Gerakan NII dan Desakan Dimasukkannya Jadi Organisasi Teroris Buntut Kontroversi Al-Zaytun
Hal ini bertujuan untuk memberikan payung hukum bagi aparat di lapangan untuk melakukan penindakan.
Hal ini bertujuan untuk memberikan payung hukum bagi aparat di lapangan untuk melakukan penindakan.
Gerakan NII dan Desakan Dimasukkannya Jadi Organisasi Teroris Buntut Kontroversi Al-Zaytun
Negara Islam Indonesia (NII) kembali mencuat menyusul kontroversi pondok pesantren Al-Zaytun diduga menjadi sentral organisasi terlarang tersebut dalam menjalankan operasinya.
Timbul desakan dari pelbagai pihak agar NII turut dimasukkan ke dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT).
Hal ini bertujuan untuk memberikan payung hukum bagi aparat di lapangan untuk melakukan penindakan.
Tenaga Ahli Direktorat Pencegahan Densus 88, Islah Bahrawi menyampaikan bahwa sampai dengan saat ini NII belum masuk pada DTTOT.
Dia mengatakan, tahun ini sudah ada 35 orang yang mengaku sebagai anggota NII dan telah ditangkap di pelbagai provinsi seperti di Sumbar, Banten, DKI Jakarta dan Bali.
Menurut dia, telah banyak anggota NII ditangkap dan usulan dari banyak pihak perlu menjadi pertimbangan pemerintah agar secepatnya memperjelas status NII.
"Ini menjadi penting sebenarnya, ada apa dengan pemerintah, kok sampai sekarang NII tidak dimasukkan ke dalam DTTOT? Padahal sudah banyak bukti-bukti penangkapan, dan juga jaringan mereka masih hidup sampai sekarang dengan berbagai metamorfosisnya," kata Islah dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (14/7).
Islah menambahkan, organisasi-organisasi yang juga masih dalam jubah yang sama dengan NII ini seharusnya bisa ditetapkan oleh pemerintah sebagai organisasi teror yang terlarang atau DTTOT.
Dia menekankan, NII adalah embrio dari berbagai gerakan-gerakan ekstrim dan teror di Indonesia yang berhasrat menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. "Kita tidak bisa pungkiri bahwa organisasi-organisasi teror yang ada di Indonesia hari ini, semuanya berawal dari rahim yang sama, yaitu dari NII versinya Kartosoewirjo," kata pria yang akrab disapa dengan sebutan Gus Islah ini.
Menurut dia, gerakan NII kemudian bermetamorfosis dalam berbagai zaman sampai ke pemimpinan Masduki, Adah Jaelani. Kemudian memecah diri melalui kelompok Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir yang kemudian dikenal sebagai Jamaah Islamiyah.
Dia berpesan agar aparat penegak hukum tidak terkecoh dengan segala pernyataan yang dikemukakan oleh Panji Gumilang.
Perlu diteliti lebih lanjut tentang kegiatan dilakukan Panji Gumilang ketika memimpin pesantren Al-Zaytun. "Kalau saya pribadi begini, Panji Gumilang ini bisa saja dia mengaku Pancasilais, tapi sebenarnya dia itu masih melakukan proses konsolidasi setiap tanggal 1 Muharram di Al-Zaytun, yang mendatangkan ribuan orang dari luar Al-Zaytun untuk proses-proses konsolidasi," kata dia.
Aktivis yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia ini menambahkan, proses konsolidasi secara rutin di Al-Zaytun telah terbukti karena banyak pengakuan-pengakuan dari orang-orang terdekat Panji Gumilang.
Pengakuan oleh Maulana dari Kalimantan Selatan, beberapa mantan pengajar dan alumni Al-Zaytun yang mengatakan bahwa banyak orang-orang yang dimasukkan pada acara tahunan 1 Muharram sama sekali tidak terkait dengan Al-Zaytun.
