Kisah Pemijat Difabel Netra yang Rawan Pelecehan hingga Penipuan, Berharap Kehadiran Negara
Para pemijat difabel netra berada dalam kondisi rentan, mulai dari pelecehan seksual sampai penipuan.
Para pemijat difabel netra berada dalam kondisi rentan, mulai dari pelecehan seksual sampai penipuan.
Kisah Pemijat Difabel Netra yang Rawan Pelecehan hingga Penipuan, Berharap Kehadiran Negara
Mengenakan batik cokelat, Arya (bukan nama sebenarnya) tengah beristirahat sembari menunggu pengguna jasanya. Sesekali dia mendengarkan telepon pintar untuk mengecek Whatsapp dari pasien yang ingin dipijat. Arya tidak pernah lupa berucap syukur saat menjalankan pekerjannya. Terlebih saat ini terdapat aplikasi “Damayanti” yang memudahkan Ia menerima pesanan pijat. Perangkat itu bisa membaca pesan teks melalui suara ekspresif saat digeser menggunakan jari. Jam sudah menunjukkan pukul 14.00. Pemijat netra pria itu sedang jeda praktik di ruangan berukuran 6x8 meter, di daerah Yogyakarta. Dua dipan kayu yang ditutup tirai dan minyak urut menunjang pekerjaannya. Sembari merapikan dua kursi pasien, dia menceritakan perjalanannya menjadi pemijat netra yang rentan.
-
Apa bentuk pelecehan yang dilakukan pelaku? Dia mengatakan korban sempat takut untuk mengaku hingga akhirnya pihak keluarga membawa korban ke fasilitas kesehatan untuk melakukan pengecekan.'Yang bersangkutan menyampaikan takut. Setelah itu keluarga korban mengecek ke rumah sakit dan ternyata betul korban hamil, dan diakui oleh korban bahwa ia mengalami kekerasan seksual oleh pamannya sendiri,' kata dia, seperti dilansir dari Antara.
-
Siapa yang melakukan pelecehan terhadap korban? Kapolres Cimahi AKBP Tri Suhartanto menyampaikan bahwa peristiwa pelecehan seksual dilakukan oleh pelaku hingga korban mengalami kehamilan terjadi di wilayah Kabupaten Bandung Barat.
-
Siapa yang dibantu oleh perempuan tukang pijat tersebut? Perempuan yang tidak diketahui namanya itu kerap berdoa agar diberi kekuatan untuk selalu mencari nafkah demi keluarga. Terutama anaknya yang sedang menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta.'Anak saya juga kuliah di situ, di Jogja. Sekarang semester akhir, makanya saya ada di sini itu karena ya butuh biaya,' ucap perempuan tersebut.
-
Bagaimana pelaku melakukan pelecehan terhadap korban? 'Pamannya melakukan kekerasan seksual kepada yang bersangkutan itu sebanyak empat kali kali sehingga korban hamil dan sudah melahirkan,' kata Tri.
-
Apa yang terjadi pada pria disabilitas itu? Dia baru saja dibebaskan oleh militer Israel
-
Kenapa pelaku melakukan pelecehan terhadap korban? Lebih lanjut, dia mengungkapkan AR sendiri tinggal sementara di rumah korban dan pelaku mengaku melakukan kekerasan seksual untuk kepuasan pribadi.
Ilmu memijat yang didapatkan 38 tahun silam sangat membantunya untuk mencari nafkah. Walau penghasilannya tak tentu, Arya tetap bertanggung jawab demi anak dan istri yang tinggal di pinggiran kota pelajar itu. Sembari mengenang masa lalu, dia bertutur jika titik kehidupan bermula saat usianya baru menginjak 10 tahun, medio 1976. Tahun itu, radio menjadi alat hiburan sampai sumber informasi masyarakat. Sebuah berita tentang sekolah inklusi tiba-tiba dibacakan oleh pewarta. Arya kecil yang memiliki keinginan kuat untuk bersekolah, mendengarkannya dengan antusias. Dia mengesampingkan kekurangannya sebagai disabilitas netra. Keinginannya untuk menimba ilmu sudah lama diimpikan. “Waktu itu ada info di radio bahwa orang seperti saya bisa baca. Sejak itu saya paham, ada sekolah khusus di Yogyakarta, ” tutur Arya, saat ditemui.
