Kontroversi RUU Kesehatan
Merdeka.com - Dunia kesehatan lagi riuh. Tiba-tiba saja bersirkulasi draf RUU Kesehatan yang menelisik banyak isu kesehatan. Mulai dari hak dan kewajiban pasien hingga registrasi tenaga kesehatan. Jumlah pasalnya tidak main-main; 455 pasal. Sedemikian luas cakupannya hingga RUU ini mendapat julukan lain: RUU Ombinus atau Sapu Jagad.
Sesaat setelah muncul, RUU ini langsung mendapat respons negatif. Berbagai organisasi profesi (OP) kesehatan, termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dengan tegas menolak RUU ini. Banyak alasannya; salah satunya, mereka tidak dilibatkan dalam pembuatan RUU ini. Padahal mereka adalah stakeholder utama dan merupakan front-liner pelayanan kesehatan.
Poli-Minim
-
Kenapa revisi UU Kementerian Negara dilakukan? Badan Legislasi DPR bersama Menpan RB Abdullah Azwar Anas, Menkum HAM Supratman Andi Agtas melakukan rapat pembahasan terkait revisi UU Kementerian Negara.
-
Apa yang akan dihapus oleh pemerintah? Pemerintah akan menghapus kredit macet segmen Usaha Mikro Kecil & Menengah (UMKM) di bank.
-
Bagaimana proses revisi UU Kementerian Negara dilakukan? Ada sembilan fraksi partai politik DPR yang menyetujui Revisi UU Kementerian Negara diproses ke tahan selanjutnya.
-
Kenapa UU No. 22 Tahun 2014 dicabut? Namun, penolakan secara masif dilakukan masyarakat hingga menyebabkan UU tersebut dicabut dan Perppu No. 1 Tahun 2014 dikeluarkan yang kemudian disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015.
-
Apa saja isi poin penting dalam RUU Kementerian Negara? Salah satu poin penting dalam RUU itu adalah perubahan Pasal 15. Dengan perubahan pasal itu, presiden nantinya bisa menentukan jumlah kementerian sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan negara, tidak dibatasi hanya 34 kementerian seperti ketentuan dalam undang-undang yang belum diubah.
-
Kenapa revisi UU Desa diusulkan? Mereka memandang revisi UU Desa dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum terkait masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 8 tahun atau 9 tahun. Selain itu, revisi UU ini juga dinilai dapat meningkatkan kesejahteraan desa, badan permusyawaratan desa (BPD) dan perangkat desa, serta perlindungan hukum bagi kepala desa dan perangkat desa dalam pengambilan kebijakan pembangunan desa.
Bila hanya menelisik pasal demi pasal, beberapa konten RUU ini terkesan positif dan bermanfaat. Namun ketika mereview elemen substansial RUU, mulai terlihat sejumlah isu krusial yang menjadi alasan berbagai OP menolak RUU ini. Banyak 'minim' (poli-minim) di balik RUU ini.
Pertama, minim transparansi (lack of transparancy). Sejak awal, RUU ini dibuat diam-diam; entah apa motifnya. DPR menunjuk Kemenkes pembuatnya sementara Kemenkes menyebut RUU ini produk DPR. Terkesan kucing-kucingan. Informasi terakhir, RUU ini dibuat oleh Badan Legislatif DPR. Informasi inipun disanggah oleh anggota DPR Irma Chaniago. Kata beliau, RUU ini dibuat oleh Kemenkes namun meminjam tangan Badan Legislatif sehingga seolah-olah ini produk DPR dan bukan produk Kemenkes.
Ini aneh; masak RUU dibuat seperti kucing-kucingan. Mestinya RUU justru disebar luas dari awal agar masyarakat tahu dan bisa memberi masukan. Nama penyusun naskah akademik RUU ini pun tidak ada. Ibarat tesis atau disertasi, tidak diketahui siapa pembuatnya. Ironisnya, beredar kabar bahwa RUU ini masuk akan segera disahkan.
Artinya, masyarakat berhadapan dengan sebuah RUU ‘misterius’ yang ujug-ujug akan segera disahkan. Ini jelas bertentangan dengan salah satu azas krusial pembentukan UU, yaitu keterbukaan. Semua produk legislasi, apalagi yang memengaruhi hajat hidup orang banyak, harus dibuat secara transparan. Bukan dengan silent action.