This is source 2
Gus Islah menegaskan bahwa perlu memisahkan Al-Zaytun sebagai lembaga pendidikan aktif dengan Panji Gumilang dan NII yang sampai hari ini masih melakukan konsolidasi dengan jaringannya di Indonesia. Al-Zaytun sendiri sebenarnya hanya dijadikan tempat oleh Panji Gumilang dengan segala kepentingannya. "Yang menarik adalah bahwa sebenarnya tidak ada kaitannya Al-Zaytun dengan NII sendiri. Memang Al-Zaytun ini dibentuk oleh seorang NII yang bernama Abu Toto alias Panji Gumilang alias Abu Maarik, banyak sekali namanya. Tapi kalau kita perhatikan memang sebenarnya Al-Zaytun sendiri ini adalah lembaga pendidikan pada zaman Orde Baru milik Panji Gumilang yang mantan NII ini setelah digalang oleh pemerintah ketika itu," ujar Gus Islah.
Dia menyebutkan, ketika Panji Gumilang berniat untuk mendirikan Al-Zaytun sebagai lembaga pendidikan, pemerintah banyak sekali memberikan dukungan terhadap keinginan Panji Gumilang tersebut. Pada dasarnya, proses penggalangan terhadap Panji Gumilang ini sudah terjadi sejak akhir dekade tahun 90-an dan berlanjut ketika pada zaman Presiden Ibu Megawati. Waktu itu Kepala BIN Hendropriyono. Terkait perbedaan fikih yang terjadi di Al-Zaytun, Gus Islah berpendapat bahwa hal itu tidaklah menjadi masalah. Sebeb menurut dia, di dalam Islam sendiri sejarah-sejarah terbentuknya pelbagai sekte, firqoh, ataupun ajaran yang berbeda sejak ratusan tahun lalu. Selain itu, di Indonesia juga antar organisasi bisa berbeda pandangan fikihnya.Dia menambahkan bahwa fikih Muhammadiyah dan NU juga berbeda, ditambah dengan Al-Irsyad dan lain sebagainya. Ini adalah berbagai khilafiyah yang lazim terjadi. Perbedaan sejatinya akan terus ada dan ini tidak boleh dikekang.
"Yang harus kita hindari adalah pemahaman takfir atau mengkafirkan sesama yang cenderung menghegemoni dan melakukan klaim kebenaran atas nama diri dan kelompoknya, lalu memberikan stigma dan penghakiman 'pasti salah' terhadap orang lain yang berbeda. Ini yang enggak boleh," pungkas Gus Islah.
Al-Zaytun Terafiliasi NII dan Komune
MUI sebelumnya menyatakan Ponpes Al-Zaytun berafiliasi dengan organisasi terlarang, Negara Islam Indonesia (NII). Temuan ini berdasarkan hasil penelitian pada 2002.
MUI sudah melaporkan temuan ini kepada Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Bidang Hukum dan HAM Ikhsan Abdullah menyebut ada kesamaan pola rekrutmen anggota hingga penggalangan dana antara Ponpes Al-Zaytun dengan NII. Selain terafiliasi NII, Ponpes Al-Zaytun berbentuk komune. Hal ini diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy. "Penilaian saya sementara Al-Zaytun ini bukan hanya sebagai ponpes sudah merupakan komune," kata Muhadjir, Rabu (28/6).
Muhadjir menjelaskan makna komune. Dia menyebut, komune merupakan sistem kemasyarakatan mirip negara. Komune memiliki hierarki hingga regulasi khusus. Pengikut komune juga biasanya mengedepankan kepatuhan kepada pimpinannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), komune merupakan kelompok orang yang hidup bersama. "Komune di beberapa negara menunjukkan ada penyimpangan yang sangat ekstrem," ujar Muhadjir.
Muhadjir mengambil contoh komune di Wako, Amerika Serikat. Mereka melakukan pembunuhan massal. Sementara di Jepang, komune melepaskan gas sarin di kereta bawah tanah.
"Mudah-mudahan komune-komune yang ada di Indonesia ini termasuk Al-Zaytun tidak sampai sejauh itu," ujar dia.
Muhadjir menegaskan, pemerintah tidak melarang adanya komune selama tidak melanggar hukum. Dia mengungkap, sebetulnya ada banyak komune di Indonesia. Ada yang berbasis agama, budaya, relatif terbuka, bahkan sangat eksklusif.
"Selama dia tidak menyimpang dari Undang-Undang (UU), tidak melanggar aturan, ya tidak masalah. Tapi kemudian melanggar masalah, melanggar UU, melanggar peraturan, pasti ada penindakan," tegasnya.