Sayangnya, keinginan ini sempat dilarang orang tua karena keterbatasan ekonomi. Tahun demi tahun berganti. Harapan untuk bisa bersekolah masih tidak hilang. Arya kemudian mendapat kesempatan mengikuti program untuk masyarakat disabilitas yang diinisiasi pemerintah. Di masa itu, pemerintah pusat tengah menggencarkan pemenuhan hak dan kewajiban bagi warga negara termasuk difabel. Terdapat peraturan yang dikeluarkan melalui PP Nomor 36 tahun 1980. Lewat program ini, Arya kemudian memiliki ilmu pijat. Namun dia masih ingin mencari sekolah yang fokus di ilmu sosial sampai berhitung. Pada 1985, mimpi itu akhirnya terwujud karena Arya diterima di sekolah khusus di salah satu kabupaten, Provinsi Jawa Tengah. Sembari bersekolah, dia memberanikan diri mencari pekerjaan untuk menunjang biaya dan kehidupannya.
Setelah berkeliling, Arya mendapati sebuah losmen yang cukup besar. Dia kemudian mencoba menawarkan diri membuka praktik di sana. Bak gayung bersambut, sang pemilik mengizinkannya sehingga Arya bisa mengais rezeki di losmen itu.
Saat itu Arya mematok tarif Rp1.000 untuk sekali pijat. Omzetnya tak menentu. Namun peminatnya cenderung tinggi. Bisa sampai 10 pasien dalam satu malam, yang artinya keuntungan Rp10 ribu bisa dikantongi. Arya sendiri tidak tinggal di losmen, melainkan di asrama sekolah dengan biaya yang cukup murah.
Rawan terkena pelecehan
Di tahun yang sama, Arya pertama kali memperoleh pengalaman tak menyenangkan dilecehkan oleh salah seorang pasiennya. Hari sudah hampir malam ketika ia sedang bersiap memulai kerja lepasnya sebagai pemijat di losmen itu. Tak lama kemudian, datanglah seorang pasien. Dari suaranya, Arya menduga kalau ia adalah seorang lelaki paruh baya. Mulanya tidak ada masalah. Arya menjalankan tugas memijat dengan profesional di sebuah kamar yang lumayan tertutup. Namun lama-lama Arya merasakan gelagat mencurigakan. Pasiennya tiba-tiba mengarahkan pembicaraan ke hal sensitif. Parahnya, tingkah pasien itu semakin menjadi dengan meminta Arya memegang kelaminnya.
Refleks, Arya pun menarik tangannya dan memarahi pasien tersebut. “Kalau mau seperti ini bukan di sini tempatnya! ” tegas Arya. Suara Arya saat membentak pasien itu terdengar keras hingga petugas keamanan mendatangi ruang pijat. Merasa panik, pasien lantas bergegas kabur. Ia memiliki prinsip, Jika ada kejadian serupa, mental pasien itu harus dibuat kalah. Merasa tak nyaman, Arya sempat memberi saran kepada pemilik losmen agar memasang simbol-simbol agama seperti Assalamualaikum, Bismillah, lafadz Allah dan Nabi Muhammad untuk mencegah perbuatan seperti pasien itu. Sayangnya masukan tidak direspons dengan baik. “Ini juga harus dicegah dengan peringatan bebas tapi sopan, ” katanya.
Selain itu, posisi ruang praktik juga menjadi penentu amannya pemijat netra. Dia mencontohkan tempat praktiknya saat ini dengan kondisi yang tidak terlalu tertutup namun tetap mengedepankan privasi. Misalnya, antara sekat satu dengan yang lainnya harus dekat dengan ruang utama atau pintu keluar. Lalu pintu masuk ke ruang pijat hanya diberi gorden, agar mudah keluar jika terjadi sesuatu. Tata letak ini juga membantu pemijat netra dari upaya pelecehan seksual, karena mudah untuk melarikan diri atau meminta bantuan ke lingkungan sekitar. “Kalau saya mencegahnya ya ruangan praktik jangan terlalu tertutup, tapi tetap menjaga privasi, kalau di losmen kan tertutup. Itu yang membuat kejadian seperti itu rawan,” kata Arya.
Rentan terkena penipuan
Arya juga bercerita bahwa dirinya pernah ditipu oleh salah satu pasien pijat. Tak begitu ingat kapan terjadi, namun dia pernah tidak dibayar oleh pelanggan yang kabur. Modusnya pura-pura meminjam sandal ke kamar mandi. Konsumen itu lantas menanyakan letaknya. Arya spontan mengarahkannya ke bagian belakang bangunan dengan posisi belum membayar.
Arya menyebut jika dia menunggu dengan sabar pelanggan itu. Namun lama kelamaan timbul rasa curiga lantaran pelanggannya tak kunjung kembali. “Selain kasus pelecehan ini, yang rawan juga adalah (pelanggan) tidak mau bayar, ” kata Arya. Kasus penipuan juga rupanya menimpa rekannya di masa lalu. Parahnya, rekan Arya ini harus kehilangan telepon genggam yang sehari-hari digunakan untuk membantu pekerjaan. Terhitung, Arya sudah 10 kali mendapat cerita kehilangan alat komunikasi di kalangan pemijat netra.
