Hati Bung Tomo 'Teriris' Lihat Tangisan Fatmawati di Atas Kapal
"Bu Fat nangis di geladak," Ucap Bung Tomo.
Pada 1950an, Jakarta diguncang berita percintaan Bung Karno dengan wanita bernama Hartini. Hal itu tentu menuai banyak pertentangan dan mengundang banyak reaksi. Termasuk Bung Tomo.
Bung Tomo pertama kali mengetahui kisah percintaan Bung Karno, dari Bambang Soegeng kepala staff TNI Angkatan Darat datang ke kantor pusat BPRI. Dengan raut muka yang serius Bambang menyampaikan sebuah berita mengejutkan tentang Sukarno kepada Bung Tomo.
-
Di mana Fatmawati bertemu dengan Soekarno? Peninggalan rumah Fatmawati di Bengkulu ini dulunya menjadi saksi bisu pertemuan dirinya dengan Presiden Soekarno saat pengasingan.
-
Siapa yang mengenalkan Soeharto kepada Siti Hartinah? Rupanya mereka sudah punya calon. Wanita itu adalah Siti Hartinah. Teman sekelas adik Soeharto, saat sekolah di Wonogiri.
-
Mengapa rumah Fatmawati menjadi saksi bisu kisah percintaan Soekarno dan Fatmawati? Setelah menjalin asmara, mereka berdua memutuskan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. Rumah dengan luas 500 meter itu menjadi saksi bisu kisah percintaan Soekarno dan Fatmawati.
-
Dimana Soekarno diasingkan? Penganan Pelite rupanya juga menjadi kue favorit Bung Karno saat berada dipengasingan di Kota Muntok sekitar tahun 1949.
-
Siapa yang pernah menolak perintah Presiden Soeharto? Ia pernah menolak perintah Presiden Soeharto dan menjelaskan kesalahan sang kepala negara memberi perintah tersebut
-
Kenapa Presiden Soekarno marah kepada para pengawalnya? Presiden Sukarno sangat memperhatikan kebersihan di Istana,Bung Karno bahkan tak segan turun tangan menyapu taman atau jalan di dalam Istana untuk memberi contoh anak buahnya.
"Waduh gawat, Bung Karno pacaran dengan seorang wanita dari Salatiga. Seorang wanita yang masih mempunyai suami. Sudah kita peringatkan, tetapi Bung Karno ngotot hendak dinikahi," Ucap Bambang serius yang ditulis Sulistina dalam buku Bung Tomo Suamiku.
"Astagfirullah, bagaimana ya Pak Bambang, itukan merusak pager ayu. Nanti bagaimana ya akibatnya?" Jawab Bung Tomo.
Mendengar berita yang disampaikan Bambang Soegeng tadi membuat hati Bung Tomo sedih dan khawatir. Sebagai seorang pejuang kemerdekaan untuk negara, di tengah negara masih butuh banyak berbenah, sang kepala Negara justru ingin kawin lagi.
Bung Tomo mempertanyakan bagaimana negara kita ini nantinya. Terlepas dari Sukarno yang ingin kawin lagi, Bung Tomo meyakini satu hal bahwa yang menyebabkan negara hancur adalah 'HARTA-TAHTA-WANITA'.
Jadi Saksi Tangisan Fatmawati
Mengisi waktu senggang Bung Tomo membuat Harian Kapal. Pada suatu kesempatan Bung Tomo diajak oleh Sukarno ke NTT naik kapal perang Bintang Jadayat. Rombongan presiden itu ada Ibu Fatmawati, B.M. Diah dan istri, Bambang Soegeng, ada ulama dan para ajudan kepresidenan.
Dalam perjalanan di atas kapal, saat Bung Tomo akan memberikan bulletin kepada Bambang Soegeng, ia bertemu Ibu Fatmawati yang sedang bersandar di pagar kapal, memandang laut dengan wajah sayu.
"Bu Fat nangis di geladak," Ucap Bung Tomo pada Bambang Soegeng.
"Lho, kan Bung Karno sudah jadi nikah lagi! Suasana sedang tegang," Jawab Bambang Soegeng.
Mendengar itu Bung Tomo merasa sangat kecewa. Jelas berita itu mengiris hati Bung Tomo yang terkenal romantis, bahkan istrinya membenarkan bahwa Bung Tomo adalah orang yang romantis dan sangat menjaga perasaan istrinya.
Hubungan Buruk Antara Sukarno dan Bung Tomo
Setelah menyaksikan Ibu Negara menangis di kapal perang Bintang Jadayat. Bung Tomo sempat menanyakan kebenaran berita sang presiden yang menikah lagi.
Pagi hari di istana negara, Bung Tomo diundang datang untuk sarapan. Selepas makan Bung Tomo bertanya pada Sukarno. Sayangnya pertanyaan Bung tomo dijawab dengan penuh emosi.
"Kowe iki ngerti opo, arek enom, kok! (Kamu itu mengerti apa, anak muda!)" Ucap Sukarno kencang.
Pagi itu terjadi cekcok antara Bung Tomo dan Sukarno. Hubungan mereka setelahnya bisa dikatakan merenggang. Bahkan Bung Tomo pernah menggugat Sukarno ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 24 Agustus 1960 karena membubarkan DPR melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Reporter Magang: Ita Rosyanti