Arkeolog Temukan Stupa Buddha Berusia 1.200 Tahun, Ungkap Sejarah Kedekatan Budaya Malaysia dan Indonesia
Stupa ini penting bagi sejarah multikulturalisme Malaysia.
Stupa ini penting bagi sejarah multikulturalisme Malaysia.
Arkeolog Temukan Stupa Buddha Berusia 1.200 Tahun, Ungkap Sejarah Kedekatan Budaya Malaysia dan Indonesia
Setelah tim yang terdiri dari sebelas peneliti dengan hati-hati mengikis tanah dari puncak bukit dan membersihkan semak-semak lebat dan hutan sekunder, sebuah bagian yang hilang dari sejarah Asia Tenggara terungkap.
Stupa Buddha berusia 1.200 tahun di Bukit Choras di Lembah Bujang, Malaysia, ditemukan pada Agustus lalu. Lembah Bujang adalah sekumpulan situs protohistoris di negara bagian Kedah di bagian barat laut Malaysia.
-
Apa bentuk dari Arca Buddha Bukit Siguntang? Arca ini menggambarkan seseorang dengan sikap berdiri. Bagian rambutnya berbentuk ikal kecil yang menutupi seluruh kepalanya. Tepat di bagian atas, ada semacam sanggul berbentuk bulat dan kecil yang disebut Usnisa. Sementara itu, bagian tubuhnya tersemat pakaian semacam jubah panjang bergaris-garis yang menutupi kedua bahunya.
-
Kapan Arca Buddha Bukit Siguntang ditemukan? Pada tahun 1920-an di lereng selatan bukit ini ditemukan arca Buddha bergaya Amarawati.
-
Mengapa Arca Buddha Bukit Siguntang menarik perhatian para peneliti? Penemuan Arca Buddha di Bukit Siguntang ini lantas mengundang minat para peneliti untuk mengetahui kapan benda tersebut dibuat.
-
Dimana letak situs penemuan arca Buddha raksasa? Kini situs penemuan arca Buddha raksasa itu dinamakan Situs Candi Bogang, letaknya di Desa Selomerto, Wonosobo.
-
Kapan ajaran Buddha berkembang? Sementara itu, Buddha adalah seorang pemimpin spiritual yang mengajarkan ajaran-ajaran yang kemudian berkembang menjadi agama Buddha.
-
Mengapa Stupa Sumberawan penting? Stupa melambangkan nirbana (kebebasan) yang merupakan dasar utama dari seluruh rasa dharma yang diajarkan Guru Agung Buddha Gautama. Nirbana juga menjadi tujuan setiap umat Buddha.
Stupa paling terawat di negara ini dianggap penting bagi sejarah multikulturalisme Malaysia, menurut para ahli.
"Situs ini merupakan sebuah anomali karena berdiri dengan sendirinya," kata Nasha Rodziadi Khaw kepada Al Jazeera. Nasha adalah kepala peneliti tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Global (CGAR) Universitas Sains Malaysia di barat laut pulau Penang, yang mengawasi penggalian antara 28 Agustus dan 12 September tahun lalu.
Bukit Choras terletak sekitar 370 kilometer sebelah utara Kuala Lumpur. Ini terletak di dekat kota kecil Yan di pantai selatan Kedah.
Stupa yang terisolasi ini terletak di sisi utara Gunung Jerai, yang dulunya merupakan tanjung dan titik navigasi penting bagi para pedagang pelaut yang menjelajah ke bagian dunia ini dari jazirah Arab. Berbeda dengan 184 situs arkeologi yang ditemukan sebelumnya di Lembah Bujang di sebelah selatan.
"Kami masih belum yakin dengan fungsi Bukit Choras. Mungkin saja ini adalah garnisun militer atau pos perdagangan pesisir, tapi kami perlu melakukan penggalian lebih lanjut (untuk menilainya). Berdasarkan temuan awal kami, ada banyak kesamaan dengan situs-situs lain yang ditemukan di Jawa dan Sumatra, Indonesia," kata Nasha, yang timnya akan terus bekerja di situs tersebut selama paruh pertama tahun 2024.
Menurut Nasha, Bukit Choras pertama kali dilaporkan pada tahun 1850 oleh seorang perwira Inggris yang sedang mencari harta karun, dan kemudian pada tahun 1937 dipelajari secara singkat oleh seorang akademisi Inggris lainnya, HG Quaritch Wales. Wales melakukan beberapa penggalian kecil tetapi hanya menemukan stupa Buddha berbentuk persegi, dengan mencatat ukurannya. Dia tidak pernah memberikan ilustrasi atau pelat untuk situs tersebut.
Hampir 50 tahun kemudian, pada 1984, direktur Museum Arkeologi Lembah Bujang kembali ke Bukit Choras untuk membersihkan dan menyimpan catatan tentang situs tersebut, tetapi situs tersebut tetap tidak terjamah.
"Saya menyadari tidak ada yang melakukan investigasi yang tepat (sejak saat itu) dan berhasil mendapatkan dana untuk mensurvei situs tersebut pada tahun 2017," kata Nasha.
Dia menambahkan, pihaknya menggunakan gelombang elektronik untuk melakukan deteksi fisik terhadap apa yang tersembunyi di bawah tanah dan menemukan ada beberapa struktur besar di bawahnya.
