Tragedi 90 Tentara Jepang Dibantai di Tepi Kali Bekasi
Merdeka.com - Kemarahan terpendam atas kekejaman tentara Jepang menyebabkan ratusan rakyat Bekasi 'menyembelih' 90 anggota Kaigun tanpa belas kasih. Sempat membuat Laksamana Maeda marah.
Penulis: Hendi Jo
Jembatan usang itu masih berdiri kokoh di dekat stasiun Bekasi. Hilir-mudik kendaraan menjadikan suasana ramai seolah tak mengenal waktu. Padahal hingga tahun 1970-an, kawasan itu masih dianggap angker.
-
Kenapa Raja Majapahit marah? Mendengar banyak warga lokal masuk Islam, Raja Majapahit marah besar khawatir kekuasaannya hancur.
-
Kenapa Belanda membantai rakyat Sulawesi Selatan? Upaya Merebut Wilayah Nusantara Melansir dari kanal Liputan6.com, kejadian ini bermula ketika Belanda berupaya untuk merebut kembali wilayah kedaulatan Indonesia pada tahun 1940-an yang disebut dengan 'tindakan pengawasan' terhadap 'teroris' dan 'ekstrimis' nasionalis.
-
Siapa yang membantai warga Tionghoa di Kali Angke? Merujuk laman Kelurahan Angke, sungai ini rupanya identik dengan kasus pembantaian terbesar etnis Tionghoa oleh pasukan VOC.
-
Mengapa Aksi Kamisan ke-806 dilakukan? Mereka mendesak segera diadilinya pihak-pihak yang diduga terlibat dalam sejumlah kasus kekerasan dan pelanggaran berat HAM.
-
Siapa yang mengeroyok warga di Semarang? Sementara itu, usai kasus sekelompok Bonek mengeroyok warga di Semarang pada Februari 2023 lalu, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengundang perwakilan Bonek tiap tribun, Panpel, serta Manajemen Persebaya untuk menjajaki kemungkinan suporter tim Bajul Ijo berbadan hukum.
-
Siapa yang terlibat dalam Aksi Kamisan ke-806? Aktivis yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengikuti Aksi Kamisan di seberang Istana Negara, Jakarta, Kamis (22/2/2024).
Menurut cerita orang-orang tua, di tengah kesunyian malam, sebagian masyarakat Bekasi kerap melihat penampakan puluhan serdadu Jepang tanpa kepala berbaris rapi melintasi jembatan tersebut.
"Terutama tiap malam Selasa atau malam Jumat itu hantu-hantu Jepang selalu muncul," ungkap Dullah (kelahiran 1928).
Cerita horor itu sejatinya berpijak dari kisah nyata. Alkisah pada sore hari tanggal 19 Oktober 1945, Letnan Dua Zakaria Burhanuddin mendapat instruksi penting dari Jakarta: harap membiarkan lewat serangkaian kereta api yang memuat sembilan puluh anggota Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Mereka akan melintas di Stasiun Bekasi beberapa saat lagi.
"Rencananya tentara Jepang yang telah menyerah itu akan dibawa ke lapangan terbang Kalijati, Subang untuk selanjutnya dipulangkan ke Jepang," tulis sejarawan Ali Anwar dalam buku KH.Noeralie: Kemandirian Ulama Pejuang.
Suasana Mencekam
Alih-alih membiarkan kereta api tersebut lewat, Wakil Komandan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Bekasi itu malah memerintahkan Kepala Stasiun Bekasi mengalihkan jalur perlintasan kereta api dari jalur dua ke jalur satu yang merupakan jalur buntu.
Akibatnya, lokomotif yang menggandeng sembilan gerbong (termasuk tiga gerbong yang memuat rombongan anggota Kaigun) terpaksa berhenti, tepat di mulut Kali Bekasi.
Begitu kereta api berhenti, massa rakyat dan pejuang Bekasi langsung melakukan pengepungan. Suasana mencekam saat Zakaria dan beberapa pengawalnya naik ke atas kereta api tersebut dan menanyakan surat izin dari Pemerintah Republik Indonesia (RI).
"Mereka menunjukan surat jalan dari Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo yang dibubuhi tanda tangan Presiden Sukarno," tulis Ali Anwar.
Di tengah proses pemeriksaan, tiba-tiba terdengar bunyi letusan pistol dari arah salah satu gerbong. Begitu meletus, tak pelak lagi massa rakyat dan pejuang langsung menyerbu. Maka tumpah ruahlah ratusan orang memasuki kereta api itu dengan membawa berbagai macam senjata.
Mayat Serdadu Jepang Dihanyutkan ke Sungai
Kendati ada perlawanan kecil-kecilan dari pihak Kaigun, namun massa terlalu kuat. Beberapa menit kemudian, mereka berhasil menguasai kereta api dan merampas barang-barang yang ada di dalamnya (termasuk ratusan pucuk senjata).
