Sejarah Rumah Potong Jagalan di Solo, Peninggalan Pakubuwono X
Keberadaan rumah potong hewan ini tak bisa lepas keberadaannya dari sejarah Kota Surakarta.
Keberadaan rumah potong hewan ini tak bisa lepas keberadaannya dari sejarah Kota Surakarta.
Sejarah Rumah Potong Jagalan di Solo, Peninggalan Pakubuwono X
Di Kota Solo, ada sebuah rumah penyembelihan hewan yang usianya sudah cukup tua. Namanya Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Jagalan. Tempat ini sudah ada sejak masa Pakubuwono X.
-
Siapa yang membangun rumah potong hewan Semarang? Dr. Jan Stapensea adalah seorang ahli peternakan dan dokter hewan pertama di Kota Semarang. Pada era 1920-an, ia mencetuskan berdirinya rumah pemotongan hewan atau Abbatoir pertama di Semarang.
-
Dimana rumah potong hewan itu dulu berada? Keberadaannya menggantikan rumah potong hewan tradisional yang ada di Kampung Jagalan, Semarang.
-
Dimana Rumah Adat Panjalin dibangun? Untuk tempat dakwah Mengutip laman direktoripariwisata.id, rumah adat ini awalnya dibangun oleh keturunan Kerajaan Talaga Manggung bernama Raden Sanata di tahun 1700-an.Ia sebelumnya berguru di Pondok Pesantren Pager Gunung, yang tidak jauh dari Kampung Panjalin, Desa Panjalin, Kecamatan Cikalong Wetan.
-
Kenapa rumah potong hewan dipindah ke Penggaron? Pada tahun 1995, Abbatoir tersebut dipindahkan ke wilayah Penggaron, Semarang, karena wilayah tersebut pada tahun itu sudah menjadi pemukiman padat penduduk dan pula untuk menghindarkan masyarakat dari penyakit yang disebabkan oleh pemotongan hewan.
-
Kapan rumah potong hewan di Semarang diresmikan? Pada akhirnya, rumah pemotongan hewan bernama Semarangsche Slachthuis itu diresmikan pada tahun 1929.
-
Siapa yang membangun Rumah Adat Panjalin? Untuk tempat dakwah Mengutip laman direktoripariwisata.id, rumah adat ini awalnya dibangun oleh keturunan Kerajaan Talaga Manggung bernama Raden Sanata di tahun 1700-an.
Dikutip dari Surakarta.go.id, dahulu bangunan ini diberi nama Pembelehan Radjakaja. Nama itu berasal dari bahasa Jawa. “Pembelehan” artinya penyembelihan, sementara “Radjakaja” artinya hewan ternak, mengacu pada hewan seperti sapi, kambing, dan kerbau.
Dalam proses penyembelihan, RPH Jagalan menjaga prinsip-prinsip yang cukup ketat. Hal ini mencangkup seluruh aspek pemotongan secara Islami berdasarkan fatwa MUI.
Pada masa lalu, RPH Jagalan merupakan bagian dari Keraton Surakarta. Jumlah jagalnya mencapai 30 orang. Bangunannya juga masih peninggalan kolonial Belanda.
Dilansir dari Liputan6, lahan RPH Jagalan cukup luas. Bagian depan bangunan menghadap ke barat digunakan untuk hewan ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing. Sementara di bagian belakang ada bangunan khusus untuk pemotongan daging babi. Bangunan itu dipisahkan oleh sebuah sungai kecil dan menghadap ke utara.
RPH Jagalan juga memegang peran penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging hewan yang halal dan berkualitas. Dalam perkembangannya, tempat pemotongan hewan itu juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dan sejarah dan budaya Kota Surakarta.