Mengenal Kitab Pranoto Mongso, Sistem Penanggalan Jawa Bagi Para Petani dan Nelayan
Biasanya kitab Pranoto Mongso digunakan oleh petani dan nelayan Jawa pada zaman dulu
Dalam sebuah video yang diunggah Instagram @humasjogja, terlihat seorang perempuan tua sedang menunjukkan sebuah papan yang terdiri dari garis dan titik disertai dengan garis menyilang.
“Jumlah kolomnya ada 30, jumlah barisnya ada tujuh disesuaikan jumlah hari. Ini namanya Pranoto Mongso. Kalau mau dibilang kalender juga bisa,” kata perempuan bernama Mbah Wasinem itu.
-
Apa kitab penting itu? Sebuah manuskrip terkenal dari naskah Kitab Kells berusia 1.200 tahun yang memiliki iluminasi luar biasa dari koleksi museum Trinity College Dublin ternyata memiliki sejarah yang panjang sebelum berada di museum tersebut.
-
Apa isi buku 'Kitab Logat Malajoe'? Mengutip situs esi.kemdikbud.go.id, dalam buku tersebut terdapat aturan-aturan yang membahas romanisasi bahasa Melayu. Meski, tidak semua daerah di Nusantara harus menggunakan bahasa serupa tapi ada upaya untuk menjaga keaslian dari bahasa tersebut.
-
Apa isi buku bambu kuno itu? Lembaran bambu ini seringkali berisi karya sastra dan buku tentang pertanian dan pengobatan, tapi dalam temuan terbaru ini, sebagian besar merupakan catatan pemerintahan.
-
Kenapa Pomosda punya program Ngaji Tani? Tujuan pemberdayaan masyarakat melalui Ngaji Tani untuk mendorong kemandirian pangan.
-
Bagaimana masyarakat Sunda menafsirkan penanggalan? Mengutip laman Info Budaya, penanggalan menjadi hal yang penting bagi masyarakat Sunda secara filosofis. Biasanya orang Sunda mengartikan penanggalan atau hari sebagai siklus perjalanan hidup. Orang-orang zaman dahulu menyebut kalender sebagai Sakakala, Cakakala, Pranatamangsa, Tangara Waktu atau Pananggalan.
-
Kapan masyarakat Borobudur menggunakan astronomi untuk pertanian? Dengan mengamati benda-benda langit, mereka dapat menentukan peralihan musim dan menentukan waktu tanam serta panen, selain itu juga sebagai ritual kepercayaan.
Mbah Wasinem mengatakan, kitab Pranoto Mongso yang ia miliki telah diwariskan secara turun-temurun. Biasanya kitab Pranoto Mongso digunakan oleh petani Jawa pada zaman dulu. Lantas seperti apa penggunaan dari Kitab Pranoto Mongso ini?
Aturan Pranoto Mongso
Dikutip dari Salamyogyakarta.com, Pranoto Mongso merupakan semacam penanggalan musim menurut pemahaman masyarakat Jawa. Biasanya Pranoto Mongso ini digunakan oleh petani dan nelayan.
Penggunaan Pranoto Mongso ini dipelopori oleh Raja Pakubuwono VII dan dimulai sejak 22 Juni 1856. Contoh penggunaannya biasanya pada saat petani bercocok tanam, pelaut saat melaut, dan berperang.
Pada tahun 1855, aturan Pranoto Mongso diperbaharui oleh Sri Paduka Mangkunegara IV. Aturan itu meliputi bulan-bulan musim atau bulan-bulan matahari. Aturan musim itu dikaitkan dengan perilaku hewan, perkembangan tumbuhan, dan situasi alam sekitar.
Berdasarkan aturan ini, setahun dibagi ke dalam empat musim utama dan dua musim kecil yaitu: terang (langit cerah, 82 hari), semplah (penderitaan, 99 hari) dengan masa paceklik pada 23 hari pertama, udan (musim hujan, 86 hari), dan pangarep-arep (penuh harap, 98/99 hari) dengan masa kecil panen pada 23 hari terakhir.
Pembagian Pranoto Mongso
Dalam pembagian yang lebih rinci, setahun dibagi menjadi 12 musim dengan rentan waktu yang lebih singkat namun jangka waktunya lebih bervariasi sesuai dengan yang tercantum pada prisma pranoto mongso.
Dua belas musim dalam pranoto mongso antara lain Kasa (22 Juni-1 Agustus), Karo (2 Agustus-24 Agustus), Katelu (25 Agustus-17 September), Kapat (18 September-12 Oktober), Kalima (13 Oktober-8 November), Kanem (9 November-21 Desember), Kapitu (22 Desember-2 Februari), Kawolu (3 Februari-28 Februari), Kasanga (1 Maret-25 Maret), Kasadasa (26 Maret-1 April), Dhesta (19 April-11 Mei), dan Sadha (12 Mei-21 Juni).
Kaitan Pranoto Mongso dengan Kehidupan
Dari Pranoto Mongso, diketahui pada Bulan Desember-Januari-Februari adalah musimnya badai, hujan, banjir, dan longsor. Selanjutnya pada musim Kawolu antara 2/3 Februari-1/2 Maret, bersiap siagalah terhadap penyakit tanaman maupun wabah bagi manusia dan hewan. Dimungkinkan akibat banjir, badai, dan longsor itu akan berdampak pada menyebarnya penyakit dan kelaparan.
Kaitannya dengan para nelayan, mereka melaut sambil membaca alam dengan melihat letak bintang yang dianggap patokan yang selalu menemani saat melaut. Pada bulan-bulan tertentu, mereka bisa mendapatkan ikan yang banyak saat melaut. Namun pada bulan-bulan tertentu pula, kondisi laut sangat berbahaya. Di saat itulah para nelayan bisa berhenti melaut sembari memperbaiki jaring-jaring yang rusak, memperbaiki rumah, atau mencari pekerjaan selain melaut.