Toleransi Beragama di Kampung Eks Tapol PKI
Merdeka.com - Argosari, begitu namanya. Kampung terpencil di Kalimantan Timur itu menjadi tempat penampungan tahanan politik yang terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Kasarnya, mereka dibuang ke desa itu hanya untuk dilupakan.
Kini ada sekitar 167 KK di Argosari yang hampir semuanya tertutup terhadap wartawan dan pemberitaan. Cerita masa lalu langsung mereka tolak. Namun Liputan6.com berkesempatan bertemu dengan Maman Sudana (76), saksi hidup dan pelaku sejarah keberadaan Argosari. Sejak awal bertemu saat sedang beribadah di Masjid An Naas Argosari, dia sudah mewanti-wanti untuk tidak membicarakan cerita kelam masa lalu.
"Saya tidak mau bicara politik, sudah bosan. Lebih baik bicara soal keagamaan saja," kata Maman kepada Liputan6.com, Jumat (10/5).
-
Di mana lokasi kampung terisolir ini? Sebuah kampung di Kabupaten Grobogan letaknya berada di pedalaman hutan jati. Akses menuju kampung itu terbilang sulit. Pengunjung dengan kendaraan roda dua harus melewati jalan berpasir yang sempit di antara pohon-pohon jati yang membentang sejauh empat kilometer.
-
Dimana kampung terpencil itu berada? Dusun Gunung Tengu merupakan sebuah perkampungan mati yang berada di tengah perkebunan kopi, lokasinya berada di Desa Sidoharjo, Kecamatan Candiroto, Kabupaten Temanggung.
-
Dimana letak kampung terpencil ini? Dusun Jurang Sempu yang berada di Desa Dayakan, Kecamatan Badegan merupakan salah satu desa terpencil di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
-
Bagaimana PKI menang di desa terpencil? Tanda gambar Parpol atau Ormas pun tak pernah terpasang jelang pencoblosan.Tentu saja perwira polisi ini bingung. Bagaimana bisa PKI menang sangat telak di desa tersebut?
-
Dimana letak kuburan massal PKI? Pak Darmadi lantas menunjukkan sebuah jalan setapak yang berada di bawah tiang sutet. Jalan setapak itu melintas di tengah ilalang dengan cuaca siang yang begitu terik.
-
Dimana lokasi rumah pengasingan Bung Karno? Lokasi rumah ini berada di Jalan Jeruk yang kini berganti nama menjadi Jalan Soekarno-Hatta, Kelurahan Anggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu.
Maman merupakan salah seorang eks tapol Argosari yang jumlahnya kian menyusut. Faktor usia yang membuat mereka satu per satu berpulang sejak Argosari berdiri pada 1970.
"Sudah banyak yang meninggal dunia. Mungkin tersisa enam orang saja dari dulunya mungkin ratusan orang," ungkap Maman.
Maman yang asli Sunda merupakan korban konflik masa lalu. Tanpa persidangan dia langsung ditahan dan diasingkan ke Kalimantan, hingga akhirnya terdampar di Argosari.
"Biasanya yang sering cerita masa lalu itu Untung Suyanto, Sugito Kasirin, M Kapli. Kalau saya sudah malas mengingat lagi," katanya.
Maman mulai bisa move on, hidupnya kini fokus sepenuhnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan mengurus Masjid An Naas Argosari.
"Kalau sudah seumuran saya ini, apa lagi yang mau dicari? Mencari ketenangan jiwa dengan menekuni kegiatan keagamaan lebih bermakna," ujarnya.
Maman mengatakan, suasana perkampungan sangat mendukung keinginannya menyingkir dari keramaian duniawi. Argosari sendiri dihuni oleh orang-orang yang senasib sepenanggungan dengannya.
Rata-rata mereka hanya ingin menghabiskan masa tuanya dengan tenang. Argosari bisa diibaratkan Indonesia kecil dengan beragam suku bangsa dan kepercayaan.
"Kami semua adalah keluarga yang saling mendukung satu dengan lainnya. Toleransi beragama tumbuh otomatis tanpa perlu diajarkan," papar Maman.
Maman mencontohkan, empati antarwarga terlihat kala mereka ditimpa kemalangan. Tanpa harus diundang, seluruh warga akan datang untuk memberikan dukungan.
"Tanpa memandang agama dan suku di antara kami," ujarnya.
Memasuki Ramadan misalnya, mereka yang nonmuslim bertoleransi dengan tidak menggelar kegiatan secara berlebihan.
"Mereka menggelar acara di luar bulan Ramadan agar tidak mengganggu umat Muslim," sebutnya.
