Kisah JP Coen membantai 14.400 orang di Banda
Merdeka.com - Langkah Jan Peterszoon Coen memulai ambisinya membangun koloni Belanda di Hindia adalah menaklukkan Jayakarta dan menguasai monopoli pala dan rempah-rempah. Untuk kepentingan rempah-rempah itulah JP coen menuju Banda, Maluku.
Ketika Coen pertama kali ke Hindia Timur pada 1610, dia sangat muda dan menjadi awak kapal yang dipimpin oleh Pieter Willemszoon Verhoeff. Saat itu, pimpinannya dibunuh warga Banda. Coen selamat dan melaporkan kejadian itu kepada Kompeni di Belanda dan dia kembali ke Hindia pada 1618.
Saat itu, pada 1616, pusat kegiatan administrasi dan pelayanan Kompeni Belanda masih berada di Banten. Namun, sayang hubungan Kompeni dengan kerajaan Banten tidak begitu baik. Kerajaan Banten menilai Kompeni terlalu dominan dalam urusan dagang, padahal bukan hanya Kompeni yang menjadi kongsi dagang Banten, ada juga Inggris, saudagar dari China, dan negara Eropa lainnya.
-
Siapa yang dibunuh karena pemberitaan tentang korupsi? Herliyanto adalah seorang wartawan lepas di Tabloid Delta Pos Sidoarjo. Dia ditemukan tewas pada 29 April 2006 di hutan jati Desa Taroka, Probolinggo, Jawa Timur. Herliyanto diduga dibunuh usai meliput dan memberitakan kasus korupsi anggaran pembangunan di Desa Tulupari, Kecamatan Tiris, Kabupaten Probolinggo.
-
Siapa pelaku penganiayaan? Viral Remaja Pukuli Bocah Lalu Mengaku sebagai Keponakan Mayor Jendera Sekelompok remaja tmenganiaya dan mencaci bocah di Bandung, Jawa Barat.
-
Kenapa pasukan penculik menculik jenderal? Hal ini dilakukan karena di rumah Nasution dan Yani terdapat pasukan pengawal. Sementara di rumah-rumah jenderal lain, tidak ada pengawal.
-
Siapa yang melakukan penganiayaan? Seorang bocah berusia 8 tahun di Semarang diduga dibakar teman sepermainannya.
-
Siapa yang memimpin penculikan para jenderal? Doel Arif mendapat tugas menculik para Jenderal Angkatan Darat di malam kelam itu. Doel Arif menjadi Komandan Pasukan Pasopati dalam Gerakan 30 September.
-
Siapa yang membunuh korban? Jasad wanita berinisial R (34) ditemukan di Dermaga Ujung Pulau Pari dengan kondisi sudah membusuk pada 13 April 2024. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh pelaku berinisial N yang diketahui memesan layanan Open BO dari R melalui aplikasi WeChat.
Keadaan berubah, saat Jan Peterszoon Coen, diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Hindia pada 1618. Begitu menjabat Gubernur Jenderal, Coen memulai ambisinya ingin membuat markas besar Kompeni. Banten menurut Coen tidak bisa dijadikan pusat Kompeni di Hindia, selain tidak akur dengan pihak kerajaan. Dia lebih memilih Jayakarta sebagai pusat administrasi Kompeni.
Coen merancang sebuah rencana, dengan persiapan perang dan pembangunan benteng di sekitar Jayakarta. Pada 1621 Coen berhasil menaklukkan Jayakarta dan mengusir pengikutnya. Setelah itu, Jayakarta dihancurkan dan dia bangun ulang, diganti menjadi Batavia. Penghancuran Jayakarta dan pergantian nama menjadi Batavia adalah kisah baru Kompeni Hindia yang terus dipenuhi dengan penguasaan di segala bidang dan mengusir musuh-musuhnya.
Bagi sejarawan Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso, penghancuran Jayakarta bukan hanya soal fisik. Coen seperti meniupkan ruh baru pada arah masa depan penjajahan Belanda di Indonesia. Segala cara dia lakukan untuk menguasai perdagangan di Hindia, termasuk dengan menghancurkan Jayakarta dan membangunnya kembali dengan nama yang baru. Kemudian dilanjutkan dengan pembantaian petani Banda di kepulauan Maluku.
"Menghancurkan secara fisik, iya. Secara gagasan Coen meletakkan gagasan yang baru sama sekali. Sistem pusat pemerintahan yang dibangun bukan dengan sistem feodalisme, tapi perusahaan. Perusahaan ini milik negara, perusahaan yang bisa merekrut tentara, membangun benteng, mencetak uang, layaknya sebuah negara. Jadi landasan perusahaan ini untuk mencari keuntungan. Murni ekonomi dan itu sudah seperti negara modern," kata Bondan kepada merdeka.com di rumahnya di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur pada Jumat (20/9).
