Tragedi Madiun-Magetan dan Sumur-Sumur Pembantaian Korban PKI
Merdeka.com - Madiun Affair adalah peristiwa yang tidak terlupakan dalam catatan sejarah Republik Indonesia. Peristiwa kelam bagi anak bangsa. Kala itu, antara Bulan September hingga Desember 1948, terjadi pemberontakan di Kabupaten Madiun, Magetan dan sekitarnya. Otak dari peristiwa itu adalah Front Demokrasi Rakyat, yang terdiri dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia, Partai Buruh Indonesia, Pemuda Rakyat dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia.
Peristiwa berdarah itu terjadi saat konsentrasi segenap pemimpin dan bangsa Indonesia tertumpah menghadapi Agresi II Belanda. Dengan kata lain, pemberontakan PKI itu telah menikam republik dari belakang.
Dan korbannya adalah elite birokrat, pamong praja, polisi, tentara, guru, tokoh organisasi, kiai dan sebagian besar kepala desa. Dengan terbunuhnya mereka itu, pihak FDR/PKI bertujuan menggantikan posisi-posisi vital yang ada di pemerintahan daerah dengan aparat pemerintahan baru yang terdiri dari kaum komunis.
-
Kapan G30S/PKI terjadi? 'Jumlah pasukan yang ikut gerakan ini sangat kecil. Kodam Jaya punya 60.000 prajurit, 20 kali lebih banyak dari pasukan yang ikut G30S.
-
Dimana peristiwa itu terjadi? Peristiwa itu diketahui terjadi di Jalan Wirasaba, Adiarsa Timur, Karawang Timur, Karawang, Jawa Barat, Minggu (21/7).
-
Apa yang terjadi di Lemah Abang pada 19 Desember 1945? Dahulu Kecamatan Lemah Abang pernah dibom bardir oleh pasukan sekutu pada 19 Desember 1945.
-
Bagaimana kondisi Indonesia di tahun 1945-1950? Sebab, pada tahun itu, kondisi politik dan keamanan negara sudah mulai kondusif, karena pada 1945 hingga 1950-an masih banyak peperangan yang mengharuskan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaannya.
-
Apa yang terjadi di Sumatra Timur pada Maret 1946? Gerakan Kaum Komunis Lahirnya revolusi sosial di Indonesia dipicu oleh gerakan sosial oleh rakyat terhadap penguasa Kesultanan Melayu yang terjadi pada bulan Maret 1946.
-
Di mana Peristiwa Merah Putih di Manado terjadi? Peristiwa Merah Putih merupakan penyerbuan markas militer Belanda yang berada di wilayah Teling, Manado, Sulawesi Utara yang berlangsung pada 14 Februari 1946.
Sebagian besar pendapat menyatakan bahwa pemberontakan PKI Madiun merupakan bagian dari persiapan Belanda, ketika hendak melakukan serangan militer besar-besaran ke Indonesia pada Desember 1948.
TB Simatupang menyebut indikasi ini setelah melihat kepulangan Muso, pemuda asal Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri ke Indonesia dari Moskow melalui Belanda pada Agustus 1948. Jadi di situlah kemungkinan Muso ditunggangi kepentingan Belanda.
Peristiwa di Madiun dan Magetan memang sering disebut-sebut, namun rangkaian sejarah itu sendiri sampai sejauh ini masih kabur.
Apa yang terjadi dengan peristiwa kelabu pada tahun 1948 itu, tidak banyak yang tahu. Bahkan di Perpustakaan Nasional Jakarta, literatur yang menyangkut peristiwa pemberontakan FDR/PKI 1948 tidak dapat ditemukan.
Peristiwa Madiun–Magetan sangat penting berkenaan dengan revolusi Indonesia. sebab peristiwa itu sendiri merupakan sebuah revolusi sosial yang memiliki ciri khas tersendiri. Hal ini seperti yang ditulis dalam buku Lubang-Lubang Pembantaian Petualangan PKI di Madiun yang ditulis Kiai Ngabehi Haji Agus Sunyoto, Maksum dan Zainuddin yang dicetak penerbit Grafiti tahun 1990.
Peristiwa Madiun dan Magetan itu bisa disejajarkan dengan Peristiwa Kampuchea saat rezim Khmer Merah berkuasa, yakni sama-sama mengerikan.
©2021 Merdeka.com/Imam MubarokDi Magetan para korban dibantai secara kejam dan kemudian dimasukkan ke dalam sumur-sumur pembantaian. Antara lain di sumur tua Cigrok Magetan, Sumur Tua Kepuh Rejo Magetan. Dan yang paling banyak adalah di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan.
