Prabowo Target Penerimaan Negara dari Pajak Karyawan Naik 46 Persen Mulai Tahun Depan, Daya Beli Bakal Turun?
Kenaikan ini mencerminkan optimisme pemerintah terhadap potensi penerimaan dari sektor pajak karyawan.
Presiden Prabowo Subianto berencana menggenjot penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 pada tahun 2025 mendatang. Rencana tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025.
Dalam Perpres tersebut, ditargetkan penerimaan PPh Pasal 21 mencapai Rp313,5 triliun, atau naik signifikan sekitar 45,6 persen dibandingkan target tahun 2024 yang sebesar Rp215,2 triliun.
Kenaikan ini mencerminkan optimisme pemerintah terhadap potensi penerimaan dari sektor pajak karyawan, yang selama ini menjadi salah satu pilar utama pendapatan negara.
Berdasarkan data yang ada, kinerja PPh Pasal 21 pada 2024 menunjukkan pertumbuhan positif. Hingga Oktober 2024, penerimaan PPh Pasal 21 telah mencapai Rp206 triliun atau meningkat sebesar 21 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Tanggapan Pengamat Pajak
Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar menilai target pemerintah untuk meningkatkan penerimaan PPh Pasal 21 pada 2025 merupakan tantangan yang cukup besar.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah perlu menambah sekitar Rp70 triliun dari proyeksi penerimaan 2024. Namun, Fajry optimistis bahwa strategi ini dapat berjalan dengan baik jika dilakukan dengan pendekatan yang tepat.
"Kalau saya ukur dari proyeksi penerimaan PPh 21 tahun 2024, perlu tambahan Rp70 triliun agar mencapai target penerimaan tahun 2025. Ini sebuah tantangan yang besar," kata Fajry kepada Merdeka.com, Selasa (10/12).
Menurutnya, meskipun ada kekhawatiran terhadap daya beli masyarakat, sebagian besar beban pajak tetap akan ditanggung oleh kalangan menengah ke atas.
Berdasarkan data historis, sebanyak 79,6 persen pendapatan PPh Pasal 21 disumbangkan oleh wajib pajak dengan penghasilan di atas Rp250 juta per tahun, sementara kontribusi terbesar berasal dari wajib pajak dengan penghasilan di atas Rp500 juta per tahun, yakni sekitar 64,6 persen.
"Meski demikian, kelas menengah tidak perlu khawatir, 79,6 persen pendapatan PPh 21 disumbangkan oleh tarif ketiga tertinggi (di atas Rp250 juta/tahun). Sedangkan dua lapis tertinggi (di atas Rp500 juta/tahun) menyumbang 64,6 persen," terang Fajry.
Perluas Cakupan PPh 21
Tak hanya itu, Pengamat Pajak lainnya, Tri Prianto Budi, menyebutkan sejak pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 2021, pemerintah telah memperluas cakupan PPh Pasal 21 melalui dua kebijakan utama.
Pertama, perluasan objek pajak yang mencakup imbalan natura dan/atau kenikmatan sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Kedua, penambahan tarif pajak sebesar 35 persen untuk penghasilan orang pribadi di atas Rp5 miliar per tahun.
Tri menjelaskan dengan penerapan mekanisme pemotongan pajak oleh pemberi kerja (payer), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat lebih mudah mengawasi kepatuhan pajak.
Sistem ini memungkinkan DJP untuk fokus pada pemberi kerja sebagai wajib lapor utama, daripada mengawasi individu pegawai satu per satu.
"Agar pengenaan pajaknya bisa lebih efisien, kedua instrumen di atas diterapkan melalui pemotongan PPh Pasal 21," ungkap Tri kepada Merdeka.com.
Dampak terhadap Berbagai Kelompok Penghasilan
Tri menambahkan karyawan dengan penghasilan hingga Rp60 juta per tahun tidak akan terkena pemotongan PPh Pasal 21. Upaya peningkatan penerimaan pajak ini terutama menyasar pekerja dengan jabatan menengah hingga tinggi, yang sering menerima imbalan natura dan/atau kenikmatan lain di luar gaji pokok.
Lebih lanjut, ia menjelaskan peningkatan pajak ini didasarkan pada asas keadilan dan kemampuan membayar.
"Semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin besar kontribusinya terhadap pajak. Ini sejalan dengan prinsip ability to pay yang mengedepankan keadilan vertikal," ujar Tri.
Dengan pendekatan tersebut, pemerintah berharap target ambisius penerimaan PPh Pasal 21 pada 2025 dapat tercapai tanpa memberikan beban yang terlalu besar pada kelas pekerja dengan penghasilan rendah, sekaligus mendorong keadilan dalam sistem perpajakan nasional.