Selama di Mempawah, eks Gafatar olah air sungai jadi air layak minum
Merdeka.com - Selama di Mempawah, Kalimantan Barat, para mantan anggota Gafatar membuat sistem pengolahan air sungai menjadi air layak minum. Mereka membuat sistem tersebut lantaran kesulitan air yang layak untuk konsumsi.
Perancang sistem pengolahan air tersebut, Amri Cahyono menjelaskan jika sistem pengolahan air yang digunakan adalah teknologi modern yang disesuaikan dengan peralatan yang ada di sana.
"Warga di sana biasanya langsung ambil dari sungai, tapi keruh. Lalu kami membuat tim ada 9 orang, membuat sistem supaya air sungai itu bisa langsung layak konsumsi," kata Amri pada merdeka.com di penampungan Youth Center Yogyakarta, Sabtu (30/1).
-
Kenapa pekerja Indonesia dipecat? Pihak perkebunan yang mempekerjakan mereka mengatakan mereka dipecat karena kurang cepat memetik buah-buah yang akan dipasok ke supermarket besar.
-
Kenapa pemukiman itu akhirnya ditinggalkan? Sayangnya, pemukiman yang padat ini harus berakhir akibat masuknya Zaman Besi. Cuaca yang berubah menjadi lebih dingin dan basah menjadikan wilayah ini dihuni oleh banyak nyamuk dan menyebabkan mereka pindah ke wilayah lain.
-
Kapan kampung mati petir mulai ditinggal penduduknya? Pak Priyono mengatakan, dulu ada sekitar 12 rumah di Kampung Petir. Sewaktu masih tinggal di kampung itu, Pak Priyono pernah menemukan jejak Harimau Jawa. Jejak itu ia temukan di Gunung Batu, sebuah bukit yang letaknya tak jauh dari pemukiman penduduk di Kampung Petir.
-
Siapa yang dipecat? Dari tujuh orang tersebut, dua orang polisi dipecat positif mengonsumsi narkoba.
-
Kenapa penduduk kampung mati petir meninggalkan kampung tersebut? Saat itu habis maghrib anak saya mainan marmut tiba-tiba didatangi sosok orang memakai blangkon. Orang itu kakinya tidak menapak di tanah. Orang itu mengajak anak saya keliling-keliling. Tiba-tiba saja dia terbang dan berubah wujud menjadi Mak Lampir,' kata Pak Priyono.
-
Kapan permukiman di Jakarta Timur ditinggalkan? Dari keterangan warga setempat, sekitar seratusan rumah di sana sudah ditinggalkan warga sejak pemerintahan Gubernur Sutiyoso puluhan tahun lalu.
Mereka membuat dua bak air dari kayu dan terpal dengan kapasitas 20 ribu liter. Air dari sungai diangkat dengan menggunakan pompa air ke bak tersebut lalu diberi tawas dan kapur untuk pengendapan.
"Pengendapan itu butuh waktu dua jam. Air yang diangkut itu kadang airnya warna coklat kadang juga hitam. Kalau hitam butuh waktu yang lama," terangnya.
Usai pengendapan, air kemudian dialirkan ke satu bak lagi yang tempat air yang sudah jernih. Setelah dialirkan ke dua tandon di ketinggian 3 meter. Masing-masing tandon tersebut berukuran 1500 liter. Setelah itu air dialirkan ke dua tempat, satu ke perkampungan dan satu lagi ke penyaringan yang bisa membuat air langsung layak minum.
"Secara berkala dari baik ke tandon 3.000 liter dulu, lagi sampai 30 ribu liter. Itu bisa memenuhi kebutuhan 400 orang," tambahnya.
Sebelum air yang sudah melalui penyaringan dikonsumsi, Amri melakukan tes ke laboratorium Dinas Kesehatan Kalimantan Barat. Hasilnya menakjubkan, indeks kelayakan air hasil penyaringan jauh di atas standar yang ditetapkan.
"Kami pakai saringan sederhana, lapisan pertama itu kerikil, lapisan kedua karbon aktif, lapisan ketiga pasir aktif, selanjutnya batu alam, lalu kerikil lagi. Ini sederhana, tapi orang PDAM heran sampai mendatangi kami," terangnya.
Sayangnya baru satu bulan digunakan mereka harus diusir dari Mempawah. Jerih payah selama dua bulan membangun sistem tersebut pun sia-sia.
"Anggarannya sekitar 15 juta untuk membuat itu. Kami sudah mau bantu warga di sana untuk membuat juga, tapi keburu kami diusir," tandasnya.
Pemanfaatan teknologi tepat guna yang digunakan mantan anggota Gafatar di Mempawah ini membuat Pemerintah Daerah Kalimantan Barat melirik. Bahkan mereka mendatangi perkampungan eks Gafatar untuk melihat sistem pengolahan air tersebut.
"Dari pemda datang ke tempat kami, melihat. Dari PDAM juga tanya-tanya bagaimana bisa bikin seperti itu. Mereka juga pengen membuatnya," kata Amri.
Dalam kunjungan tersebut Amri mengatakan jika untuk membuat sistem seperti itu biayanya murah, hanya Rp 15 juta. Jumlah yang murah itu membuat pemerintah terkejut.
"Mereka ada yang mau bikin, biayanya katanya Rp 500 juta. Saya bilang ngawur itu, nggak sampai segitu," ujarnya.
Amri pun mengaku mau berbagi ilmu dengan warga setempat. Bahkan tim berisi sembilan orang tersebut siap membantu untuk membangun sistem tersebut di masyarakat sekitarnya.
"Kami sudah tunjukan caranya dan kenalkan ke warga. Mereka mau membuatnya, tapi kami keburu diusir," tambahnya.
Amri sendiri mengaku mendapatkan pengetahuan membangun sistem pengolahan air tersebut semasa dia kuliah di Jurusan Teknik Lingkungan, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. "Waktu kuliah belajarnya. Ini teknologi modern sederhana saja, tidak banyak biaya," pungkasnya. (mdk/lia)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Warga Desa Sumberkare terpaksa menggunakan air sungai untuk berbagai kebutuhan.
Baca Selengkapnyaaktivitas pertambangan emas ilegal yang marak di sekitarnya membuat air menjadi keruh pekat dan menyebabkan gatal-gatal.
Baca SelengkapnyaMusim kemarau berkepanjangan membuat aliran Sungai Citarum mengalami kekeringan parah.
Baca SelengkapnyaKondisi ini sudah dialami warga selama sebulan terakhir.
Baca SelengkapnyaSumur ini jadi satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat.
Baca SelengkapnyaSetiap harinya puluhan ibu-ibu di Kecamatan Cikulur, harus berjalan berkilo-kilo meter untuk mendapatkan sumber air.
Baca SelengkapnyaSalah satu sumber mata air terbesar di Pulau Jawa ini dulu hanya bisa dinikmati oleh orang kaya. Begini potretnya sekarang.
Baca SelengkapnyaBelum lama ini, penemuan makam dan permukiman kuno di Waduk Gajah Mungkur yang surut viral di media sosial.
Baca SelengkapnyaBangunan sekolah hingga deretan rumah-rumah warga kini terpaksa kosong hingga mulai termakan usia.
Baca SelengkapnyaSumber air di tengah hutan itu kondisinya keruh, namun warga tak punya pilihan lain.
Baca SelengkapnyaTercemarnya aliran Kali Bekasi ini menyebabkan pasokan air bersih untuk puluhan ribu warga Bekasi terganggu.
Baca SelengkapnyaDi musim kemarau tahun 2023 lalu, desa tersebut kembali muncul ke permukaan.
Baca Selengkapnya