Kejagung dan Polri Bantah Tutup Pintu Koordinasi, Ini Respons KPK
Kejagung dan Polri Bantah Tutup Pintu Koordinasi, Ini Respons KPK
Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Polri kompak membantah menutup pintu koordinasi dan supervisi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama jika personel mereka yang tengah diselidiki lembaga antirasuh.
- Kejagung Jawab Pimpinan KPK: Jika Ada Menengarai Tutup Pintu Koordinasi dan Supervisi Sebaiknya Diungkap
- KPK Akui Ada Masalah Hubungan Kelembagaan dengan Polri dan Kejaksaan
- Ketua KPU Bicara Persiapan Hadapi Sengketa Pemilu 2024 di MK
- Kejagung Koordinasi dengan KPK Tangani Kasus LPEI, Tidak Ingin Ada Tumpang Tindih
Kejagung dan Polri Bantah Tutup Pintu Koordinasi, Ini Respons KPK
Merespons bantahan dari Kejagung dan Polri, Wakil ketua KPK Nurul Ghufron mengaku bersyukur. Menurutnya, hal itu merupakan komitmen dari dua kedua lembaga tersebut.
"Saya bersyukur, artinya itu adalah komitmen, dan tentu kami akan tindak lanjuti bahwa beliau menyampaikan tidak ada kendala dalam proses koordinasi maupun supervisi," kata Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (3/7).
Ghufron juga menilai pernyataan Kejagung dan Polri bakal menjadi komitmennya ke depan, dalam mengusut kasus pemberantasan korupsi.
"Kami anggap itu sebagai sebuah komitmen," ujar dia.
Diketahui, Kejagung membantah menutup pintu koordinasi dengan KPK. Salah satu bentuk komitmen mereka dalam koordinasi dengan KPK yakni dengan menyiapkan jaksa pada saat sidang perkara kasus korupsi.
Hal senada juga disampaikan pihak Polri.
Salah satu bentuk komitmen Polri adalah menempatkan anggotanya di tubuh lembaga antirasuah.
Kedua lembaga itu juga menegaskan sama-sama siap membantu dalam menindak kasus rasuah.
Pernyataan dari Kejagung dan Polri itu menjawab statemen Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Dia mengungkapkan bahwa koordinasi dan supervisi antara lembaga antirasuah itu dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung RI tidak berjalan dengan baik.
Menurutnya, ego sektoral antarlembaga-lembaga tersebut masih terjadi sehingga menghambat koordinasi. Terlebih, koordinasi cenderung tertutup jika KPK menindak adanya oknum di lembaga-lembaga itu yang terjerat korupsi.
"Egosektoral masih ada, masih ada. Kalau kami menangkap jaksa misalnya, tiba-tiba dari pihak Kejaksaan menutup pintu koordinasi supervisi, sulit. Dengan kepolisian juga demikian," kata Alexander di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (1/7).
Dia mengatakan, penindakan korupsi di Indonesia berbeda dengan negara-negara lainnya yang lebih sukses, khususnya jika dibandingkan dengan Singapura dan Hong Kong.
Untuk menangani hal itu, dia mengatakan KPK pada beberapa waktu lalu telah berkomunikasi dengan Menkopolhukam Hadi Tjahjanto untuk mencermati masalah tersebut.
Dia pun meminta agar Menkopolhukam bisa memfasilitasi koordinasi antara tiga lembaga yang sama-sama menangani masalah korupsi. Dia meyakini tidak akan ada sikap ego sektoral jika yang memfasilitasi koordinasi tersebut merupakan lembaga yang lebih tinggi.