Kedua, minim representasi (lack of representation). OP adalah representasi formal tenaga kesehatan di Indonesia. Mereka adalah stakeholder penting sistem pelayanan kesehatan. Tanpa mereka, pelayanan kesehatan tidak berjalan efektif atau bisa kolaps. Mestinya OP dilibatkan sejak awal dalam pembuatan RUU ini.
Faktanya, tidak satupun OP formal ini dilibatkan. Ini melahirkan spekulasi bahwa peran OP mau dihilangkan atau dikerdilkan dalam RUU ini. Ada upaya marginalisasi profesi. Ini tentu bukan langkah tepat karena berpotensi menimbulkan konflik antara pemerintah dengan OP.
Prakondisi konflik tidak bagus, apalagi menghadapi tahun politik pergantian pimpinan nasional. Pelibatan OP formal sangat krusial, agar suara tenaga profesional terdengar. Jangan sampai RUU ini menggunakan model cherry-picking; mengundang orang-orang tertentu yang seide dengan konten RUU dan mencatatnya sebagai perwakilan suara OP.
Ketiga, minim kejelasan (lack of clarity). Urgensi sebuah UU Omnibus adalah mengganti dan mensinergiskan berbagai UU terkait yang ada. 12 UU bidang kesehatan akan dihapus dan digantikan oleh UU Omnibus kesehatan ini. Namun sebelum memutuskan pembuatan UU baru, mestinya ada penjelasan rasional dan transparan terkait alasan penggantian UU lama. Apakah UU lama sudah tidak relevan atau mengandung konflik satu dengan lainnya?
Mesti ada penjelasan dan telaah ilmiah terkait aspek filosofis, yuridis dan sosial penggantian UU ini. Sehingga ada alasan substansial dan relevan penggantian UU. Sayangnya, aspek clarity ini tidak terpenuhi. Hingga kini, tidak pernah terdengar adanya diskusi atau telaah ilmiah RUU ini, apalagi yang melibatkan perguruan tinggi. Kesannya, sangat lack of clarity.
Keempat, minim urgensi (lack of urgency). Informasi yang beredar, RUU akan segera ketok palu. Seolah-olah ada kegentingan dan urgency; tidak bisa ditunda. Kesannya, kalau tidak diundangkan tahun ini, domain kesehatan akan guncang. Faktanya, tidak ada urgensi dan kegentingan sama sekali pada produk legislasi ini.
UU yang mau diganti saja masih banyak yang lawas, seperti UU Kebidanan yang dibuat tahun 2019. Juga tidak ada urgensi penggabungan UU karena tidak ada konflik signifikan antar UU. Produk legislasi yang seharusnya dibuat saat ini adalah terkait isu kekinian atau pandemi, seperti UU Telemedicine, UU Meta-Data Penduduk atau UU Pembuatan Obat dan Vaksin Wabah.
Selain itu, negeri ini masih terus berjibaku dengan persoalan kesehatan mendasar; angka AKI/AKB yang masih terpuruk, target pengurangan stunting 2,5% pertahun yang belum tercapai, isu BPJS yang masih terus menggelantung. Ini semua isu yang perlu penyelesaian segera. Bukan justru ujug-ujug membuat legislasi yang berpotensi menimbulkan konflik.
Kelima, minim kualitas (lack of scholarship). UU adalah produk legislasi krusial yang mempengaruhi hayat hidup orang banyak. Pembuatannya harus kredibel, akurat dan ilmiah. Tidak boleh asal-asalan. Sayangnya, draf RUU ini menimbulkan pertanyaan terkait kualitas isinya; banyak locus minoris atau celah kelemahan.
Terminologi organisasi profesi saja ambivalen; terdapat dua terminologi berbeda. Antara pasal satu dengan pasal lain ada yang tabrakan. Pasal 268 menyebutkan pasien berhak menolak usulan penatalaksanaan dari tenaga kesehatan sementara pasal 269 menyatakan pasien wajib mematuhi nasihat tenaga kesehatan.
Proporsi isu juga tidak proporsional. Ada topik yang pembahasannya sampai puluhan pasal, sementara ada topik krusial yang pembahasannya hanya beberapa pasal saja. Naskah akademiknya pun tidak adekuat. Banyak bagian dalam naskah akademik yang tidak ada referensinya. Tidak jelas pendapat dari mana. Beberapa bagian lagi menggunakan referensi yang sudah outdated.