Di Suco sendiri dibangun monumen yang diresmikan pada 15 Oktober 1989 oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yaitu M Kharis Suhud. Bangunan ini dulunya adalah sumur yang digunakan untuk membuang ratusan korban keganasan FDR/PKI yang dipimpin oleh Muso pada tahun 1948.
Di dekat monumen itu dibangun prasasti nama-nama korban yang tidak bersalah. Dari 108 korban yang diperkirakan, hanya 67 korban yang diketahui namanya, sedangkan 41 lainnya tidak dikenali. Di tempat ini juga terdapat bukti berupa gerbong maut atau biasa disebut dengan gerbong kertapati (kereta kematian). Gerbong ini ikut serta dimonumenkan karena gerbong ini menjadi saksi bisu para korban yang disiksa dengan sadis, sebelum akhirnya di buang menjadi satu di sumur itu.
Dan satu-satunya sejarah terhitam aksi militer penjajahan Belanda terjadi justru beberapa waktu sebelum aksi FDR/PKI berlangsung. Yakni aksi perampokan militer yang dilakukan oleh tentara sewaan Belanda yang dipimpin Kapten Raymond Westerling, yang membuat lubang-lubang pembantaian di Sulawesi Selatan.
"Untuk memahami mengapa peristiwa pemberontakan FDR/PKI dapat terjadi, kita perlu sekali mengetahui pertikaian yang terjadi antara FDR/PKI sebagai kekuatan politik dengan Masyumi dan PNI. Di mana Masyumi salah satunnya adalah musuh PKI," kata Choirul Anam atau akrab disapa Gus Aan, salah satu pengasuh Ponpes Cokro Kertopati Takeran Magetan yang juga menantu KH Zuhdi Tafsir, Gus Aan keturunan dari kiai Ponpes Tegalrejo Magetan yang merupakan cikal bakal Ponpes Takeran Magetan.
Gus Aan menuturkan, proses lahirnya Masyumi dilakukan di Ponpes Takeran Magetan. "Tiga tokoh utama yang menggagas lahirnya Masyumi di Takeran adalah KH Imam Mursyid Muttaqien, KH Wahid Hasyim, Tebuireng dan KH Dimyati Tremas Pacitan. Dan yang menarik tiga pesantren asal kiai ini memiliki logo yang sama yakni segitiga yang melambangkan ilmu, amal dan taqwa," terangnya pada merdeka.com pekan lalu.
©2021 Merdeka.com/Imam MubarokDari tinjauan langsung merdeka.com ke Ponpes Takeran, tempat pertemuan tiga tokoh besar sampai sekarang masih ada dan tetap dilestarikan.
Dalam berbagai hal, terlihat sekali berbagai upaya unsur kekuatan politik dewasa itu untuk saling menjatuhkan, sehingga masa awal setelah kemerdekaan tampak diwarnai oleh jatuh bangunnya kabinet yang ada.
Kabinet Amir Sjarifuddin, tokoh andalan kekuatan sayap kiri yang tergabung dalam FDR, dua kali jatuh. Bahkan pada saat Kabinet Hatta terbentuk, tidak satu pun wakil dari golongan sayap kiri yang mendapat kursi. Oleh sebab itu, dengan berbagai upaya pihak FDR/PKI berusaha menjatuhkan Kabinet Hatta.
Rencana FDR/PKI untuk memanfaatkan para penjahat seperti yang tertulis dalam dokumen-dokumen yang dirampas pemerintah saat dilakukan penggerebekan di rumah Amir Syarifuddin, ternyata sungguhsungguh diterapkan oleh mereka dalam aksi Madiun affair tersebut.
Bahkan dari berbagai kisah yang muncul di tengah kemelut peristiwa berdarah itu, tampak suatu untaian benang merah yang direntangkan FDR/PKI dalam rangka menerapkan teori Karl Marx tentang pertentangan kelas.
Dalam pemberontakan 1948 itu FDR/PKI tidak hanya berhasil mengadu golongan proletar yang diwakili petani dan buruh miskin dengan golongan borjuis yang diwakili elite birokrat priayi, tetapi juga berhasil menimbulkan pertentangan antara polisi dengan penjahat, santri dengan kiai, siswa dengan guru, anak dengan ayah, serta mertua dengan menantu.
Menurut Sejarawan sekaligus Ketua Lesbumi PBNU Agus Sunyoto kepada merdeka.com beberapa waktu lalu sebelum meninggal dunia, pemberontakan FDR/PKI di Madiun dan Magetan sendiri sebenarnya merupakan pemberontakan yang kesekian kalinya dilakukan oleh kaum komunis di Indonesia.
