Lakukan Regenerasi, Begini Cara Penghayat Kepercayaan Wariskan Nilai-Nilai Budaya
Regenerasi menjadi isu utama di balik makin menyusutnya jumlah kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia.
Regenerasi menjadi isu utama di balik makin menyusutnya jumlah kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia
Lakukan Regenerasi, Begini Cara Penghayat Kepercayaan di Jateng Wariskan Nilai-Nilai Budaya
Jumat, 22 September 2023, ratusan pemuda dari penghayat kerohanian Sapta Darma berkumpul di Dusun Kalisat, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Mereka melaksanakan diklat yang dilaksanakan selama dua hari. Selama acara mereka tinggal di rumah-rumah para penghayat Sapta Darma yang berada di dusun tersebut.
-
Mengapa tradisi ini dilestarikan? Tradisi itu dilestarikan untuk mengenang penyebar agama Islam di Jatinom, Ki Ageng Gribig.
-
Siapa yang terlibat dalam tradisi ini? Setelah itu, tuan rumah akan mengundang tetangga untuk mengikuti acara kepungan dengan menyantap tumpeng tawon.
-
Siapa yang menjaga tradisi Batak? Desa ini adalah tempat di mana tradisi adat Batak masih dijaga dengan baik.
-
Bagaimana cara menerapkan Dasa Dharma dalam kehidupan? Proses pembelajaran dasa dharma pramuka dilakukan melalui kegiatan-kegiatan di alam terbuka, kemah, pertemuan, permainan, dan kegiatan lain yang menyenangkan.
-
Bagaimana cara menjaga budaya di Penglipuran? Masyarakat desa ini menjaga adat dan tradisi Bali dengan baik, termasuk dalam menjaga kebersihan lingkungan dan menjaga keharmonisan antar sesama.
-
Bagaimana cara Kenduri Lintas Iman menjaga kerukunan? Kenduri Lintas Iman merupakan salah satu gambaran kerukunan beragama di Kabupaten Bantul. Dengan menghadirkan pemuka agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Penghayat Kepercayaan, kegiatan Kenduri Lintas Iman berupaya untuk senantiasa memelihara atau merawat perbedaan yang ada.
Acara tersebut diisi oleh berbagai rangkaian kegiatan seperti survival training, penanaman bibit pohon, acara kesenian, serta outbond.
Upacara pembukaan acara tersebut dihadiri tokoh-tokoh penting baik dari dalam lingkungan penghayat Sapta Darma sendiri maupun dari lembaga pemerintah dan tokoh masyarakat setempat.
Bekti Kristiadji selaku ketua panitia mengatakan bahwa acara itu merupakan bentuk implementasi dari pemberdayaan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan masyarakat adat.
Terkait acara tersebut, Ir Rahmat Purwantoro dari Persatuan Warga Sapta Darma (Persada) Jawa Tengah, mengatakan bahwa melestarikan nilai-nilai budaya bukanlah hal yang mudah.
Ia prihatin generasi penerus penghayat kepercayaan semakin lama semakin menurun. Oleh karena itu proses regenerasi di tubuh para penghayat harus dilakukan.
“Ternyata memang tidak mudah membuat sebuah generasi. Untuk itu saya berusaha menelusup satu tempat ke tempat lain supaya remaja bangkit lagi,” kata Rahmat.
Sementara itu Naen Soeryono dari Persada Pusat, bercerita, dulu para penghayat kepercayaan juga memiliki peran dalam merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Salah satu tokoh penghayat saat itu adalah Mr. Wongsonegoro.
Naen mengatakan saat ini telah banyak undang-undang yang mengakui keberadaan para penghayat. Apalagi sekarang pemerintah telah memperbolehkan kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP) dikosongkan untuk para penghayat.
“Menurut saya sekarang ini kita nggak kurang-kurang. Namun permasalahan yang dihadapi adalah kita tidak jujur terhadap identitas kita. Kadang kita masih takut, kalau KTP-ku diganti penghayat gimana? Sebenarnya tidak apa-apa,” kata Naen.
Regenerasi Jadi Isu Utama
Minang Warman, Perwakilan Direktorat Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memaparkan, pada tahun 2020 ada 198 organisasi penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia.
Namun dari jumlah itu, hanya 173 yang masih tampak dan hanya 156 yang masih menjalankan roda organisasi.
Menurut Minang, banyaknya organisasi penghayat yang hilang itu disebabkan karena tidak adanya regenerasi.
“Tidak ada penerus sesepuh pada generasi di bawahnya untuk nguri-uri kepercayaan dan menjalankan ajaran kepercayaan. Jadi saat sesepuh mereka meninggal, roda organisasinya jadi tidak ada yang menjalankan,”
Kata Minang Warman, mewakili Direktur Kepercayaan Tuhan YME dan Masyarakat Adat, Sjamsul Hadi, S.H., M.M.
Minang menambahkan, masalah berikutnya adalah eksistensi para anggota penghayat di tengah masyarakat. Bahkan ia menemukan ada komunitas penghayat yang tidak aktif di masyarakat sehingga masyarakat tidak mengetahuinya.
Terkait hal ini, Naen mengatakan bahwa para anggota Sapta Darma harus menjadi “sinar laksana surya” seperti yang tertulis pada ajaran Sasanti.
Ia menjelaskan dalam memberikan sinar itu, seorang warga Sapta Darma tidak boleh pilih kasih dan berlaku untuk siapapun baik itu pada masyarakat sekitar, pemerintah, negara, maupun sesama warga Sapta Darma.
“Prinsip saya, jangan pernah meminta pada negara. Tapi apa yang kamu beri pada negara. Kalau negara membutuhkan maka berilah” seru Naen dalam sambutannya.
Tentang Sapta Darma
Sapta Darma sendiri merupakan salah satu ajaran penghayat kepercayaan di Indonesia. Dikutip dari Merdeka.com, ajaran Sapta Darma pertama kali diterima oleh Bapak Hardjosapoero di Pare, Kediri pada tahun 1952.
Aliran kepercayaan ini menganut tiga cara sembahyang yaitu sujud, wewarah tujuh, dan sasanti.
Saat sembahyang, biasanya penganut aliran kepercayaan ini duduk bersila dengan posisi sedekap mengarah ke timur. Saat duduk bersila, mereka secara pelan-pelan akan menjatuhkan kepalanya menuju sujud, yang biasanya proses ini membutuhkan waktu berjam-jam.
Penganut aliran kepercayaan ini juga memiliki tempat ibadah berupa sanggar. Menurut Naen, ada 272 sanggar resmi Sapta Darma yang tersebar di seluruh Indonesia. Sementara untuk pengikutnya saat ini diperkirakan mencapai 12 juta orang.