Curhat mahasiswa Bumi Cenderawasih saat menimba ilmu di tanah Jawa
Anggapan pemberontak selalu dilekatkan kepada mereka.
Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta, kemarin mendadak ramai. Bukan karena aksi pengepungan seperti terjadi pada Jumat (15/7) lalu, tetapi karena kehadiran sejumlah anggota DPRD dan Pemprov Papua.
Mahasiswa Papua se-Jawa berkumpul di sana. Anggota legislatif dan Pemprov Papua itu menggali informasi dan keterangan seputar pengepungan dilakukan polisi dan ormas, di asrama mahasiswa Papua itu pada 14-15 Juli lalu.
"Kami dengar dari Papua sana bahwa ada masalah antara mahasiswa Papua di Yogya dengan kepolisian pada tanggal 15 Juli. Akhirnya kami datang ingin dengar secara langsung apakah benar ada mahasiswa yang dipukul kepolisian," kata Ketua Komisi 1 DPRD Papua, Elvis Tabunyi.
Dalam pertemuan itu mereka mendengarkan keterangan perwakilan mahasiswa Papua di Jawa Barat. Mereka juga mengalami nasib serupa seperti sejawat di Yogyakarta.
"Kawan-kawan Papua di Jawa barat melakukan ibadah hari besar bangsa Papua 1 Desember pada tahun 2012. Tetapi Kapolda Jawa barat malah memblokade asrama. Sehingga mahasiswa Papua tidak bisa keluar asrama selama tiga hari," kata perwakilan mahasiswa Papua di Jawa Barat membawahi Cianjur, Sukabumi, Depok, dan Kabupaten Bogor, Yunus Gobay.
Hal serupa juga dialami oleh mahasiswa Papua di wilayah Jawa Timur. Perwakilan mahasiswa Papua di Jawa Timur, Misatius Morip mengatakan, mereka bahkan pernah dianggap hendak melakukan makar.
"Kami di Jawa Timur juga mendapatkan teror rasisme. Kita melakukan kegiatan dianggap makar. Kita bukan separatis, status kami jelas bahwa kami mahasiswa," kata Misatius Morip.
Anggota Komisi I DPRD Papua lainnya, Tany Long, menyatakan ucapan Sultan HB X justru memperparah kondisi mahasiswa Papua di kota gudeg itu.
Sejawat Tany, Laorensius Kadepa, menyatakan tidak bisa menghalangi niat mahasiswa Papua yang hendak kembali ke kampung halaman karena dituding separatis, dan mendapat diskriminasi. Menurut dia, itu merupakan hak mahasiswa Papua.
Anggota Komisi 1 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua, Wilhelmus Pigai mengatakan, Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta mestinya menggunakan pendekatan humanis. Tindakan represif polisi dinilai justru menciderai semangat persatuan.
"Kami sakit hati karena orang Papua diperlakukan seperti itu. Dogma bahwa kami separatis itu salah. Pendekatan untuk rakyat Papua tidak boleh menggunakan pendekatan yang berwatak militeristik," kata Wilhelmus Pigai.
Wilhelmus merasa keberatan dengan lelaku aparat keamanan terhadap mahasiswa Papua. Menurutnya tindakan represif aparat justru menciptakan pelanggaran hak asasi manusia.
"Nasionalisme kami akan hancur, jika mendapat pengamanan yang represif," tutup Wilhelmus.