Beruntung, ada rekan lainnya yang selamat dari tindak pencurian. Dia sadar jika pelanggannya pergi terburu-buru sembari membawa telepon genggamnya. Saat pamit, rekan Arya itu memeriksa keberadaan telepon namun tidak ada. Dengan reflek rekannya itu langsung berteriak dan mengundang perhatian warga. “Teman saya itu curiga. Setelah mijat dia reflek mencari telepon genggamnya kok tidak ada. Terus langsung ditanyakan dan digeledah akhirnya ada, dan itu langsung dipukuli warga, ” kata Arya.
Jadi korban pencurian telepon genggam.
Selain Arya, pemijat netra lain di Yogyakarta bernama Supriyaty (53) juga mengalami kejadian tak mengenakkan saat bekerja. Tiba selepas salat Isya sekitar Maret 2020, Supriyaty tengah sibuk mengecek pesan di telepon pintarnya. Di tengah lingkungan rumah yang sepi, Padukuhan Priyan, Desa Trirenggo, Kecacamatan Bantul, Kabupaten Bantul, tiba-tiba sebuah mobil berisi pasangan suami istri masuk ke halaman rumahnya.
Mulanya dia tidak curiga, karena merasa ini adalah pasien biasa. Namun lama kelamaan rasa janggal muncul, terutama saat keduanya menyapa Supriyaty dengan ekspresi yang berlebih. Supriyaty yang merasa tidak nyaman langsung bersikap waspada. “Saat datang itu pura-pura kenal, terus sok ngakrabi-haha hihi dan nanyain, udah lama gak ke sini, gimana kabar bapaknya. Saya batin, oh berarti ini nggak ngerti kalau bapaknya anak-anak udah nggak ada,” terangnya Setelah basa-basi, satu dari kedua orang tadi meminta dipijat, namun Supriyaty menolak. Dia ingin mengantisipasi hal tidak diinginkan karena kerap mendapat cerita dari rekannya, jika pelaku pencurian kerap melakukan modus tidak wajar. “Saya mau pijit sama bapaknya. Ini juga mencurigakan, pura-pura kenal padahal kondisi suami saya udah nggak ada,” kata dia lagi.
Merasa gagal dipijat Supriyaty, kedua pelaku mencari cara lain agar bisa beraksi. Salah satu pasien kemudian kembali mengajak Supriyaty berbincang untuk mengalihkan perhatian. Sayangnya, Supriyaty tidak bisa berbuat banyak. Rasa curiganya kemudian terbukti. Saat istri dari pelaku meminta izin untuk ke kamar mandi, dia tak bisa mengikutinya karena suami pelaku terus menerus memancing obrolan. Kondisi ini membuat dalam rumah tidak terpantau, sampai keduanya pamit. “Ibunya itu cuma sebentar ke kamar mandi dan nggak ada suara gemericik. Terus saya ingat ada telepon genggam di kamar. Saya langsung batin, jangan-jangan telepon genggam saya dibawa. Ternyata sudah tidak ada. Waktu itu yang hilang jenisnya Samsung a50, kan harganya lumayan sampai tiga jutaan,” kata dia
Mendapati kejadian ini, anaknya yang tertidur lantas dibangunkan. Supriyaty memberitahukan sang anak bahwa telepon genggamnya dicuri oleh pasien yang baru saja meminta dipijat. Keduanya lalu bergegas mengejar pasutri itu sebisanya. Berdasarkan pencarian melalui internet, keberadaan telepon genggam Supriyaty diketahui ada di sekitar SMA Negeri 3 Bantul yang berjarak 1,2 KM dari rumah. Lalu setelah sampdi di lokasi, posisinya bergeser ke wilayah kampus ISI Yogyakarta yang berjarak 5,4 KM. Sampai di sana, suara alarm penanda posisi telepon pintar masih terdengar. Supriyaty lalu menanyakannya kepada sang anak.
“Ini di mana le? Sudah ada di mana kira-kira posisi HP-nya? Ada apa saja di sini, ” kata Supriyaty. “Adanya rumah makan, mak. Terus sepi di sini, ” kata sang anak yang mengendarai motor bernama Rara. Tak ingin kejadian buruk menimpa, keduanya memutuskan kembali ke rumah. Pasrah menjadi pilihan terakhir Supriyaty. Keduanya enggan lapor polisi. “Yasudah pulang saja, saya ikhlas. Takut kalau dijebak oleh pelaku atau apa,” kata Supriyaty.