Sebagian di antara tokoh penting dalam peristiwa tersebut adalah tokoh komunis yang pernah gagal mengadakan pemberontakan tahun 1926.
Setelah belasan tahun melarikan diri ke luar negeri, seusai kemerdekaan para tokoh komunis tersebut kembali ke Indonesia, guna menyusun strategi politik untuk mengubah struktur pemerintahan Republik Indonesia menjadi Republik Soviet Indonesia pada tahun 1948.
Dan puncak dari upaya FDR/PKI untuk menjatuhkan Kabinet Hatta adalah meletusnya Peristiwa Madiun, yang dimotori oleh Muso dan Amir Sjarifuddin pada September 1948.
Di mana pada peristiwa tersebut 14 Mujahid dari PSM Takeran menjadi korbannya. Nama-nama tersebut ditulis di prasasti di Ponpes Takeran Magetan. Yakni 1.KH Imam Mursyid Muttaaqien bin KH Imam Muttaqien bin KH Hasan Ulama pendiri Ponpes Takeran 2. Kiai Moh Noor 3. Kiai Ahmad Baidlowi 4. K MH. Nurun 5. Ustad Imam Faham 6. Ustadz Hadi Addaba’ 7. Ustad Moh Maidjo 8. Reksosiswoyo, 9. Hartono 10.Kadimin 11. Moh Suhud (ayah dari Kharis Suhud, mantan Ketua MPR RI), 12. Priyo Oetomo, 13 Rofii Ciptomatono dan 14. Husen.
©2021 Merdeka.com/Imam MubarokTerkait 14 Mujahid yang dihabisi pada 17 September 1948 tersebut, tokoh utama Yakni KH Imam Mursyid Muttaaqien belum diketahui keberadaanya. Karena mayatnya belum ditemukan. Bahkan, dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri tidak tercantum nama Kiai Imam Mursjid Muttaqien.
"Di kalangan pesantren dan keluarga besar Ponpes Tegalrejo dan Takeran beliau itu murco/muksa. Sebab selain Mursyid Thoriqoh Sathoriyah beliau adalah orang yang sakti," kata Mpu Teguh Guno Anom, Mpu Keris Mageti V, keturunan ke-17 dari Mpu Supo yang tinggal di Dusun Brangkal, Desa Kedungpanji, Kecamatan Lembeyan, Kabupaten Magetan.
Kakek Mpu Teguh, Mpu Guno Sasmito sendiri adalah Mpu Pusaka Pangeran Diponegoro dan Mpu Pusaka Ponpes Tegalrejo dan Takeran saat perang Jawa berlangsung.
Apa yang disampaikan Mpu Teguh Guno Anom terkiat Murco/muksanya KH Imam Mursyid Muttaqien juga disampakan oleh Gus Aan.
"Seperti ini ya, ini mutawatir dari Kiai Zuhdi. Tiga kali beliau ini (KH Imam Mursyid Muttaqien) tiga kali dimintai izin oleh abahnya Kiai Zuhdi atau kakek mertua saya, bunyinya begini 'Mas mbok dilawan PKI niku (Mas, seharusnya PKI itu dilawan). Satu kali didiamkan, dua kali didiamkan dan yang ketiga kali KH Imam Mursyid Muttaqien menjawab, pimpinan pesantren ini aku atau kamu. Akhirnya Ponpes Takeran saat peristiwa 1948 tanpa perlawanan. Tidak seharusnya dengan kesaktian orang-orang Takeran akan tunduk begitu saja kepada PKI," tutur Gus Aan.
Masih menceritakan tentang seputar Kiai Imam Mursyid Muttaqien, Gus Aan menceritakan bahwa Kiai Imam Mursyid memiliki wakil bernama Mohammad Nur, menyampaikan bahwa ada kiriman ustaz dari Mesir bernama Ustaz Adaba'.
"Ustaz Adaba' ketika sampai di Pondok Takeran dipanggil oleh Pak Mohammad Nur dan ditunjukkan bola tolak peluru di hadapan Ustaz Adaba'. Dengan sekali sentil bola tolak peluru itu hancur jadi debu. Di hadapan Ustaz Adaba' menyampaikan ini baru aku yang bisa seperti ini, belum KH Imam Mursyid Muttaqien. Artinya apa, dengan kehebatan Mursyid yang seperti itu artinya untuk mengalahkan PKI sangat bisa. Ada apa beliau-beliau ini tidak melawan ini yang harus dipahami, dan beliau dengan keilmuannya lebih tahu tentang hal itu," jelas Gus Aan.
©2021 Merdeka.com/Imam MubarokMeski kejadian 73 tahun lalu, namun bagi generasi tua yang mengetahui kejadian tersebut tetap menjadi trauma, salah satunya Pengasuh Ponpes Cokro Kertopati, KH Zuhdi Tafsir.