Di tahun yang sama, seusai menaklukkan Jayakarta, langkah Coen berikutnya adalah monopoli pembelian pala di Banda, Kepulauan Maluku. Langkah-langkah yang dilakukan untuk monopoli pala dilakukan dengan brutal. Coen memaksa petani Banda untuk menjual hasil palanya hanya kepada Kompeni.
Menurut Bondan, alasan pembantaian di Banda, karena sistem pemerintahan di Banda tidak terbentuk seperti kerajaan di Jawa. Bondan menerangkan, jumlah desa di Banda saat itu ada 40 desa dan memiliki otoritas sendiri menjual hasil pala kepada siapa saja. Coen merasa sulit mengatur semua itu, meski ada beberapa desa yang bersedia menjual, desa yang lain tidak bersedia. Maka cara yang dipakai Coen, menurut Bondan dengan cara paksa dan dibantai.
"Coen lahir dari zamannya. Ketika pertama kali ke Hindia Timur, Nusantara, dia melihat satu peristiwa, di mana pimpinannya saat di Banda dibunuh. Dia salah satu awak kapal yang selamat dan melaporkan peristiwa itu ke markas Kompeni dan itu membekas dalam benaknya. Itu kemudian yang menjadikan dia melakukan tindakan kejam terhadap orang Banda. Dia membantai sekitar 14.400 orang di Banda, sekitar 800 orang dipindahkan ke Batavia," ujar Bondan.
Menurut Bondan, apa yang dilakukan Coen saat itu juga dilakukan bangsa-bangsa Eropa yang lain saat menjajah bangsa lain di berbagai belahan dunia. Meski begitu, pemerintah Belanda tetap memberikan gelar pahlawan nasional kepada Coen. Apa yang dilakukan Coen dengan pembantaian itu, menurut Bondan, bahkan tak bisa diadili dengan hukum HAM saat ini.
"Tidak bisa, bahkan untuk norma yang sekarang pun tidak bisa. Tapi untuk ukuran norma apapun tetap saja itu kejahatan meski untuk ukuran Abad XVII. Tapi memang saat itu memang itu yang juga terjadi di mana-mana. Bangsa Eropa lain, ketika ekspansi di mana-mana juga melakukan hal yang serupa. Misal di Benua Amerika, Francisco Pizarro dari Spanyol membantai hingga 5 juta orang. Jadi mereka melakukan hal itu dan kemudian Inggris di Amerika Utara juga membantai orang Indian yang jumlahnya ratusan ribu. Jadi apa yang dilakukan Coen itu dampak ekspansi Bangsa Eropa ke Asia. Itu terjadi di mana dan di sini kebetulan terjadi di Banda," kata Bondan.
Bondan juga mengingatkan, hal serupa juga terjadi di Nusantara. Banyak juga raja-raja di nusantara yang melakukan hal yang serupa kepada rakyatnya, namun jarang yang mau mengungkapkannya. Dia mencontohkan bagaimana Amangkurat I yang memerintah Kesultanan Mataram pada 1646-1677, yang membantai 6.000 santri di alun-alun Surakarta. (mdk/bal)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pasukan elite baret hijau Belanda membantai ratusan warga Rawagede, Karawang. Ini pengakuan saksi tentang kejadian mengerikan itu.
Baca SelengkapnyaKIsah pembantaian masyarakat Aceh oleh penjajah Belanda.
Baca SelengkapnyaWesterling tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, tanpa basa-basi mereka langsung membuat teror dan mimpi buruk bagi masyarakat setempat.
Baca SelengkapnyaPenyerangan di Rawagede ini dicap sebagai bagian dari kejahatan perang.
Baca SelengkapnyaSebanyak 2.000 tengkorak dan 1.000 nisa kuburan ditampilkan secara dramatis.
Baca SelengkapnyaRevolusi Sosial Sumatra Timur kisah kelam pembantaian kesultanan Melayu.
Baca SelengkapnyaDi tahun 1950-an, jumlah copet di Kota Bandung sudah mencapai 300 pelaku. Saking banyaknya, polisi sampai mempelajari cara pencopet beraksi
Baca SelengkapnyaKorban terlibat dalam tindakan separatisme dan membakar fasilitas umum di Papua
Baca SelengkapnyaKasus penganiayaan terhadap sejumlah orang simpatisan capres-cawapres03 Ganjar-Mahfud viral di media sosial.
Baca SelengkapnyaPemberontakan yang ia pimpin menjadi pemberontakan besar terhadap Belanda yang pertama di Pulau Jawa.
Baca SelengkapnyaPanglima Perang dari Riau ini terlibat langsung dalam peperangan melawan Belanda di Sumatera Barat di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol.
Baca SelengkapnyaSimak kisah salah satu pembantaian rakyat sipil selama Perang Dunia 2.
Baca Selengkapnya