Bukan Hindu atau Buddha, Agama Tertua di Pulau Jawa Ini Percaya Satu Tuhan yang Tak Bisa Dilihat Manusia
Agama tertua di Pulau Jawa ternyata bukan Hindu atau Buddha, tetapi kepercayaan terhadap satu Tuhan yang tak terlihat manusia.
Banyak orang menyebut agama ini mirip dengan Islam
Bukan Hindu atau Buddha, Agama Tertua di Pulau Jawa Ini Percaya Satu Tuhan yang Tak Bisa Dilihat Manusia
Agama tertua di Pulau Jawa ternyata bukan Hindu, Buddha, bahkan Kejawen. Agama ini jauh lebih tua dari semua yang tersebut di atas.
Agama Tauhid
Berbeda dari agama zaman dahulu, agama ini merupakan agama monoteis yang disebut Kapitayan.
Agama ini dianut sebagian besar masyarakat Jawa kuno. Agama ini telah ada di Pulau Jawa sejak zaman paleolitik, mesolitik, neolitik, dan era megalititikum.
-
Apa bukti tertua agama? Benda itu dianggap sebagai bukti tertua adanya keyakinan tertentu yang dipraktikkan manusia.
-
Apa kepercayaan leluhur suku Karo? Sementara itu, dalam buku Mengenal Orang Karo karya Roberto Bangun pada 1989 lalu menyinggung bahwa leluhur masyarakat Karo memiliki kepercayaan tersendiri bernama Agama Pemena.
-
Apa agama awal Kerajaan Pagaruyung? Kerajaan Pagaruyung tergabung dalam Malayapura atau sebuah kerajaan bercorak Melayu yang tertulis pada Prasasti Amoghapasa pada abad 14.
-
Apa yang menjadi lokasi suci bagi umat Hindu di Jawa kuno? Mengutip kitab Negarakertagama, Gunung Semeru merupakan kawasan suci masa Jawa kuno.
-
Apa saja agama yang ada di Dusun Sekar Gadung? Dulu, warga di kampung ini terdiri dari pemeluk agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, dan Buddha.
-
Apa perbedaan utama Hindu dan Buddha dalam hal keyakinan tentang Tuhan? Umat Hindu mengenal banyak dewa. Beberapa yang paling penting termasuk Dewa Siwa, Brahma, Wisnu, Ganesha, dan Lakshmi. Meskipun ada banyak dewa dalam agama Hindu, diyakini semuanya berasal dari Brahman, jiwa universal. Umat Hindu mengakui bahwa ada jiwa individu di dalam setiap orang, yang disebut Atman. Beberapa umat Hindu percaya bahwa Atman dan Brahman pada akhirnya sama, sebuah gagasan yang selaras dengan panteisme. Namun, pandangan tentang hal ini sangat bervariasi. Di sisi lain, umat Buddha menyangkal keberadaan banyak dewa. Sebaliknya, mereka percaya pada keberadaan satu Tuhan, tetapi mereka tidak percaya bahwa mencari Tuhan itu perlu. Hal ini tercermin dari ajaran mereka yang lebih banyak berbicara tentang perilaku etis daripada beribadah kepada Tuhan. Menyembah berbagai dewa sangat tertanam dalam budaya Hindu, tetapi dalam agama Buddha, pengikut didorong untuk lebih fokus pada disiplin diri.
Kapitayan adalah agama yang percaya pada satu Tuhan yang tidak terlihat manusia. Agama ini sudah dianut secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa saat itu.
(Foto: Freepik jcomp)
Kapitayan lahir jauh sebelum hadirnya pengaruh Hindu dan Budha. Bahkan beberapa pihak menganggap agama ini bersumber dari ajaran nabi Adam.
(Foto: Freepik jcomp)
Sejarah
Penganjur pertama agama Kapitayan disebut Hyang Semar. Ia adalah keturunan kesembilan nabi Adam. Dikutip dari buku Agama Bangsa Nusantara karya Agus Sunyoto (2015), pernyataan bahwa Hyang Semar merupakan keturunan kesembilan nabi Adam didasarkan pada catatan yang tertera pada kitab kuno “Pramayoga” dan “Pustakaraja Purwa” yang meruntut silsilah Hyang Semar dan memposisikannya sebagai keturunan Nabi Adam yang kesembilan.
Dikutip dari nusantarainstitute.com, agama leluhur Kapitayan telah mengenal adanya konsepsi tentang kemahatunggalan Tuhan yang berada pada dimensi alam berbeda dari manusia.Kapitayan didefinisikan sebagai agama yang memiliki keyakinan terhadap sesembahan utama kepada “Sang Hyang Taya”. Posisi Sang Hyang Taya dimaknai sebagai sesuatu yang hampa, kosong, suwung, awang-uwung.
Taya dimaknai absolut sehingga tidak dapat dipikirkan, dibayangkan, dan tidak dapat didekati oleh panca indera manusia. Leluhur Jawa kuno mendefinisikan Sang Hyang Taya dalam ungkapan Tan Kena Kinaya Ngapa yang memiliki arti tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya.
Praktik Ibadah
Puja bakti terhadap “Sang Hyang Tunggal” dilengkapi dengan sesuatu yang memiliki nama “Tu’ atau “To” semisal Tu-mpeng (sesaji), Tu-mpi (keranjang dari anyaman bambu), Tu-ak, (arak), Tu-kung (sejenis ayam). Semuanya ditujukan untuk memohon hal-hal baik. Sementara untuk persembahan kepada Sang Manikmaya dilakukan peribadatan dan sesembahan khusus yang biasa dikenal dengan sebutan “Tu-mbal”.
Konsep peribadatan di atas dikhususkan pada permohonan kebaikan dan menolak keburukan berdasarkan dua poros yang dimiliki Sang Hyang Tunggal.
Sanggar ini mengilhami penyebutan “langgar” sebagai tempat peribadatan bagi umat muslim di berbagai pelosok, khususnya di daerah Jawa.
Hingga saat ini, beberapa ritual atau sarana peribadatan peninggalan Kapitayan masih lestari dan menyatu dalam beberapa agama baru, seperti “sembahyang (sembah-Hyang), puasa (upawasa), pitutur (pitu-tur, pemberian nasehat), pidato, (pi-dha-Tu) mulang (pi-wulang, menyampaikan ilmu pengetahuan), pidana (pi-dana).
Istilah ‘pondok pesantren’ yang kini menyebar ke seluruh pelosok negeri dan menjadi pusat transformasi keilmuan Islam adalah konsep pendidikan keagamaan yang diadopsi dari sistem pendidikan Kapitayan (santri, padepokan).
(Foto: lirboyo.net)