut akan meningkatkan keuntungan ekonomi dan pendapatan negara. Klaim itu ternyata berlebihan," kata Nailul Huda, dalam laporannya, Rabu (2/10).
Sementara itu pendapatan negara estimasinya hanya bertambah Rp170 miliar jika menghitung dampak tidak langsung ke sektor lapangan usaha secara keseluruhan.
Celios menilai, jika pengusaha ekspor pasir laut mendapat keuntungan sebesar Rp502 miliar, namun terdapat kerugian yang dialami oleh pengusaha di bidang perikanan.
"Modelling ekonomi yang dilakukan CELIOS memvalidasi bahwa narasi penambangan pasir laut akan mendorong ekspor dan penerimaan negara secara signifikan tidaklah tepat. Penerimaan negara dari pajak tidak mampu menutup kerugian keseluruhan output ekonomi yang berisiko turun Rp1,13 triliun," ujar Nailul Huda.
Nelayan Terancam Kehilangan Pendapatan
Studi juga menunjukkan bahwa setiap peningkatan ekspor pasir laut berisiko mengurangi produksi perikanan tangkap. Akibat adanya ekspor pasir laut sejumlah 2,7 juta m3, ada penurunan nilai tambah bruto sektor perikanan yang ditaksir mencapai Rp1,59 triliun. Ditaksir pendapatan nelayan yang hilang Rp990 miliar dan berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor perikanan sebesar 36.400 orang.
Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira, menambahkan bahwa ekspor pasir laut justru berisiko menciptakan pengangguran di kawasan pesisir. Model penambangan pasir laut dengan kapal isap dan pengangkutan tongkang juga cenderung padat modal (capital intensive) bukan padat karya (labor intensive).
"Tidak ada korelasi ekspor pasir laut dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing," ujarnya.
Lebih lanjut penambangan pasir laut menyebabkan degradasi ekosistem laut yang berdampak pada perikanan tangkap. Masyarakat pesisir, terutama nelayan, terancam kehilangan mata pencaharian akibat penurunan hasil tangkapan ikan.
"Data historis sebelumnya pada tahun 2001 hingga 2009 ikut menunjukkan korelasi negatif antara peningkatan ekspor pasir laut dan produksi perikanan tangkap," lanjut Huda.
Selain itu, penambangan pasir laut juga berdampak pada kerusakan habitat laut yang sulit untuk diperbaiki dalam jangka panjang.
“Indonesia akan kehilangan potensi Blue Carbon dan ekosistem ekonomi biru jika eksploitasi pasir laut dilanjutkan. Padahal diperkirakan Indonesia memiliki potensi 17 persen karbon biru dari total seluruh dunia, setara 3.4 Giga ton. Hal ini selaras dengan target pemerintahan kedepan yang ingin mengoptimalkan kredit karbon US$65 miliar atau Rp994,5 triliun," kata Bhima.
Oleh karena itu, opsi pembangunan pesisir dan kelautan secara berkelanjutan jauh lebih menguntungkan dibandingkan praktik ekspor pasir laut yang merusak ekosistem ekonomi biru.
Rekomendasi CELIOS
Untuk mengatasi permasalahan ini, CELIOS memberikan sejumlah rekomendasi, diantaranya:
1. Mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 serta aturan turunannya guna melindungi ekosistem pesisir dan kesejahteraan nelayan lokal.
2. Menghentikan seluruh proses penerbitan izin penambangan pasir laut baik untuk domestik dan ekspor.
3. Mendorong potensi ekonomi restoratif di pesisir yang selaras dengan perlindungan lingkungan hidup seperti pengolahan produk perikanan bernilai tambah, budidaya rumput laut, dan ekowisata berbasis pesisir.
4. Menyusun program restorasi ekosistem laut yang rusak akibat pencemaran air, penebangan hutan mangrove, rusaknya terumbu karang, dan reklamasi pantai.