Kini Mulai Tertelan Zaman, Ini Kisah Mbah Atmo Sang Pelestari Perajin Mainan Anak Tradisional di Bantul
Nenek berusia 86 tahun ini merupakan satu-satunya perajin mainan tradisional yang masih eksis bertahan hingga saat ini.
Nenek berusia 86 tahun ini merupakan satu-satunya perajin mainan tradisional yang masih eksis bertahan hingga saat ini.
Kini Mulai Tertelan Zaman, Ini Kisah Mbah Atmo Sang Pelestari Perajin Mainan Anak Tradisional di Bantul
Atmo Wiyono, atau akrab disapa Mbah Atmo, merupakan seorang perajin mainan tradisional anak-anak asal Padukuhan Pandes, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul.
Dia merupakan satu-satunya perajin mainan tradisional yang masih eksis bertahan hingga saat ini.
-
Bagaimana cara Banyuwangi mengajarkan anak bermain tradisional? “Esensi pendidikan adalah mewujudkan kebahagiaan. Sisi ini tak boleh diabaikan. Untuk itu, perlu anak-anak diajak bermain dan diajarkan filosofi di balik permainan tersebut. Seperti halnya kebersamaan, gotong royong dan lain sebagainya,“
-
Dimana sentra kerajinan wayang kulit di Bantul? Di Kabupaten Bantul, terdapat sentra kerajinan wayang kulit, tepatnya di Desa Wukirsari, Kapanewon Imogiri.
-
Kenapa permainan tradisional di Banyuwangi dilestarikan? Seperti halnya enggrang bambu, enggrang batok, balap karung, congklak, gobak sodor yang dimainkan dalam festival ini. Ipuk juga mengatakan, selain sebagai khazanah kebudayaan, juga menjadi medium edukasi yang efektif untuk melatih kebersamaan dan kebahagiaan.
-
Bagaimana Festival Wayang Kulit Banyuwangi dilestarikan? 'Wayang kulit itu sendiri sangat lengkap dan luas. Wayang kulit sarat kreativitas, ada seni rupa, ada seni peran dalam teaternya, ada seni suara, juga ada seni musik. Festival Wayang Kulit akan terus lanjutkan dan kita dukung pengembangannya,' kata Bupati Ipuk.
-
Siapa yang mewariskan keahlian membuat wayang kulit? Keahlian membuat wayang kulit sudah diwariskan secara turun temurun sejak tahun 1930-an.
-
Bagaimana anak-anak zaman Paleolitik membuat mainan? 'Keramik-keramik ini menunjukkan tingkat eksperimen, heterogenitas tekno-stilistika, dan non produktivitas yang lebih tinggi,' kata mereka, seperti dikutip dari laman IFLScience.
Mbah Atmo berkata, ia sudah membuat mainan dari kertas sejak kecil. Kertas yang sudah tidak terpakai lagi ia daur ulang lalu diberi aneka warna yang menarik seperti merah, hijau, kuning, dan sebagainya.
“Saya belajar membuat dolanan ini dari ibu sejak puluhan tahun silam,” kata Mbah Atmo dikutip dari Instagram @humasjogja.
Pada masa jayanya permainan tradisional, Mbah Atmo berjualan mainan buatannya ke pasar-pasar tradisional seperti ke pasar Mangiran, Barongan, hingga Godean.
“Jualan keliling jalan kaki. Berangkat dari rumah jam satu malam. Kadang juga jam tiga malam. Sekarang sudah tua. Dirumah saja,” tuturnya.
Meski usianya telah renta, ia masih tetap setia dan penuh semangat melestarikan salah satu warisan budaya leluhur. Tangannya yang keriput masih sangat cekatan dan telaten dalam membuat berbagai dolanan anak.
Saat masuk ruang tamu rumah Mbah Atmo, kita seakan diajak untuk bernostalgia. Di sana dijumpai berbagai mainan jadul seperti kitiran, payung mini, otok-otok, kurungan, kipas lipat, sangkar burung mini, dan wayang kertas.
Harga yang ia berikan untuk mainannya juga sangat murah. Kitiran ia beri harga Rp4.000, kipas lipat Rp2.000 dan sebagainya.
Semua mainan itu dibuat Mbah Atmo tanpa bantuan siapapun. Mulai dari memotong, mewarnai, hingga mengenyam kertas menggunakan kayu dan benang.
Semuanya ia kerjakan dari bahan yang amat sederhana, yaitu kertas bekas, potongan bambu, dan lem yang dibuat oleh Mbah Atmo sendiri.
Bahan dasarnya biasanya diperoleh dari bekas peralatan kantor yang tidak terpakai serta bahan yang harus dibeli baru berupa minyak kertas.
Tak terasa, kini Mbah Atmo telah berusia 86 tahun. Ia berharap perjuangannya dalam melestarikan warisan leluhur dapat diteruskan oleh generasi muda saat ini.
“Saya berharap ada yang mau melestarikan membuat mainan kertas ini supaya tidak hilang begitu saja. Saya satu-satunya yang masih bertahan membuat. Teman-teman saya sudah tidak bisa karena sudah banyak yang meninggal. Sedih dan sayang sekali kalau tidak diteruskan,” pungkas Mbah Atmo.