Demikian pula saat perayaan Hari Raya Idul Fitri, kata Maman, mereka yang nonmuslim berbaur dan datang ke rumah orang Islam untuk sekadar mengucapkan selamat lebaran. Sebaliknya pula, orang Islam akan melakukan hal serupa saat mereka merayakan Hari Natal.
Pada prinsipnya, Argosari seperti keluarga yang dipersatukan kesamaan nasib. Maklum saja, mengingat mereka adalah eks tapol atau setidaknya anak turunan eks tapol PKI.
Aloysius Paelan (78) eks tapol yang aktif di Gereja Katolik Santo Yoseph Argosari punya cerita yang sama. Mantan tentara yang membuka lembaran baru di lokasi penampungan.
Paelan sudah melupakan seluruh keluarga yang enggan mengakuinya. Istri dan anak kandungnya sudah menganggapnya meninggal dunia.
"Putra pertama akhirnya baru-baru ini mau mengakui keberadaan saya di sini. Sedangkan, anak kedua belum mau ke sini meskipun tahu bapaknya masih hidup di sini," keluh Paelan.
Kini, Paelan menemukan saudara pengganti. Mereka adalah para eks tapol Argosari yang jumlahnya kini bisa dihitung dengan jari.
"Mereka ini saudara-saudara saya di sini," ungkap Paelan.
Lantaran itu pula, Paelan menyadari arti pentingnya warga Argosari menggantikan keluarga kandungnya. Ia memahami kesamaan nasib mereka yang mempererat kekerabatan. Perbedaan tidak menjadi penghalang di antara mereka.
"Kami memang berbeda agama, tapi hubungan di antara kami semua tetap berjalan dengan baik," ujar pria asal Jawa Timur.
Paelan mengatakan, masyarakat Argosari saling menghormati pilihan agama masing masing. Meskipun begitu, hubungan antartetangga pun dianggap penting sebagai wujud toleransi.
Meski menjadi kawasan eks tapol, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar tidak memberikan perlakuan berbeda terhadap Argosari.
"Semua itu masa lalu, sekarang ini tidak ada yang dibeda-bedakan seperti halnya daerah lain di Kukar," kata Kepala Humas Pemkab Kukar, Dafif Haryanto.
Para eks tapol memiliki hak sama seperti halnya warga Kukar lainnya. Mereka mengembangkan infrastruktur di seluruh desa dan kelurahan yang ada, termasuk daerah yang dulu digunakan untuk penampungan orang yang diduga terlibat PKI.
Apalagi, Kukar merupakan kabupaten kaya berkat eksploitasi migas di Blok Mahakam. Potensi pendapatan sektor migas menyumbang pemasukan kas sebesar Rp 5-10 triliun per tahun.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Tercatat dalam peristiwa itu, sebanyak kurang lebih 65 orang terbunuh.
Baca SelengkapnyaDi balik keasriannya, ada cerita kelam ketika puluhan rumah dibakar paksa oleh pemberontak. Dari 80 rumah yang ditinggali warga, kini tersisa hanya 10 bangunan.
Baca SelengkapnyaSaat masa penjajahan Belanda, lokasi kampung itu digunakan sebagai tempat para tentara Belanda melakukan kekerasan terhadap warga pribumi.
Baca SelengkapnyaAwal mula peristiwa Talangsari dipicu oleh semakin kuatnya doktrin pemerintahan Soeharto tentang asas tunggal Pancasila.
Baca SelengkapnyaNantinya tempat itu akan jadi area tambang karena di dalam tanah desa itu terkandung batu bara.
Baca SelengkapnyaHampir seluruh penduduk desa memilih PKI dalam Pemilu 1955. Padahal tak pernah ada kampanye di desa terpencil itu.
Baca SelengkapnyaMakam di Wlingi Kabupaten Blitar ini dulunya adalah kompleks makam mewah. Kini lokasinya dijadikan areal persawahan.
Baca SelengkapnyaPotret makam para Pejuang Indonesia terbengkalai di pelosok desa Sumedang, Jawa Barat.
Baca SelengkapnyaKetua Partai Komunis Indonesia (PKI) D.N. Aidit jadi buronan Angkatan Darat. Lantaran PKI dicap sebagai dalang aksi Gerakan 30 September 1965.
Baca SelengkapnyaSetelah ditinggal warganya, kampung ini kemudian berganti nama menjadi Mojokoncot
Baca SelengkapnyaIni menjadi tempat pembantaian yang membuat bupati Blora pertama sebagai korban.
Baca SelengkapnyaKini, kampung itu hanya menyisakan rumah yang terbengkalai. Beberapa rumah tampak sudah ambruk.
Baca Selengkapnya