Sisi Lain Sahbirin Noor Gubernur Kalsel yang Jadi Tersangka KPK, Keturunan Ulama dan Hidup Susah saat Kecil
Sahbirin pernah menjual tape recorder hadiah lomba puisi demi bisa mendaftar SMA.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. Meski Sahbirin telah berstatus tersangka, KPK belum menahannya.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan penyidik akan terlebih dulu melakukan pemanggilan terhadap yang bersangkutan.
“Kami akan lakukan prosedur pemanggilan. Tidak hadir, kami panggil kembali. Tidak hadir lagi akan kami DPO," terang Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (8/10/2024), dikutip dari ANTARA.
Sebelumnya, penyidik KPK telah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa terkait tiga proyek pembangunan di Provinsi Kalimantan Selatan.
Profil
Sahbirin Noor lahir di Banjarmasin pada 12 November 1967. Ia merupakan buah hati pasangan Abdussamad dan Noorsyam.
Mengutip tulisan Hatmansyah Ismail dkk. (2014), nama Sahbirin diambilkan oleh ibunya dari nama depan Pangdam X Lambung Mangkurat saat itu, yaitu Brigjen Sabirin Mochtar. Sedangkan kata Noor yang berarti cahaya disematkan sebagai nama belakang dengan harapan agar kehidupan Sahbirin Noor bisa menjadi cahaya yang menerangi dan berguna bagi masyarakat.
Sahbirin Noor merupakan keturunan salah seorang ulama Banjar. Ayahnya memiliki hubungan keluarga dengan pendiri NU di Kalimantan Selatan dan sekaligus pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Martapura, yaitu Kiai Abdul Qadir Hasan atau yang lebih dikenal dengan panggilan Guru Tuha.
Masa Kecil
Orang tua Sahbirin Noor adalah keluarga sederhana. Ayahnya pedagang kecil dan ibunya mengurus rumah tangga.
Mengutip buku Profil Gubernur Kalimantan Selatan, dari P.M. Noor hingga Sahbirin Noor yang disusun Tim Penyusun Dewan Harian Daerah Badan Pembudayaan Kejuangan 45 (DHD 45) Provinsi Kalimantan Selatan (Agustus 2024), Sahbirin kecil sangat akrab dengan sungai.
Awalnya, keluarganya bermukim di Pekauman, kemudian pindah ke Pasar Lama, dan pindah lagi ke Sungai Jingah. Semuanya berdekatan dengan sungai. Baginya, berenang dan menyeberangi sungai sudah biasa.
Orang tua Sahbirin kemudian bercerai. Ia pun lebih banyak diasuh oleh ibunya. Sahbirin harus kerja banting tulang demi membiayai sekolah.
Sahbirin bahkan pernah menjual tape recorder hadiah lomba puisi demi bisa mendaftar SMA. Keterbelakangan ekonomi tidak membuatnya menyerah.