Di Kota Ini Ada Lomba Melamun, Tak Melakukan Apa-Apa Bukan Berarti Buang-Buang Waktu
Masyarakat di sini sangat kompetitif, jadi terkadang penting untuk tidak melakukan apa pun.
Masyarakat di sini sangat kompetitif, jadi terkadang penting untuk tidak melakukan apa pun.
Di Kota Ini Ada Lomba Melamun, Tak Melakukan Apa-Apa Bukan Berarti Buang-Buang Waktu
Puluhan orang mendongak ke atas, menghirup napas panjang, melepas segala penat di tengah kesibukan masyarakat kota.
Mereka ada yang mengenakan seragam dokter, seragam pekerja sosial, dan sebagainya.
Mereka yang tengah duduk-duduk di halaman Balai Kota Seoul, Korea Selatan, itu diketahui sedang mengikuti kompetisi "space out".
Peserta dengan detak jantung paling stabil akan keluar sebagai pemenangnya.
Melansir The Guardian, aturan dari kompetisi ini sangat sederhana, yaitu jangan melakukan apa pun.
Peserta yang tertidur akan didiskualifikasi. Selama kompetisi berlangsung, penyelenggara memantau detak jantung peserta.
Kompetisi ini dimulai pada tahun 2014 oleh seniman lokal Woopsyang, dan semakin populer selama bertahun-tahun.
Pertunjukan ini bertujuan untuk menyampaikan pesan bahwa tidak melakukan apa pun bukanlah buang-buang waktu.
Korea Selatan sudah lama dikenal dengan budaya kerja yang ketat sekaligus negara maju dengan jam kerja terpanjang di dunia.
Bahkan, tidak jarang para pekerja masih terus lembur.
Kerasnya jam kerja di Korea ditandai pada tahun 2023, pemerintah mengusulkan untuk meningkatkan waktu kerja mingguan maksimum menjadi 69 jam.
Usulan ini kemudian memicu reaksi keras.
Pelajar juga menghadapi tingkat stres yang tinggi. Mereka hidup di dalam apa yang disebut “demam pendidikan”, yang ditandai dengan jam belajar yang panjang.
Pelajar Korea juga masih mengikuti les tambahan dengan harapan dapat masuk ke universitas bergengsi dan mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan terkemuka di negara ini.
Survei pemerintah pada tahun 2022 yang menyasar kelompok usia 19-34 tahun menemukan bahwa satu dari tiga generasi muda pernah mengalami kelelahan dalam satu tahun terakhir, dengan alasan yang disebutkan antara lain:
kecemasan terhadap karier sebesar 37,6 persen,
beban kerja berlebih sebesar 21,1 persen,
skeptisisme terhadap pekerjaan sebesar 14,0 persen, dan
ketidakseimbangan kehidupan kerja sebesar 12,4 persen.
Dengan latar belakang ini, acara hari Minggu adalah kesempatan untuk istirahat dari semua itu.
Kompetisi ini sebelumnya telah diadakan di kota-kota seperti Tokyo, Taipei, Beijing, dan Rotterdam. Peserta tahun ini berasal dari dalam dan luar negeri, antara lain Perancis, Nepal, Afrika Selatan, Vietnam, dan Malaysia.
Hujan tidak menyurutkan semangat para peserta yang sebagian besar menggunakan payung dan jas hujan.
Beberapa berbaring di tanah, menatap ke langit, sementara yang lain mengambil posisi meditasi.
Beberapa dari mereka mengenakan pakaian tradisional Korea, termasuk topi ‘gat’, yang merupakan simbol masyarakat kelas atas pada era pra-industri, ketika waktu senggang sering dikaitkan dengan kaum bangsawan dan sastrawan.
Pemenang pertama pada kompetisi ini yaitu Valentina Vilches, berasal dari Chile namun tinggal di Korea Selatan dan bekerja sebagai konsultan psikologi.
Dia mengatakan ikut kompetisi ini untuk bersenang-senang namun juga ingin berbagi pengalamannya dengan pasiennya.
“Saya ingin mengingatkan mereka tentang pentingnya menjaga jarak dan bersantai serta bagaimana hal ini berdampak positif terhadap kesehatan mental Anda,” kata Vilches.
Sementara itu Kim Ki-kyung, seorang pekerja kantoran asal Korea Selatan yang hampir terlambat menghadiri acara tersebut setelah disuruh bekerja pada Minggu pagi, mengatakan ini adalah kesempatan kecil untuk beristirahat.
“Masyarakat Korea sangat kompetitif, jadi terkadang penting untuk tidak melakukan apa pun,” ujar Kim Ki Kyung.
“Saya pikir kita sudah lupa bagaimana melakukan itu.”