Berdasarkan cerita dari rekan-rekannya, pelaku kejahatan yang menimpa difabel netra biasanya berjumlah dua orang. Mereka akan berbagi tugas saat menjalankan aksi. Ada yang mengecoh korbannya terutama yang netra total, dan ada yang melakukan operasi sembari melakukan pengamatan. Belajar dari banyak kasus, Supriyaty kemudian menerapkan keamanan mandiri di tempat praktiknya. Dia memasang kunci di dalam ruang pijat, sehingga bisa mengantisipasi pasien saat melakukan pencurian. Supriyaty sendiri hanya melayani pijat untuk pasien perempuan. “Kan banyak juga yang pura-pura ke kamar mandi buat memperbaiki kerudung, atau izin untuk salat di kamar lain, ternyata operasi (mencuri), ” terangnya.
Supriyaty memiliki harapan agar negara bisa hadir untuk melindungi kerentanan para pemijat difabel netra. Pasalnya pekerjaan yang dilakukan termasuk profesi lepas yang sulit mendapat perlindungan. Hal yang paling mudah, misalnya bagaimana cara pelaporan yang ramah bagi difabel khususnya netra. Walau begitu LSM-LSM sampai kepolisian setingkat polsek saat ini sudah cukup membantu kerentanan mereka.Dibohongi pelanggan
Serupa dengan Arya dan Supriyaty, kerentanan menjadi pemijat netra juga dialami Susan (bukan nama asli). Menurut perempuan asal Kabupaten Bantul itu, kejadian ini berlangsung sekitar 25 tahun lalu, saat merantau di ibu kota. Ia masih ingat betul bagaimana dilecehkan dan ditipu oleh pelanggannya. “Biasanya kalau ngurut kan pasien (pria) masih pakai baju, tapi yang nakal-nakal ini tidak. Terus pas ngurut itu tangannya suka dibelokkin ke arah sensitifnya. Saya kaget dan jadi takut sampai ujung-ujungnya pindah-pindah, ” kata perempuan paruh baya itu.
Keinginannya bekerja profesional justru dihalangi oleh banyak pasien pijat laki-laki. Susan dengan tegas melawan upaya tersebut dengan meninggalkan tempat praktik yang dianggapnya tidak aman untuk mencari nafkah.
“Saya kan termasuk low vision, jadi masih bisa lihat sedikit-sedikit kalau ada pasien laki-laki yang minta aneh-aneh. Pernah juga saya dihadang saat nolak ngurut karena pasiennya ngaco, tetapi saya loncat dan lapor ke kasir di tempat bekerja tapi malah dimarahin karena omongan pasien dengan kejadian saat ngurut berbeda,” kata Susan. Selain dilecehkan, Susan juga ingat betul saat dirinya ditipu pelanggan pijat setelah pindah ke kota tetangga Jakarta. Siang itu, dua perempuan datang ke tempat praktiknya untuk meminta dipijat salah satunya. Dia mengaku pegal-pegal dan butuh diurut.
Tanpa menaruh curiga, Susan mengiyakan. Tempat pijat serta alat pendukung seperti minyak urut dia siapkan sebagai bentuk pelayanan maksimal ke pelanggan. Di sela-sela pemijatan, rekan pasien meminta anak Susan yang tengah belajar di ruang praktik untuk membelikan obat. Seketika Susan langsung menolak dan melarang anaknya pergi lantaran usianya yang masih kecil dan khawatir hilang. Tak berapa lama, Susan juga diminta untuk ikut ke rumah pasien tersebut lantaran sang ibu juga ingin dipijat. Dengan tidak menaruh curiga, Susan mengiyakan dan memutuskan ikut pergi bersama keduanya menaikki angkot.
Dia turut serta membawa sang anak, lantaran tak ingin meninggalkannya sendiri. Angkot menuju kecamatan tetangga pun dipilihnya. Sekitar seperempat jam, kedua pasiennya meminta turun dan mengajak Susan beserta anak. Keduanya disebut hendak mengambil motor untuk menjemput Susan yang saat itu diminta menunggu di pinggir jalan. “Saya malah diturunin di suatu tempat, sekitar 5 kiloan dari tempat praktik, katanya tunggu di sini. Terus dia lari, cepet banget, dan itu saya tungguin lama, saya batin, kok nggak balik-balik, katanya ambil motor. Terus saya pulang akhirnya jalan kaki setelah sejam,” kata dia
Selama berjalan kembali ke tempat praktik, dia hanya mengandalkan sang anak yang masih kecil itu untuk petunjuk jalan. Sebelumnya sang anak sudah diminta agar mengingat-ingat patokan menuju tempat praktik, sembari menanyakannya ke warga sekitar. “Alhamdulillah, anak saya nurut, nanti tanya-tanya jalan sini, jalan sininya kalau tidak tahu,” katanya lagi.