Artinya naskah akademik ini fragile. Bagaimana bisa naskah akademik sebuah UU rapuh? Ini sekaligus menimbulkan pertanyaan : siapa pembuat naskah ini? Apakah mereka ahli kesehatan masyarakat dan berpengalaman menggabungkan sejumlah UU? Jangan-jangan tim pembuat tidak memiliki latar belakang adekuat terkait public health policy.
Keenam, minim pembagian peran (lack of sharing roles). Dalam RUU terlihat jelas gesture monopoli peran. Menteri Kesehatan menjadi super-body; penentu dari semua persoalan kesehatan dari hulu ke hilir. Menteri akan menjadi atasan KKI, BPJS dan berbagai institusi lain. Padahal sebelumnya strukturnya tidak demikian.
Menteri menjadi penentu utama standar-standar pendidikan kedokteran, pelayanan kedokteran dan standar profesi dokter. Padahal sebelumnya peran ini dibagi secara proporsional dengan berbagai stakeholder termasuk OP, rumah sakit dan institusi pendidikan. Bahkan pendidikan berkelanjutan dokterpun diambil alih Menteri. Aneh tapi nyata. Monopoli peran ini menggiring sistem kesehatan Indonesia mundur kebelakang menjadi model sentralisasi. Padahal dunia moderen memutlakkan spirit kolaborasi dan inklusifme; bukan monopoli dan eksklusifme.
Potensi Inkonstitusional?
Secara substansial RUU ini amat bermasalah dan rapuh. Ia tidak memenuhi kaidah normatif pembuatan RUU. Ia melanggar azas krusial pembuatan UU termasuk azas keterbukaan dan partisipasi representatif. Ia mengandung banyak locus minoris dan konflik kepentingan, termasuk monopoli peran Menteri. Saat yang sama, RUU ini ingin memandulkan peran OP yang selama ini telah menjadi mitra strategis pemerintah dalam pembangunan dunia kesehatan.
Mestinya RUU ini dipending dulu. Didesain ulang secara adekuat dan kredibel dengan melibatkan tim profesional di bidang Public Health Policy serta para stakeholder. Kemudian dikaji secara luas dengan melibatkan institusi ilmiah seperti perguruan tinggi.
Tidak perlu buru-buru dikebut; tidak ada aspek urgensinya. Bila tidak, RUU ini tidak akan mencapai urgensinya sebagai UU Omnibus yang bisa mensinergiskan dan menyelaraskan beragam UU yang ada. Bahkan yang akan muncul justru penolakan sengit dari berbagai pihak dan ujung-ujungnya akan menggiring nasib RUU ini sama dengan RUU Cipta Kerja : dianggap inkonstitusional dan cacat administrasi.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Menurut Budi, UU Kesehatan bisa menyederhanakan proses penerbitan surat tanda resgistrasi (STR).
Baca SelengkapnyaRUU Kesehatan dianggap minim urgensi dan kualitas. Banyak celah kelemahan dan RUU ini.
Baca SelengkapnyaPetisi ini diajukan oleh 150 orang Guru Besar lintas profesi, baik dari profesi kesehatan dan non kesehatan.
Baca SelengkapnyaGelombang penolakan RUU Omnibus Law Kesehatan kembali bergulir. Fokus utamanya adalah pengembalian mandatory spending pada RUU Omnibus Law Kesehatan.
Baca SelengkapnyaPKS menilai RUU Kesehatan justru menghilangkan mandatory spanding untuk kesehatan yang ada di UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Baca SelengkapnyaKetua DPR RI Puan Maharani mengetuk palu pengesahan RUU Kesehatan setelah mendengarkan pendapat dua fraksi yang menolak yaitu Demokrat dan PKS.
Baca SelengkapnyaMeski kecewa, IDI mengaku siap mengawal penerapan UU Kesehatan ini hingga ke tingkat cabang.
Baca SelengkapnyaIDI mengajukan judicial review UU Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi.
Baca SelengkapnyaUU Kesehatan telah menghapus kewajiban pemerintah mengalokasikan anggaran 5 persen dari APBN untuk belanja sektor kesehatan.
Baca SelengkapnyaSaat ini, aturan turunan dari UU Kesehatan masih digodok.
Baca SelengkapnyaIDI mengimbau Kemenkes tidak terburu-buru mengesahkan RPP Kesehatan
Baca SelengkapnyaDalam UU Kesehatan terbaru ini, anggaran wajib untuk sektor kesehatan atau spending mandatory dihapus.
Baca Selengkapnya