Survei: 39 Persen Generasi Z Membeli Produk karena Terpengaruh Media Sosial
Hanya 25 persen generasi milenial, atau mereka yang lahir di periode 1980-1995, membeli satu produk atau merk karena media sosial.
Pengaruh media sosial dalam membeli produk atau merk di generasi X yaitu 13 persen. Dan hanya 6 persen generasi Baby Boomer yang membeli produk atau merk karena media sosial.
Survei: 39 Persen Generasi Z Membeli Produk karena Terpengaruh Media Sosial
Survei: 39 Persen Generasi Z Membeli Produk karena Terpengaruh Media Sosial
Media sosial menjadi bagian penentu dalam mengambil satu keputusan di era digitalisasi. Keputusan membeli suatu produk atau merek juga ditentukan melalui media sosial.
Dari hasil survei yang dilakukan McKinsey & Company menunjukan, generasi Z merupakan generasi yang paling besar dipengaruhi media sosial saat membeli satu barang.
McKinsey & Company merupakan biro konsultansi manajemen global asal Amerika yang didirikan pada tahun 1926 oleh profesor Universitas Chicago, James O. McKinsey.
Dari survei tersebut menunjukan, 39 persen generasi Z mengaku jika mereka membeli sebuah produk karena terpengaruh media sosial. Perlu diketahui, generasi Z merupakan orang yang lahir di periode 1996-2010.
Sementara 25 persen generasi milenial, atau mereka yang lahir di periode 1980-1995, membeli satu produk atau merk karena media sosial.
Selanjutnya, pengaruh media sosial dalam membeli produk atau merk di generasi X yaitu 13 persen. Dan hanya 6 persen generasi Baby Boomer yang membeli produk atau merk karena media sosial
Sebelumnya, Tiktok Indonesia membantah menjalankan bisnis lintas batas (cross border) melalui Project S di Tanah Air.Sebaliknya skema bisnis Project S tersebut ada di Inggris.
"Kami pastikan inisatif bisnis cross border (Project S) tak ada di Indonesia," kata Head of Communications of TikTok Indonesia, Anggini Setiawan, di Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta Selatan, Rabu (26/7).
Anggini menjelaskan TikTok tidak menjalankan Project S di Indonesia terkait pendekatan bisnis. Menurutnya, cara bisnis yang diterapkan di Inggris tersebut belum tentu cocok untuk Indonesia.
"Kenapa ada di Inggris? Karena kami percaya apa yang terjadi di Inggris belum tentu berhasil di Indonesia," ungkap Anggini.
Lanjutnya, TikTok memiliki komitmen untuk memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal yang sejalan dengan arahan pemerintah.Sehingga, perusahaan memutuskan untuk tidak membuka bisnis lintas batas di Indonesia.
"Sejak awal meluncurkan TikTok Shop, kami memutuskan untuk tidak membuka bisnis lintas batas di Indonesia. Ini adalah komitmen kami untuk mendukung UMKM Indonesia," beber Anggini.
Anggi menekankan 100 persen penjual di TikTok Shop memiliki entitas bisnis lokal yang terdaftar atau pengusaha mikro lokal dengan verifikasi KTP/paspor.
Saat ini, terdapat 2 juta seller dari UMKM yang berada di TikTok Shop.
"Kami meyakini model TikTok Shop yang telah kami sesuaikan dengan pasar Indonesia dapat memberdayakan dan membawa manfaat bagi para penjual lokal, dan kami akan terus menerapkan pendekatan ini," pungkas Anggi.