Jaga Keberlangsungan UMKM, Pemerintah Bakal Buat Aturan untuk Social Commerce
Tikktok Shop bisa membuat industri UMKM dan e-commerce lain bakal kolaps kalau tidak diatur.
Pemerintah tidak bisa begitu saja melarang operasional Tiktok. Sebab, cara itu bisa membuat Indonesia digugat di World Trade Organization (WTO).
Jaga Keberlangsungan UMKM, Pemerintah Bakal Buat Aturan untuk Social Commerce
Jaga Keberlangsungan UMKM, Pemerintah Bakal Buat Aturan untuk Social Commerce
Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan memastikan akan merilis aturan main platform social commerce seperti Tiktok. Menurutnya, jika tidak diatur, Tiktok Shop bisa membuat industri UMKM dan e-commerce lain bakal kolaps.
"Tiktok itu socio commerce. Keuangan, perdagangan, dan social media jadi satu. Kalau tidak diatur, kolaps kita tiga bulan saja," kata Mendag Zulkifli saat rapat di DPR dikutip di Jakarta, Rabu (6/9).
Itu sebabnya, Zulkifli akan menata aturan main Tiktok dengan menggunakan instrumen Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).
"Saya usul ke Pak Teten, kita larang saja. Tapi kita enggak boleh larang-larang karena kita bisa masuk WTO. Melarang tidak bisa, tetapi mengatur bisa," ujar Zulkifli.
Untuk itu, pemerintah akan membuat aturan main social commerce seperti perusahaan asal China itu melalui revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
Perubahan beleid itu sudah sampai tahap harmonisasi antar kementerian dan lembaga sejak 1 Agustus lalu.
Pria yang akrab disapa Zulhas itu mengatakan, ada sejumlah aturan yang akan diberlakukan untuk social commerce seperti Tiktok Shop dalam revisi Permendag tersebut.
Pertama, media sosial tidak bisa otomatis menjadi e-commerce. Untuk bisa menjadi e-commerce, media sosial harus memiliki izin terpisah.
Kedua, e-commerce maupun social commerce tidak diperbolehkan menjadi produsen atau wholesaler. Jika ingin jadi produsen, perusahaan tersebut harus memiliki izin tersendiri.
Ketiga, impor langsung atau lintas batas akan dibatasi. Impor diutamakan hanya untuk produk yang tidak ada di Indonesia. Untuk produk yang ada dan bisa diproduksi di dalam negeri, impor bisa dilakukan melalui prosedur impor pada umumnya.Keempat, terkait pembatasan impor, Kemendag akan menyusun daftar produk yang boleh diimpor. Kelima, produk yang diperdagangkan di social commmerce harus memiliki standar produk dan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
"Ini beberapa usulan dari kami. Kalau social commerce ini tidak ditata, e-commerce yang ada paling dalam enam bulan akan tutup semua. Karena Tiktok ini tahun depan mau investasi USD 10 miliar," tegas Zulkifli.
Terkait ancaman Tiktok ini, Pada Juli lalu, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan untuk melindungi usaha mikro kecil menengah (UMKM) dari ancaman platform social commerce.Menurut Menteri Budi Arie, Project S dari salah satu platform digital disinyalir beberapa pihak akan mengancam pertumbuhan pelaku UMKM dalam negeri. Seperti diketahui, Project S merupakan proyek yang dijalankan Tiktok melalui Tiktok Shop untuk memperbesar bisnisnya di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Melalui Project S, Tiktok diduga akan menggunakan data mengenai produk yang laris di suatu negara untuk kemudian diproduksi di China.
Jauh-jauh hari, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki juga sudah mengkhawatirkan agresivitas platform social commerce seperti Tiktok yang terus memperbesar pangsa pasarnya di Indonesia.
Menurut laporan Momentum Works, pada tahun 2022 konsumen Indonesia menghabiskan USD 52 milliar atau sekitar Rp777 triliun untuk berbelanja online.Jumlah itu lebih dari setengah belanja online di seluruh Asia Tenggara yang mencapai USD 99,5 miliar atau sekitar Rp1,487 triliun.
Bahkan sebagai negara muslim terbesar, Indonesia kini hanya mampu memasok 25 persen kebutuhan jilbab dalam negeri. Sisanya atau 75 persen produk jilbab sudah dikuasai oleh produk impor, terutama dari China. Padahal nilainya transaksi jilbab di Indonesia mencapai lebih dari USD 1,02 miliar atau lebih dari Rp 15 triliun per tahun.
Sumber: Liputan6.com