Kondisi Miris Petugas Damkar di Depok, Terpaksa Sering Minta Uang ke Warga untuk Beli Bahan Bakar
Pegugas damkar mengaku terpaksa menelan pil pahit dicemooh warga ketika harus meminta uang bensin.
Cerita miris mengiringi operasional petugas Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Kota Depok. Mereka kerap kehabisan bahan bakar saat melakukan penyelamatan, sehingga sering meminta uang kepada warga, khususnya Ketua RT atau RW, untuk membeli bahan bakar.
Sandi Butar Butar, petugas honorer DPKP Kota Depok, memaparkan bahwa kejadian ini kerap terjadi keika warga meminta bantuan ke Damkar untuk evakuasi pohon tumbang. Saat itu chain saw sebagai alat yang digunakan untuk memotong batang pohon tidak ada bensin.
"Chain saw ngga ada bensin. Kalau kita telepon pejabat kan lama lagi. Kadang kita patungan. Kadang kalau sudah terdesak kita jujur sama ketua RT atau RW, 'Pak mohon maaf kita ngga ada bensin'. Itu untuk operasionalnya chain saw itu kan bensin dan oli campur. Ya kadang kita minta ke warga," kata Sandi, Senin (19/8).
Bukan sekali hal itu terjadi. Hampir setiap kali ada permintaan bantuan evakuasi pohon tumbang, petugas selalu kesulitan mendapatkan bahan bakar. Saking seringnya, petugas di lapangan sering dicemooh warga.
"Warga nilai sendiri jadinya. Ada yang nanya 'Bang ini serius pemadam nggak ada bensin? Duit negara'. Kita jawab apa adanya kalau nggak ada bensin," ceritanya.
Sandi dan teman-temannya harus menelan pil pahit cemoohan warga ketika harus meminta uang bensin. Mereka terpaksa harus mengungkapkan kenyataan yang ada demi upaya evakuasi.
"Mau nggak mau kita jujur kita mau gimana? Sudah berapa tahun dan warga juga sudah nilai," ungkapnya.
Saking seringnya meminta uang bensin, warga pun akhirnya sering bertanya-tanya mengenai anggaran di dinas tersebut. Stigma negatif muncul, walaupun uang yang diminta dari warga tidak digunakan untuk keperluan pribadi.
"Makanya banyak warga nilai memanggil pemadam bayar ngga sih. Karena uangnya ya untuk beli bensin. Jadi nimbulin stigma itu di warga," ujarnya.
Sandi mengaku tidak ingat sudah berapa kali harus meminta uang ke warga untuk membeli bensin. Namun dia memastikan hampir tiap laporan yang masuk dan petugas datang ke lokasi, petugas selalu kehabisan bensin. Padahal untuk menghidupkan alat potong pohon hanya diperlukan uang Rp25.000 hingga Rp40.000.
"Tergantung laporan yang masuk. Seringlah ya hampir 70 persen lah. Kalau misalnya kita bawa chain saw, seringnya sih chain saw. Habisnya sekitar Rp25.000 sampai 40.000 karena kan bensin sama harus ada olinya," katanya.
Rogoh Kocek Pribadi
Tak jarang petugas harus merogoh kocek pribadi untuk membeli bahan bakar. Padahal uang yang dikantongi hanya Rp5.000.
"Ya kita patungan kalau cuma punya goceng ya patungan anak-anak, pakai uang pribadi. Ini fakta lapangan," ujarnya.
Sandi sudah 10 tahun menjadi petugas honorer dengan gaji Rp3,2 juta per bulan. Namun dia harus sering mengeluarkan uang pribadi untuk membeli bahan bakar.
Dia dan ratusan teman-temannya yang juga masih tenaga honorer mengaku sering kelimpungan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan kondisi di lapangan. Mereka pun sering mengutang dan pinjaman online (pinjol).
"Kadang juga pejabat pernah marah karena banyak tagihan karena kan anak-anak ngutang ke mana-mana, ditelepon ke kantor. Ya memang salah juga sih kita, tapi nggak bisa dipungkiri kita punya kebutuhan," ungkapnya.
Demi memenuhi kebutuhan harian, Sandi dan beberapa temannya bahkan harus berutang melalui pinjaman online (pinjol). Alasannya, gaji yang mereka dapat tidak mencukup, apalagi sering dipakai untuk memenuhi operasional ialat.
"Banyak yang pinjol. Hampir rata-rata, dari 100 orang ya 80 persennya lah (pinjol). Ada yang Rp 3juta, semua untuk kebutuhan keluarga karena uang gaji sering kepake beli ,bensin jadi nggak cukup dan ngutang,” katanya.
Mereka juga sering dikejar pinjol sampai ke kantor. Sandi mengaku sebenarnya tidak mau terjerat utang, namun karena kondisi yang mendesak maka dia dan puluhan temannya terpaksa berutang.
"Ada yang di koperasi, ada yang gagal bayar, ada yang disamperin ke kantor, pinjaman berulang gali lubang tutup lubang," ungkapnya.
Karena geram dengan bobroknya manajemen di kantornya, Sandi pun akan melapor dugaan korupsi. Pasalnya ada anggaran dalam APBD Depok namun faktanya selalu kekurangan di lapangan.
Minta Bantuan Pengacara
Sandi pun meminta bantuan hukum dari pengacara Deolipa Yumara. Dia sudah menceritakan banyak kejanggalan yang ada di lingkup Damkar Kota Depok.
"Ya benar, Sandi Butar Butar ini datang ke kami. Kedatangannya yang pertama hendak meminta bantuan hukum yaitu pendampingan secara pribadi. Banyak hal yang kurang-kurang atau curang-curang, atau malah Damkar yang terasa diabaikan oleh pemerintah Kota Depok, karena tidak diawasi anggarannya, atau diberikan tapi mungkin tidak diawasi atau malah kemungkinan di korupsi," katanya.
Sandi juga menegaskan bakal melaporkan masalah yang terjadi di Damkar Depok ke penegak hukum, khususnya bagian penanganan korupsi.
"Nah kita belum tahu apa yang ada di dalam ceritanya Pak Sandi ini, tapi yang jelas sudah ada indikasi-indikasi korupsi," ujarnya.
Sementara Deolipa menduga, berdasarkan keterangan sementara yang diberikan Sandi, anggaran perawatan maupun perbaikan sebenarnya ada, namun entah mengapa tidak digunakan secara baik. Beberapa hal yang harus diusut adalah persoalan kepegawaian peralatan, termasuk di dalamnya tentang perawatan, dan kinerja operasional.
"Jadi ini potensi korupsinya ada, ini harus di bereskan. Makanya nanti Pak Sandi setelah mendapatkan pendampingan dari kami, kemudian akan melaksanakan tugasnya, yaitu membuka seterang-terangnya apa yang terjadi di Damkar Kota Depok. Karena menurut keterangan Sandi ini, bahkan untuk bensin saja minta ke warga,” pungkasnya.