Forum Guru Besar Minta Pengesahan RUU Kesehatan Ditunda, Kirim Petisi ke Jokowi dan Puan
Petisi ini diajukan oleh 150 orang Guru Besar lintas profesi, baik dari profesi kesehatan dan non kesehatan.
Petisi ini diajukan oleh 150 orang Guru Besar lintas profesi, baik dari profesi kesehatan dan non kesehatan
Forum Guru Besar Minta Pengesahan RUU Kesehatan Ditunda, Kirim Petisi ke Jokowi hingga Puan
Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) mengajukan petisi permohonan penundaan RUU Omnibus law Kesehatan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPR Puan Maharani. Petisi ini diajukan oleh 150 orang Guru Besar lintas profesi, baik dari profesi kesehatan dan non kesehatan.
Mereka mengidentifikasi sejumlah isu serius yang sangat perlu dipertimbangkan dalam RUU Kesehatan ini.
Pertama, penyusunan RUU Kesehatan dinilai tidak secara memadai memenuhi asas krusial pembuatan undang-undang. Yaitu asas keterbukaan/transparan, partisipatif, kejelasan landasan pembentukan seperti filosofis, sosiologis & yuridis, dan kejelasan rumusan.
"Langkah-langkah perbaikan dan peningkatan kualitas perumusan serta partisipasi publik harus menjadi fokus untuk mencapai undang-undang kesehatan yang lebih komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat," kata Prof. Dr. Laila Nuranna saat membacakan petisi dilihat secara daring, Senin (10/7).
Kedua, Laila melanjutkan, saat ini tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan. Sebab, RUU Kesehatan ini akan mencabut 9 Undang-Undang terkait kesehatan dan mengubah 4 Undang-Undang lainnya.
Padahal, menurut Guru Besar Universitas Indonesia (UI) ini, hampir semua undang-undang tersebut masih relevan digunakan dan tidak ditemukan adanya redundancy dan kontradiksi antar satu sama lain. "Di saat yang sama, negara kita sedang menyiapkan sebuah hajatan demokrasi besar yang memerlukan perhatian serius, yaitu Pemilihan Umum," ucap Laila.
Ketiga, Laila menuturkan, pelbagai aturan dalam RUU Kesehatan berisiko memantik destabilitas sistem kesehatan serta mengganggu ketahanan kesehatan bangsa.
Dia membeberkan sejumlah pasal-pasal dalam RUU Kesehatan yang tidak kondusif dan menunjukkan ketidakberpihakan kepada ketahanan kesehatan bangsa yang kuat. Di antaranya, hilangnya pasal terkait mandatory spending yang tidak sesuai dengan amanah Abuja Declaration WHO dan TAP MPR RI X/MPR/2001.
Kemudian, munculnya pasal-pasal terkait ruang multibar bagi organisasi profesi. Selanjutnya, soal kemudahan bagi dokter asing untuk masuk Indonesia dan tidak menguntungkan mayoritas masyarakat Indonesia. Berikutnya, implementasi proyek bioteknologi medis termasuk proyek genom yang mengakibatkan konsekuensi serius pada biosekuritas bangsa. Selain itu, ada kontroversi terminologi waktu aborsi.
Pada poin keempat, Laila menambahkan, pengesahan RUU Kesehatan bisa melahirkan kelemahan penerimaan dan implementasi undang-undang (reluctant compliance) yang ujungnya bermuara pada konflik dan ketidakstabiian bidang kesehatan, kurangnya legitimasi undang-undang, serta minimnya partisipasi kolektif yang bermakna dari pelbagai lapisan masyarakat dan pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi.
Atas dasar itu, FGBLP menyatakan RUU Kesehatan memiliki sejumlah isu serius yang berpotensi mengganggu ketahanan kesehatan bangsa.
Untuk itu, FGBLP mengusulkan pengesahan RUU Kesehatan ditunda dan dilakukan revisi secara lebih kredibel dengan melibatkan tim profesional kepakaran serta semua pemangku kepentingan. "Dalam upaya meningkatkan kualitas dan kesempurnaan RUU ini, kami siap berkontribusi dan berkolaborosi dengan DPR serta pihak-pihak terkait," tutup dia.
Kemenkes Sesalkan Guru Besar Termakan Hoaks Dalam Mengkritisi RUU Kesehatan
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyesalkan sikap beberapa guru besar ilmu kedokteran dari sejumlah universitas yang mengkritisi RUU Kesehatan hanya berdasarkan provokasi dan fakta sesat yang dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu. "Kami menyesalkan para guru besar tersebut tidak membaca dan tidak tabayun mencari fakta sebenarnya terkait RUU Kesehatan," kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr Mohammad Syahril dalam keterangan tertulisnya, Senin (10/7).
Syahril mengatakan, penolakan para guru besar itu hanya didasarkan pada hoaks yang beredar di grup WhatsApp serta provokasi dari pihak-pihak tertentu untuk menolak RUU Kesehatan yang sudah jelas akan membuat masyarakat lebih mudah mengakses dokter dan mendapatkan pengobatan dan layanan kesehatan yang murah.
Sebagai contoh isu salah yang dihembuskan para guru besar, menurut Syahril, terkait terminologi dan waktu aborsi.
Padahal masalah aborsi sudah diatur dalam Undang-Undang KUHP yang baru, dan RUU Kesehatan hanya mengikuti apa yang sudah ada di UU KUHP agar tidak bertentangann. Isu lain yang salah kaprah terkait kebijakan genomik.
"Pengobatan presisi secara genomik sudah umum di negara lain. Indonesia sudah jauh ketinggalan. Malaysia dan Thailand sudah memulainya lebih dari 5 tahun lalu. Kenapa guru besar ini keberatan dengan ilmu baru ini?" kata Syahril.
Kemenkes siap menerima para guru besar untuk diskusi kapan pun agar mereka tidak termakan hoaks dan dapat mengedukasi para siswanya dengan akurat.