Menolak Beasiswa Sekolah Guru Belanda dan Pilih Belajar Agama, Sosok Ini Jadi Tokoh Besar Muhammadiyah dari Tanah Minang
Tak hanya di Jawa, Tanah Minang turut melahirkan tokoh-tokoh besar Muhammadiyah era perjuangan.
Tak hanya di Jawa, Tanah Minang turut melahirkan tokoh-tokoh besar Muhammadiyah era perjuangan.
Nama Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau dikenal dengan A.R. Sutan Mansur menjadi salah satu tokoh berpengaruh di Indonesia.
Beliau merupakan salah satu tokoh besar Muhammadiyah di Minang dan berkecimpung di dunia politik semasa perjuangan kemerdekaan.
Pria ini lahir di Maninjau, Sumatra Barat pada 15 Desember 1895.
Beliau adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara dari pasangan Abdul Somad Al-Kusaij dan Siti Abbasiyah yang keduanya merupakan tokoh penting di kampungnya.
Semasa hidupnya, Ahmad Rasyid telah berkecimpung di bidang politik menjadi anggota Partai Masyumi. Kemudian, ia bergabung bersama Muhammadiyah sekaligus menjadikan dirinya salah satu tokoh penting.
Lantas, siapakah sosok Buya Haji Ahmad Rasyid? Simak profilnya yang dihimpun merdeka.com berikut ini.
Mengutip dari situs resmi Muhammadiyah.or.id, Ahmad Rasyid belajar nilai-nilai dasar keagamaan langsung dari kedua orang tuanya. Ketika menempuh pendidikan umum, ia belajar di Inlandsche School (IS) pada tahun 1902-1909.
Selama di IS, Ahmad Rasyid belajar berhitung, geografi, hingga ilmu ukur. Setelah lulus, ia sempat ditawarkan beasiswa di Kweekschool atau sekolah guru Belanda di Bukittinggi. Tetapi ia menolaknya dan memilih belajar ilmu agama.
Sejak menempuh pendidikan, jiwa anti penjajah sudah tumbuh di dalam diri Ahmad Rasyid.
Menurutnya, penjajahan itu bertentangan dengan kemanusiaan dan menghambat penyebaran ajaran agama Islam di Nusantara.
Saat Ahmad Rasyid hendak menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar Mesir, pemerintah Hindia Belanda tidak mengizinkannya untuk pergi karena bertepatan dengan pemberontakan Mesir oleh Inggris.
Setelah gagal meraih cita-citanya, dirinya memutuskan untuk pindah ke Pulau Jawa tepatnya di Pekalongan dan menjadi pedagang kain batik serta guru agama Islam bagi kaum perantauan dari Sumatra.
Pada tahun 1922, Ahmad Rasyid mengikuti sebuah kelompok pengajian di Pekajangan, Pekalongan. Kemudian, pengisi pengajian tersebut dipimpin oleh K.H Ahmad Dahlan yang saat itu Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah.
Sejak saat itu, Ahmad Rasyid mulai kenal dengan Muhammadiyah hingga memutuskan untuk bergabung dengan organisasi tersebut. Selama menjadi anggota, ia mendapatkan ilmu-ilmu agama tidak hanya dari aspek hukum melainkan juga dari sisi sosial masyarakat dan ekonomi.
Pada tahun 1923, Ahmad Rasyid pun menjadi Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan setelah ketua sebelumnya mengundurkan diri lantaran tak kuat menerima serangan dari pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah.
Tepat akhir tahun 1925, kondisi Tanah Minang yang tak kondusif setelah adanya isu konflik antara Muhammadiyah dengan komunis membuat dirinya diutus untuk kembali ke tanah kelahirannya.
Kecerdikan Ahmad Rasyid dalam menata kembali organisasi Muhammadiyah di Minangkabau dengan tidak frontal dan akomodatif kepada tokoh-tokoh setempat. Maka dari itu, perlahan Muhammadiyah mulai diterima dengan baik dan berkembang pesat.
Ketika kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau tahun 1930, telah ditetapkan peraturan bahwa setiap karesidenan harus ada wakil Konsul Muhammadiyah.
Setahun setelah peraturan ini dibuat, Ahmad Rasyid naik jabatan menjadi Konsul Muhammadiyah Daerah Minangkabau yang meliputi Tapanuli dan juga Riau. Ia menjabat hingga tahun 1944.
Jauh sebelum adanya Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara, sudah ada sekolah dari Minangkabau yang memasukkan pelajaran Islam kepada siswa.
Baca SelengkapnyaSosok ulama dari Tanah Minangkabau ini begitu taat dalam menegakkan ajaran-ajaran Islam dan memicu adanya gerakan Paderi.
Baca SelengkapnyaPada momen itu, tentara militer Belanda berbondong-bondong menarik diri dari wilayah yang didudukinya
Baca SelengkapnyaKarena fokus ke ajaran Nasrani, sosoknya pernah dikhawatirkan murtad oleh kalangan ulama di masa silam.
Baca SelengkapnyaSelain dakwahnya secara langsung, ia juga membagi ilmunya dalam bentuk buku.
Baca SelengkapnyaSuku asli dari kota Pagaralam, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Muara Enim ini melakukan perlawanan terlama dalam sejarah.
Baca SelengkapnyaPada 1947, umat islam Tanah Air berperang melawan Belanda pada hari ketiga puasa.
Baca SelengkapnyaSosok pahlawan dari Tanah Batak yang begitu berjasa melawan kolonialisme Belanda yang sudah mulai dilupakan.
Baca SelengkapnyaMustaka tua itu merupakan bentuk dari akulturasi budaya Hindu-Islam pada masanya
Baca Selengkapnya