Bahkan saat merdeka.com bertemu, Kiai Zuhdi nampak masih trauma dan menyerahkan menantunya, Dr. Choirul Anam/Gus Aan untuk memberi keterangan.
Meski tidak mau memberitahu secata detail, KH Zuhdi Tafsir tetap menggelorakan semangat untuk melawan dan menumpas PKI sampai ke akar-akarnya. Dengan tujuan agar generasi muda tak lalai atas kekejaman PKI.
Bahkan Kiai Zuhdi selalu memberikan orasi kebangsaan yang digelar secara berkelanjutan setiap penghujung bulan September tiap tahunnya, yang dikemas dalam Haul Syuhada. Dan untuk tahun 2021 ini akan dilaksanakan pada tanggal 30 September dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19.
Kegiatan di setiap penghujung bulan September tersebut Haul Syuhada diisi dengan tahlil akbar mengenang para mujahid dan sekaligus pemutaran Film G 30/S PKI, yang dilakukan di Ponpes Takeran Magetan dan juga di sumur pembantaian di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan.
Seperti diketahui Ponpes Takeran didirikan oleh Kiai Hasan Ulama adalah seorang tokoh pemuka agama dan ahli Hikmah Sufiyah.
Beliau adalah pendiri Pesantren Takeran yang menjadi cikal bakal adanya Pesantren Takeran saat ini. Kiai Hasan Ulama merupakan putera dari Kiai Khalifah atau Pangeran Cokrokertopati yang menjadi penasihat spiritual Pangeran Diponegoro yang berasal dari Kebondalem Kemusuk Argomulyo Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.
©2021 Merdeka.com/Imam MubarokDi saat terjadi peperangan dengan penjajah Belanda, Kiai Khalifah mengungsi ke arah timur untuk menghindari dari pengejaran. Hingga sampailah ke wilayah Ponorogo tepatnya di sebuah desa yang disebut desa Bogem-Sampung.
Selanjutnya Kiai Khalifah memulai dakwahnya dengan mendirikan masjid dan pesantren di wilayah tersebut.
Kiai Khalifah memiliki putra bernama Mohammad Jaiz yang menuntut ilmi di Pesantren Tegalrejo, Semen Nguntoronadi Magetan. Pesantren tersebut didikan oleh KH Abdurrahman. Kemudian KH Muh Jaiz diambil menantu oleh KH Mohammad Ilyas di wilayah Gorang Gareng Magetan, dinikahkan dengan Siti Insiyah yang merupakan cucu KH Abdurrahman, pendiri Ponpes Tegalrejo Magetan, mursyid Thoriqoh Syathoriyah yang sandanya dari Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan Tasikmalaya dan Syaikh Abdur Ro'uf Singkiliy Aceh.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
TNI versus Tokoh PKI Kebal Peluru, apa yang dilakukan untuk melawan PKI?
Baca SelengkapnyaRevolusi Sosial Sumatra Timur kisah kelam pembantaian kesultanan Melayu.
Baca Selengkapnya74 tahun berlalu, ini kisah Peristiwa Situjuah yang renggut banyak pejuang Pemerintah Darurat RI.
Baca SelengkapnyaSaid mengingat lagi pada 10 November 1945 lalu yang dikenal sebagai Pertempuran Surabaya menjadi puncak perlawanan rakyat Indonesia.
Baca SelengkapnyaGubernur Jenderal Van Mook menggambarkan bahwa Amir merupakan orang yang tak mengenal kata takut.
Baca SelengkapnyaAwal mula peristiwa Talangsari dipicu oleh semakin kuatnya doktrin pemerintahan Soeharto tentang asas tunggal Pancasila.
Baca SelengkapnyaKonflik bermula ketika seorang penghuni hotel merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang dipakai oleh pemuda Indonesia.
Baca SelengkapnyaPerlawanan yang dilakukan kaum PKI terhadap pemerintah Hindia Belanda ini pecah di Minangkabau atau tepatnya di daerah Silungkang dekat tambang Sawahlunto.
Baca SelengkapnyaPDI sempat pecah jadi dua, antara Kubu Soejadi dan Kubu Megawati.
Baca SelengkapnyaTercatat dalam peristiwa itu, sebanyak kurang lebih 65 orang terbunuh.
Baca SelengkapnyaMereka mendesak Komnas HAM menetapkan peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI sebagai pelanggaran HAM berat.
Baca SelengkapnyaTokoh penting yang pertama kali menjabat sebagai seorang Gubernur Jawa juga dinobatkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Baca Selengkapnya