Negara perlu memaksimalkan kehadiran untuk difabel netra
Selama ini, Arya merasakan jika negara sudah hadir dan sangat membantu dirinya hingga mendapat pekerjaan seperti sekarang. “Nah kalau bicara soal negara, saat ini alhamdulillah sudah hadir, dan sudah dirasakan lah. Salah satunya saat ada kejahatan polisi bisa menanganinya, ” kata Arya
Walau demikian, dia mengaku masih kesulitan untuk mengembangkan diri menjadi pemijat netra profesional. Salah satu yang menjadi harapannya adalah bisa mudah mendapatkan alat bantu untuk praktiknya berupa tensi bicara. “Ini supaya tahu tekanan darah pasiennya berapa, jadi bisa menggunakan metode pijat yang tepat. Ini juga membantu sekali karena masyarakat semakin yakin, bahwa pemijat di sini itu profesional, tapi sayang alatnya masih mahal,” kata dia.
Sementara bagi Susan, pemerintah perlu memaksimalkan fungsinya untuk melindungi para difabel termasuk pemijat netra. Menurut dia, pemijat netra menjadi pihak yang rentan mendapat kejahatan, sehingga perlu memiliki payung hukum agar haknya bekerja dengan aman bisa terpenuhi. “Kalau ke pemerintah sendiri semoga bisa membuat peraturan, tukang pijat itu dilindungi, ada perdanya, ada uu-nya, jadi kuat gitu ya. Nanti kalau misalnya cewek ya dipijatnya sama cewek, kalau cowok ya sama cowok gitu, pengennya begitu,” katanya “Terus pemerintah juga memberi fasilitas kepada anak-anak pemijat netra, karena aturan sekolah dipukul rata, misal piknik ya harus ikut, bayar sekian, nah pemerintah mbok ngasih perhatian khusus, agar anak-anak mereka digratisin, “ tambahnya.
Tak lupa, dia juga berharap pemerintah bisa membantu terkait pelatihan kerja dan memberi akses untuk bisa bekerja di sektor industri, agar kehidupan mereka bisa lebih baik. Adapun, dukungan terus dimaksimalkan oleh Koordinator Women Disability Crisis Center, Sentra Advokasi Difabel dan Anak (SAPDA) Yogyakarta, Irmaningsih Pudyaningntyas. Menurut dia, difabel netra perlu lebih dilindungi oleh negara lewat implementasi maksimal dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016. “Kalau dari regulasi bisa dikatakan negara sudah hadir. Ini bisa dilihat dari adanya UU Nomor 8 tahun 2016, yang mulai dipenuhi dari berbagai lini seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi. Untk soal kekerasan seksual yang patut kita apresiasi adalah UU TPKS itu, ” kata Irmaningsih.
Menurut Irma, terdapat Pasal 25 ayat 4 dan 5 yang berisi keterangan saksi dan atau korban dari kalangan penyandang disabilitas memiliki kekuatan hukum yang sama dengan keterangan saksi dan atau korban yang bukan dari kalangan penyandang difabel, khususnya netra. Kemudian pemenuhan hak saat penyandang disabilitas menjadi korban juga tertuang dalam Pasal 27 Ayat 1, yakni saksi dan atau korban dapat didampingi oleh orang tua maupun wali, yang ditetapkan oleh pengadlian atau pendamping.
Lalu hak juga dipenuhi negara lewat Pasal 66 ayat 2, di mana penyandang disabilitas (dalam hal ini netra), berhak mendapat aksesibilitas dan akomodasi yang layak guna memenuhi haknya. Ini juga ditegaskan lewat Pasal 83 Ayat 1 dan 4, bahwa dalam rangka efektivitas pencegahan korban tindak pidana kekerasan seksual, menteri melakukan koordinasi serta pemantauan melalui lintas sektor. Pemantauan ini salah satunya dilaksanakan oleh komisi yang menangani kekerasan terhadap perempuan, hak asasi manusia, perlindungan anak dan disabilitas, serta dilaksanakan oleh masyarakat.
Susan kemudian berharap agar penerapan regulasi yang berlaku saat ini bisa benar-benar berpihak bagi para pemijat netra, sehingga ke depannya bisa bekerja dengan lebih baik, dan segala bentuk resiko kejahatan terhadap kelompok rentan difabel bisa hilang.