Penelitian Terbaru Buktikan Manusia Masih Terus Berevolusi, Salah Satunya di Tibet Ini
Evolusi pada tubuh manusia masih terus terjadi hingga saat ini dan hal ini terbukti pada yang dialami sejumlah orang di Tibet.
Evolusi manusia bukanlah cerita masa lalu. Saat ini, di Dataran Tinggi Tibet, bukti nyata tentang bagaimana manusia terus beradaptasi dengan lingkungan ekstrem mulai terungkap. Studi terbaru menunjukkan bahwa penduduk di wilayah ini mengalami perubahan biologis yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup di ketinggian yang sangat tinggi, di mana udara lebih tipis dan kadar oksigen jauh lebih rendah dibandingkan dataran rendah.
Dalam ribuan tahun terakhir, adaptasi ini berkembang secara alami dan berlanjut hingga sekarang. "Adaptasi terhadap hipoksia di dataran tinggi sangat menarik karena stres yang dihadapi sangat berat, dialami oleh semua orang yang hidup di ketinggian yang sama, dan dapat diukur secara kuantitatif," ungkap antropolog Cynthia Beall dari Case Western Reserve University di Amerika Serikat.
-
Apa yang diteliti para ilmuwan terkait evolusi manusia berjalan tegak? Pertanyaan seputar evolusi sikap bipedal dari nenek moyang yang berjalan dengan empat kaki telah lama menjadi misteri yang menantang para ilmuwan.
-
Siapa yang meneliti tentang evolusi manusia berjalan tegak? Penelitian terbaru ini berfokus pada daerah tulang telinga bagian dalam tengkorak Lufengpithecus.
-
Apa yang dimaksud dengan ketidakcocokan evolusi dan dampaknya terhadap manusia? Ketidakcocokan evolusi terjadi ketika adaptasi fisik maupun psikologis tidak lagi sesuai dengan lingkungan. Dilansir Live Sciene, hal serupa juga terjadi pada manusia. Contoh klasiknya adalah kesukaan kita terhadap makanan manis, yang pada masa lalu membantu nenek moyang kita mencari makanan kaya kalori di lingkungan yang kekurangan nutrisi. Namun, di dunia modern, di mana perusahaan makanan memproduksi makanan tinggi gula dan lemak secara massal, sifat ini justru merugikan. Dampaknya adalah kerusakan gigi, obesitas, dan diabetes.
-
Mengapa penemuan ini penting untuk evolusi manusia? Memahami hal ini dengan lebih baik dapat membantu mengungkap bagaimana nenek moyang manusia, atau hominin, yang pertama kali muncul di Afrika pada masa itu, menjadi bipedal atau berjalan dua kaki. Perubahan lingkungan dianggap sebagai "pemicu penting" yang mendorong hominin berjalan dengan dua kaki, tulis para peneliti dalam penelitian tersebut.
-
Bagaimana cara kita memahami hubungan evolusi antara manusia dan simpanse? Cara lebih baik untuk memahami evolusi--terutama evolusi manusia--adalah kita merupakan sepupu simpanse dan kera besar lainnya, bukan keturunannya.
-
Bentuk tangan manusia seperti apa di tahun 3000? Umat manusia mungkin berevolusi untuk memiliki cakar, bukan bentuk tangan saat ini untuk memegang ponsel pintar. Leher manusia mungkin ditekuk agar lebih nyaman melihat komputer pribadi. Manusia bahkan mungkin menjadi bungkuk, seperti yang kadang terjadi di masa lalu.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences ini menyoroti bagaimana manusia terus berevolusi untuk menghadapi tantangan lingkungan yang berat.
Tantangan Hidup di Ketinggian
Bagi kebanyakan orang yang tinggal di dataran rendah, ketinggian yang tinggi sering kali berbahaya. Pendaki gunung atau wisatawan yang mencapai ketinggian tinggi sering kali mengalami penyakit ketinggian akibat penurunan tekanan atmosfer.
Kondisi ini menyebabkan tubuh kekurangan oksigen yang cukup, sehingga sering mengakibatkan sesak napas, kelelahan, bahkan dapat berujung pada kondisi serius seperti edema paru. Namun, penduduk asli di Dataran Tinggi Tibet telah hidup di sana selama lebih dari 10.000 tahun dan mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut.