Nasha menerima dana tambahan dari Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia untuk melakukan penggalian yang tepat pada tahun 2022. Timnya terkejut saat mengetahui betapa terawatnya lokasi tersebut dibandingkan dengan situs-situs di Lembah Bujang dari tahun 1930-an hingga 1950-an, beberapa di antaranya sudah rusak karena erosi, aktivitas manusia, dan bahkan perusakan yang tidak disengaja.
"Awalnya kami hanya menggali 40 persen dari keseluruhan situs Bukit Choras, dan menemukan sebuah stupa dengan panjang sekitar sembilan meter," kata Nasha. "Namun penemuan yang paling penting adalah dua patung Buddha dari plesteran dengan kondisi yang baik yang belum pernah ditemukan di daerah tersebut sebelumnya."
Plesteran, jelas Nasha, diperkirakan hanya ditemukan di Jawa dan Sumatera di negara tetangga Indonesia, serta di India, pada saat itu.
Dua patung Buddha di Bukit Choras terletak di dua ceruk bersama dengan sebuah prasasti dalam bahasa Pallava, yang merupakan bahasa Dinasti Pallava yang berkuasa di India Selatan dari abad ke-3 hingga ke-8 Masehi. Arsitekturnya mirip dengan benda-benda kuno lainnya dari Kerajaan Sriwijaya yang makmur dari abad ke-7 hingga ke-11 Masehi yang tersebar di seluruh wilayah dari selatan Thailand hingga Semenanjung Melayu dan Pulau Jawa.
"Penemuan dua patung yang masih utuh seukuran manusia dan prasasti ini sangat penting untuk penelitian lebih lanjut," ujar Mohd Azmi, komisaris Departemen Warisan Nasional Malaysia, kepada Al Jazeera.
"Ini menunjukkan bahwa situs tersebut belum terganggu dan berpotensi memberikan bukti baru tentang sejarah Kedah Kuno."
Arkeolog mendefinisikan penemuan di Lembah Bujang sebagai "Kerajaan Kedah Kuno". Sebelum kedatangan Islam, kerajaan ini berjaya di pesisir barat laut Semenanjung Melayu hingga Thailand antara abad kedua dan ke-14 masehi.
Perdagangan internasional dan pembuatan manik-manik besi dan kaca membuat Kedah kuno makmur, yang menjadi tempat tinggal bagi penduduk dan pedagang asing dari seluruh Asia Tenggara.
Nasha menjelaskan para pedagang dari Tiongkok, India, dan bahkan Timur Tengah telah datang ke daerah tersebut selama berabad-abad untuk berbisnis. Mereka seringkali terpaksa tinggal di Kedah selama musim hujan yang keras sehingga tidak dapat pulang.
Kuil dan artefak dibangun oleh para pekerja lokal yang memadukan motif dan pengetahuan arsitektur asing dengan dua pengaruh utama.
"Pertama adalah agama Buddha, yang diklasifikasikan di daerah-daerah seperti Sungai Mas, Kuala Muda, dan Sungai Batu di Semeling, dan yang terbaru adalah situs kuil di Bukit Choras," jelas Asy'ari Muhamad, arkeolog senior dan direktur institut Dunia dan Peradaban Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia, merujuk kepada beberapa situs di Lembah Bujang.
"Sisanya, seperti situs arkeologi di kompleks Pengkalan Bujang (dekat desa) Merbok, menerima pengaruh Hindu. Klasifikasi ini (berdasarkan) penemuan artefak dan bangunan candi yang melambangkan kepercayaan atau pengaruh agama pada masa itu," katanya.
Semua kuil di Kedah Kuno berfungsi sebagai tempat ibadah yang sebagian besar untuk populasi campuran pedagang dan pekerja migran.
"Di (daerah) Sungai Bujang, misalnya, sebagian besar kelenteng dikelompokkan bersama di dekat area perdagangan utama dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan religius para pedagang, sementara di Sungai Muda, kelenteng-kelenteng ini digunakan untuk melayani para pedagang dan pekerja di tempat pembuatan manik-manik dan tembikar setempat," ujar Nasha.
"Kami yakin hal yang sama juga terjadi di Sungai Batu, situs utama tungku peleburan besi Kedah Kuno, dimana kami menemukan bukti-bukti adanya komunitas dan kuil-kuil. Namun di Bukit Choras, bukti kegiatan ekonomi atau industri belum ditemukan," katanya.
Penemuan arkeologis menunjukkan bahwa meskipun Kedah Kuno berkembang pesat selama berabad-abad, Kedah mengalami penurunan ketika iklim mengubah teluk maritim yang besar dan jalur sungai yang mudah diakses yang mengarah ke tempat peleburan besi di Sungai Batu menjadi hutan bakau dan rawa-rawa pasang surut yang tidak dapat dilewati oleh kapal.
"Multikulturalisme bukanlah hal yang baru di semenanjung Melayu dan Kedah Kuno," tambah Nasha. "Ini dimulai dengan perdagangan pada abad ke-2, ketika terjadi peningkatan konektivitas antara China, India dan Asia Tenggara, dan berlanjut hingga ke kerajaan Melaka, yang kita tahu juga merupakan masyarakat multikultural, dan terus berlanjut hingga saat ini."