Nenek Asal Muna Sultra Berusia 120 Tahun, Pernah Melawan Penjajah dengan Daun Sirih
Merdeka.com - Masih ingat kisah Mbah Gotho Sodimejo atau biasa dipanggil dengan sebutan Mbah Gotho dari Sragen itu tercatat lahir pada 31 Desember 1870 dan meninggal pada April 2017, alias sempat berusia 146 tahun.
Capaian usia sepanjang itu jarang dimiliki orang pada umumnya. Rata-rata usia orang sekarang di bawah 100 tahun. Namun, anomali selalu ada. Salah satunya Wa Dae, seorang wanita asal Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Usianya ditaksir 120 tahun, dan masih hidup hingga kini.
Saat dikunjungi pada Kamis (6/6), Wa Dae, lansia yang tinggal dan menetap di dalam sebuah gubuk kecil di Kelurahan Sidodadi, Kecamatan Katobu, Kabupaten Muna, terlihat lemah. Posisi berbaring, tubuh keriputnya terlihat samar-samar di dalam bilik yang tak dipasangi lampu penerangan.
-
Kapan Mbah Dipo meninggal? Mbah Dipo tutup usia pada tahun 2007, tugasnya diberikan kepada istri ketiga.
-
Kapan pria itu meninggal dunia? Sejak kejadian tersebut, ia terus positif mengidap virus corona selama 613 hari hingga kematiannya pada Oktober tahun lalu.
-
Kapan pria itu meninggal? Peneliti menduga pria tersebut memiliki tinggi 1,9 meter, meninggal sekitar abad ke-15 atau awal abad ke-16 ketika wilayah tersebut masih menjadi satu dengan Denmark dan Norwegia.
-
Siapa yang meninggal? Ketua Umum PP Perbasi, Danny Kosasih, telah meninggal dunia.
Kesan pertama bertemu Wa Dae, dia sosok wanita lansia yang nampak tua renta. Wajah, lengan dan kakinya yang tak terbungkus sarung, dipenuhi gurat-gurat keriput.
Memakai baju kaos oblong dan sarung, Wa Dae berbaring dalam kamar khusus di gubuk milik salah seorang kerabatnya, La Bade (74). Dengan posisi setengah tengkurap, Wa Dae juga enggan banyak berkata-kata.
Sesekali, dia hanya terdengar bergumam. Berkata-kata dengan bahasa daerah Muna yang kental.
Kata La Bade, Wa Dae tak banyak bergerak sejak 2018. Wanita lansia itu, hanya beraktivitas di dalam bilik.
Pria yang menjadi sepupu Wa Dae ini memulai ceritanya soal kisah Wa Dae yang berumur panjang.
Dahulu, sekitar 1972, dia dan Wa Dae berstatus warga pindahan di wilayah Kelurahan Sidodadi. Bersama sekitar 100 orang lebih warga lainnya, mereka datang dari Desa Tongkuno, wilayah yang berjarak sekitar 50 kilometer lebih dari gubuknya.
"Saya dan warga kampung dipaksa pemerintah pindah dari Desa Tongkuno. Alasannya, air bersih sangat sukar didapat, sementara kami bekerja sebagai petani," kenang La Bade.
Saking sulitnya sumber air, warga kerap meminum air dengan membelah batang pohon. Untuk keperluan mandi dan memasak, warga di sana sering memanfaatkan air dari batang pohon bambu.
"Saat itu masa Bupati La Ode Kaimoeddin. Mungkin prihatin sama kami, dia pindahkanlah lokasi kami di desa sekarang ini," ujarnya.
Dia mengenang, saat pindah usianya sekitar 27 tahun. Sedangkan Wa Dae, diperkirakan sudah berusia sekitar 60 hingga 70 tahun.
"Saya mengenali Wa Dae, sejak saya berusia 10 tahun. Saat itu, seingat saya dia terlihat sudah keriput dan beruban tapi masih kuat," cerita La Bade.
La Bade mengungkapkan, kedua orang tuanya seumur dengan usia Wa Dae. Namun, keduanya sudah lebih dulu meninggal puluhan tahun lalu.
Seorang kerabatnya yang lain, Wa Ngkuma (78) ikut mengisahkan, sejak berusia sekitar 8 hingga 9 tahun, dia sudah mulai tahu soal Wa Dae. Saat itu, Wa Dae sudah tak muda lagi. Namun, terlihat masih energik saat menanam jagung dan ubi kayu.
"Dia (Wa Dare) biarpun sudah tua, masih cantik. Berkulit bersih, hingga menjadi incaran tentara Jepang dan pemuda di kampung saat itu," ujar Wa Ngkuma.
Selama hidupnya, Wa Dae sudah dua kali menikah. awalnya, dia menikahi seorang pria bernama La Kalopo.
Setelah La Kalopo meninggal, dia kemudian menikahi La Maka. Dua kali menikah, dia tak kunjung dikaruniai keturunan hingga masa tuanya.