Beall dan timnya meneliti 417 wanita yang tinggal di daerah Nepal, pada ketinggian lebih dari 3.500 meter di atas permukaan laut. Studi ini meneliti berbagai faktor fisiologis yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup dalam kondisi hipoksia kronis, yaitu kondisi ketika tubuh kekurangan oksigen yang memadai.
Rahasia di Balik Kemampuan Bertahan Hidup
Salah satu temuan penting dari penelitian ini adalah bagaimana hemoglobin—protein dalam sel darah merah yang bertanggung jawab untuk mengangkut oksigen ke jaringan tubuh—berperan penting dalam keberhasilan reproduksi wanita di ketinggian tinggi.
- Apakah Manusia Masih Terus Mengalami Evolusi Hingga Saat Ini? Ketahui Perubahan yang Terjadi
- Seiring Zaman, Mengapa Lutut Manusia Semakin Lemah dan Tidak Berevolusi Jadi Semakin Kuat?
- Kata Ilmuwan, Inti Bulan Ternyata Padat dan Mirip Besi
- Meneruskan Teori Darwin, Ilmuwan Soroti Bagaimana Pertama Kali Manusia Bisa Berjalan Tegak?
Para peneliti menemukan bahwa wanita dengan tingkat oksigenasi hemoglobin yang tinggi memiliki tingkat kelahiran hidup yang lebih baik. Namun, menariknya, wanita dengan tingkat hemoglobin yang tidak terlalu tinggi atau rendah, tetapi justru pada kisaran rata-rata, memiliki tingkat kelahiran hidup yang paling tinggi di antara kelompok penelitian.
Hal ini menunjukkan bahwa adaptasi biologis yang terjadi pada penduduk Tibet adalah kemampuan untuk mengoptimalkan pengangkutan oksigen tanpa menebalkan darah secara berlebihan, yang dapat memberikan tekanan lebih pada jantung.
"Sebelumnya kami mengetahui bahwa kadar hemoglobin yang lebih rendah lebih bermanfaat, namun kini kami memahami bahwa nilai sedang justru memberikan manfaat terbesar," ujar Beall.
Tidak hanya itu, wanita dengan tingkat keberhasilan reproduksi tertinggi juga memiliki aliran darah yang lebih cepat ke paru-paru dan ukuran ventrikel kiri jantung yang lebih besar dari rata-rata. Ventrikel kiri jantung bertugas memompa darah beroksigen ke seluruh tubuh. Kombinasi dari karakteristik-karakteristik ini membantu tubuh manusia untuk memaksimalkan penggunaan oksigen yang minim di udara yang dihirup pada ketinggian tinggi.
Seleksi Alam yang Masih Berlangsung
Apa yang terjadi pada penduduk Tibet ini adalah contoh seleksi alam yang sedang berlangsung. Wanita yang mampu melahirkan lebih banyak anak cenderung menurunkan sifat-sifat fisik yang membantu mereka bertahan hidup di lingkungan yang keras. Anak-anak yang mewarisi sifat-sifat ini pun memiliki peluang lebih besar untuk bertahan hidup hingga dewasa dan meneruskan keturunan.
Namun, selain faktor biologis, faktor budaya juga turut berperan. Wanita yang menikah muda dan memiliki pernikahan yang panjang memiliki lebih banyak kesempatan untuk hamil, yang berkontribusi pada tingginya jumlah kelahiran hidup. Meskipun begitu, Beall mencatat bahwa faktor fisiologis tetap memiliki pengaruh besar. Wanita yang fisiologinya mirip dengan wanita di lingkungan dataran rendah yang tidak stres memiliki tingkat keberhasilan reproduksi yang lebih tinggi.
"Ini adalah contoh nyata seleksi alam yang terus berlangsung," kata Beall. “Memahami bagaimana populasi seperti ini beradaptasi memberikan kita wawasan yang lebih baik tentang proses evolusi manusia."
Penemuan ini menjadi bukti bahwa meskipun manusia telah beradaptasi dengan baik pada lingkungan di seluruh dunia, evolusi tidak berhenti. Kisah ini bukan hanya tentang penduduk Tibet, tetapi juga tentang potensi manusia untuk terus berubah dan berkembang seiring berjalannya waktu. Kita adalah spesies yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan ini terus berlangsung dalam skala yang kadang tidak kita sadari.