Menilik Kehidupan Petani Blitar pada Masa Jawa Kuno, Pajak Sawah Naik karena Korupsi Dinas Agraria
Korupsi ternyata sudah ada di negeri ini sejak zaman dulu kala.
Korupsi ternyata sudah ada di negeri ini sejak zaman dulu kala.
Menilik Kehidupan Petani Blitar pada Masa Jawa Kuno, Pajak Sawah Naik karena Korupsi Dinas Agraria
Setiap 21 Juni diperingati sebagai Hari Krida Pertanian. Hari ini merupakan momen untuk mengenang, menghargai para petani, peternak, pegawai dan pengusaha yang bergerak di dunia pertanian.
- Terbukti Korupsi Dana Hibah Rp3,5 M, Eks Ketua KONI Sumsel Divonis 1 Tahun Penjara
- Dijebloskan ke Tahanan, Ini Peran Politikus NasDem Ujang Iskandar Dalam Kasus Korupsi Dana Pemkab Kotawaringin Barat
- Kejagung Usut Korupsi Proyek Jalur Kereta Api di Medan, Kerugian Negara Rp1,1 Triliun
- Korupsi Dana Bencana Rp1,1 Miliar, Kepala BPBD Siak Jadi Tersangka
Kondisi Terkini
Mengutip situs resmi BPS Kabupaten Blitar, saat ini jumlah petani berusia 19-39 tahun dan/atau yang menggunakan teknologi digital di Kota Blitar sebanyak 133.224. Rinciannya, petani milenial laki-laki sebanyak 118.742 orang, sementara petani milenial perempuan sejumlah 14.482 orang.
Era Jawa Kuno
Petani bukan profesi baru. Profesi petani sudah ada di Blitar sejak zaman Jawa Kuno atau masa Hindu-Buddha. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Prasasti Kinewu pada tahun 907 masehi.
Pertanian lahan basah biasanya untuk tanaman padi. Sementara pertanian lahan kering digunakan tanaman padi gogo, sayur-sayuran, umbi-umbian, dan rempah-rempah.
Korban Korupsi
Kehidupan petani pada masa itu sangat tergantung dengan kebijakan penguasa lokal. Saat itu, para petani sengsara karena pajak sawah mereka naik. Mengutip Instagram @blitarbercerita_ tingginya pajak yang dikenakan kepada petani terjadi karena adanya penyelewengan pajak upeti hasil tani oleh Dinas Agraria Kerajaan Mataram Kuno.
Para petani pun tidak terima. Mereka melakukan protes kepada Raja Balitung karena tingginya pajak sawah yang diterapkan kepada rakyat.
Sebelumnya, para petani melakukan protes kepada penguasa wilayah Randaman, Rakryan i Raņdaman pu Wama.
Mereka pun harus membawa sejumlah barang seperti suwarna emas dan kerbau untuk memuluskan permintaan mereka pada Rakryan i Raņdaman pu Wama. Sayangnya, sebelum mengabulkan permintaan pertani, pu Wama meninggal dunia.
Pasca meninggalnya pu Wama, para petani bertekad mengajukan protes langsung ke sang raja.
Mengutip Wikipedia, sang raja akhirnya memberikan bantuan kepada ratna (kepala desa) di Desa Kinewu berupa pembebasan pajak. Setelah mereka mengeluh tidak sanggup lagi menggarap sawah karena diwajibkan menyerahkan katik 28 orang dan gawai 8 masa.
Sang raja mengabulkan permohonan mereka. Ia menetapkan para rama di Kinewu mempunyai sawah 6 lamwit dan harus menyerahkan jumlah pajak yang lebih sedikit dari sebelumnya, yakni katik 12 orang dan gawai 6 masa.