Sewaktu masih belia, Wa Dae dan wanita-wanita di kampung kerap menjadi sasaran penculikan tentara Jepang yang pernah menduduki Kabupaten Muna. Saat itu, sekitar tahun 1942 hingga 1945.
Berbagai aksi penculikan, menyebabkan banyak wanita asal Kabupaten Muna yang dibawa pergi dari kampung.
Menyiasati itu, sejumlah wanita menggunakan daun sirih yang dicampur kapur. Setiap hari, mengunyah sirih dilakukan agar penampilan mereka terlihat jelek dan awut-awutan di mata tentara Jepang.
"Karena itu, gigi mereka menjadi berwarna merah keruh dan bibir mereka kotor. Di situ, tentara Jepang menjadi jijik," ujar La Bade.
Menurut La Bade, tentara Jepang yang melihat mereka mengunyah sirih langsung pergi menjauh. Mereka tak tahan saat ludah dan air liur wanita-wanita Muna yang mereka incar, berubah warna karena daun sirih.
"Tapi cara ini berhasil, wanita-wanita di Muna saat itu dikatakan orang gila oleh tentara Jepang. Tetapi, dengan cara inilah mereka tidak diculik dan bisa mempertahankan harga dirinya," ujar La Bade.
Rahasia umur panjang Wa Dae diungkapkan sejumlah kerabatnya. Menurut mereka, Wa Dae dikenal suka berjalan kaki.
Kerabatnya mengungkapkan, Wa Dae bisa berjalan kaki sekitar 30-40 kilometer dalam sehari pada masa mudanya. Bahkan, berjalan kaki tetap dilakukan hingga saat dia sudah tua renta.
"Terakhir dia berhenti berkebun, sekitar 5 tahun lalu," ujar La Bade.
Wa Dae juga ternyata dikenal suka mengkonsumsi jagung dan ubi sebagai pengganti nasi. Selain itu, sayuran yang disantap Wa Dae ditanam bebas di kebunnya tanpa pupuk dan pestisida.
"Dia benci makanan instan Dia menanam sendiri jagung, ubi dan sayurannya sejak usianya masih muda," cerita La Bade.
Kadang, jika sayuran sulit didapat, Wa Dae mengkonsumsi daun-daunan di hutan. Anehnya, makanan yang dianggap hanya ada di dalam film itu bisa membuatnya bertahan hidup saat musim gagal panen atau kemarau.
"Hal lainnya, dia menyukai kebersihan. Suka mandi dan membersihkan tubuh, terutama saat hendak mengolah makanan," ujar kerabatnya, Wa Ngkuma.
Pesan Wa Dae yang terus diingat oleh sejumlah kerabatnya yakni, budaya bekerja keras selama hidup. Lansia yang dikenal jarang mau makan di rumah orang lain itu sering berkata, tak kerja berarti tak makan.
"Kadang, dia suka marah-marah sama kami jika melihat kami malas-malasan sementara dia bekerja keras sejak pagi," terang Wa Ngkuma.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kakek penjual kacang keliling ini ceritakan masa lalunya pernah jadi korban penculikan Jepang, kisahnya viral.
Baca SelengkapnyaIa tewas sesaat setelah melakukan serangan kepada tentara penjajah
Baca SelengkapnyaSosok pahlawan wanita berdarah Minang ini berjuang di garda terdepan melawan dan menentang sistem kolonialisme Belanda.
Baca SelengkapnyaPria tua ini bukanlah orang sembarangan. Dia masih memiliki darah keturunan Kerajaan Majapahit. Pesan leluhurnya juga masih dipegang teguh. Bahkan kakek ini juga masih menjunjung tradisi ageman Jawa Kuno.
Baca SelengkapnyaPondok pesantren ini pernah beberapa kali menjadi basis perjuangan rakyat melawan penjajah.
Baca SelengkapnyaPada dinding-dinding rumah itu masih terdapat lubang-lubang bekas peluru yang ditembakkan pada saat perang meletus.
Baca SelengkapnyaDatuk Mujib, seorang guru spiritual Presiden Soekarno yang merupakan keturunan Raja Bone Sulawesi Selatan.
Baca SelengkapnyaTokoh penting yang pertama kali menjabat sebagai seorang Gubernur Jawa juga dinobatkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Baca SelengkapnyaIa adalah gurunya para warok terkenal di Ponorogo.
Baca SelengkapnyaWalaupun sudah berusia 85 tahun, Mbah Kromo tetap sehat dan semangat menjual sate kelinci
Baca SelengkapnyaMbah Sakinem ialah imigran Jawa yang kini tinggal di Suriname. Ia disebut menjadi saksi hidup satu-satunya perjalanan para imgiran Jawa ke Suriname.
Baca SelengkapnyaIa adalah buah hati anak Raden Toemenggoeng Ario Soerjodiningrat, Bupati Probolinggo.
Baca Selengkapnya