Kesembilan puluh anggota Kaigun sendiri langsung digiring ke sebuah sel yang berada di belakang gedung Stasiun Bekasi.
Empat jam kemudian, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Komandan Resimen V TKR Mayor Sambas Atmadinata, massa mengeluarkan tawanan dari sel dan menyeret mereka ke tepian Kali Bekasi. Satu persatu, serdadu malang itu disembelih dan mayatnya dihanyutkan ke dalam sungai.
"Kali Bekasi sampai berwarna merah karena darah yang keluar dari tubuh para serdadu Jepang itu," ujar Dullah yang mengaku ada saat kejadian tersebut.
Laksamana Maeda Marah
Pembantaian brutal sembilan puluh anggota Kaigun itu sempat membuat marah Laksamana Muda Maeda Tadashi (petinggi Kaigun yang pro republik). Komandan Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang itu melayangkan protes keras kepada Pemerintah RI.
Menanggapi protes keras itu, Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo bersama seorang staf Departemen Luar Negeri RI bernama Boediarto lantas menghadap Maeda. Dalam pertemuan itu, keduanya harus 'ikhlas' menjadi sasaran amarah sang laksamana.
"Kejadian ini dapat menjadi bukti kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki pendirian yang teguh!" ujar Maeda.
Kombes Soekanto berusaha tidak terpancing amarah yang dilontarkan Maeda itu. Setelah meminta maaf terlebih dahulu, ia kemudian mengatakan bahwa Insiden Stasiun Bekasi tersebut di luar kemampuan Pemerintah RI.
"Memang benar hanya Pemerintah RI yang memiliki hak melakukan hukuman mati, tapi seperti yang Tuan ketahui, Bekasi merupakan daerah yang belum sepenuhnya tunduk kepada hukum Pemerintah Republik Indonesia," demikian penjelasan Soekanto seperti dikutip dalam Material on Japanese Military Administration in Indonesia yang dikeluarkan oleh Institut Ilmu Sosial Universitas Waseda, Jepang.
Setelah dilakukan pendekatan politik secara intens oleh Pemerintah RI, Maeda akhirnya dapat dibuat maklum. Namun, dia memberi catatan bahwa kejadian itu harus menjadi yang terakhir dan Pemerintah RI wajib mengantisipasi terjadinya insiden serupa secara serius.
"Jika dibiarkan saja, maka tak mustahil kejadian di Bekasi itu akan merajalela di mana-mana," ungkap Maeda.
Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap insiden tersebut, pada 25 Oktober 1945, Presiden Sukarno berkunjung ke Bekasi. Di depan rakyat Bekasi, dia memohon agar rakyat menaati setiap perintah yang datang dari Pemerintah RI dan melarang keras para pejuang untuk melakukan lagi upaya-upaya pencegatan kereta api. (mdk/noe)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Peristiwa berdarah di Tebing Tinggi, merupakan perjuangan para pemuda melawan penjajah pasca kemerdekaan Indonesia.
Baca SelengkapnyaPasukan elite baret hijau Belanda membantai ratusan warga Rawagede, Karawang. Ini pengakuan saksi tentang kejadian mengerikan itu.
Baca SelengkapnyaTentara Pembela Tanah Air (PETA) merupakan pasukan militer yang aktif selama Perang Dunia II di Indonesia.
Baca SelengkapnyaRevolusi Sosial Sumatra Timur kisah kelam pembantaian kesultanan Melayu.
Baca SelengkapnyaKisah sedih para tahanan wanita asal Belanda usai tentara Jepang berhasil menguasai Nusantara.
Baca SelengkapnyaPeristiwa kelam ini cukup memberikan luka mendalam bagi masyarakat Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI di era konflik Aceh.
Baca SelengkapnyaBagaimana cerita ada pasukan elite Jerman di Bogor? Lalu siapa saja yang dimakamkan di Makam Jerman di Megamendung.
Baca SelengkapnyaPertempuran Tengaran terjadi pada masa Agresi Militer II, tepatnya sekitar tanggal 25 Mei 1947
Baca SelengkapnyaKonflik bermula ketika seorang penghuni hotel merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang dipakai oleh pemuda Indonesia.
Baca SelengkapnyaPenjajahan Jepang tak kalah kejam dari Belanda. Parahnya, pekerja Romusha sampai dijadikan kelinci percobaan vaksin mematikan.
Baca SelengkapnyaKIsah pembantaian masyarakat Aceh oleh penjajah Belanda.
Baca SelengkapnyaPenyerangan di Rawagede ini dicap sebagai bagian dari kejahatan perang.
Baca Selengkapnya