Kisah Paul Alexander, Manusia dengan Paru-Paru Besi yang Hidup Paling Lama, Meninggal di Usia 78 Tahun
Kisah Paul Alexander, Manusia dengan Paru-Paru Besi yang Hidup Paling Lama, Meninggal di Usia 78 Tahun
Paul diakui oleh Guinness World Records sebagai manusia yang hidup paling lama menggunakan paru-paru besi.
-
Apa yang dimaksud dengan 'paru-paru basah'? Apa yang masyarakat sebut sebagai paru-paru basah sebenarnya adalah kondisi yang disebut efusi pleura.
-
Apa sebenarnya paru-paru basah itu? Secara medis, paru-paru basah dikenal sebagai edema paru, yaitu kondisi di mana cairan menumpuk di jaringan paru-paru. Kondisi ini menyebabkan gangguan pada fungsi pernapasan dan sering kali menimbulkan gejala seperti sesak napas, batuk, dan rasa tidak nyaman di dada.
-
Bagaimana rokok merusak paru-paru? Akumulasi zat-zat berbahaya dari asap rokok dalam jangka panjang menyebabkan iritasi dan peradangan kronis pada paru-paru, mengurangi kemampuan organ ini untuk bekerja dengan optimal.
-
Siapa yang bisa terkena paru-paru basah? Efusi pleura atau paru-paru basah dapat disebabkan oleh beberapa kondisi medis yang berbeda, seperti infeksi, kanker, atau gangguan keseimbangan protein dalam tubuh.
-
Siapa Paulus Pandjaitan? Paulus putra dari Menko Luhut ini ternyata mengikuti jejak ayahnya yang meniti karier di bidang kemiliteran. Siapa yang tak kenal Luhut Binsar Pandjaitan? Selain menjabat sebagai Menteri Menko Marves, ia juga memiliki karier mentereng di bidang kemiliteran. Anak sulungnya, Paulus Pandjaitan rupanya mengikuti jejak karier sang ayah.
-
Apa yang terjadi pada Ongky Alexander setelah bercerai dengan Paula? Usai bercerai dengan Paula, Ongky mengaku sempat berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia mengalami jatuh miskin karena bisnisnya gagal total. Bahkan ia hanya bisa makan mie instan selama beberapa waktu.
Kisah Paul Alexander, Manusia dengan Paru-Paru Besi yang Hidup Paling Lama, Meninggal di Usia 78 Tahun
Penyintas polio yang dikenal sebagai "pria dengan paru-paru besi" meninggal dunia pada usia 78 tahun di Texas, Amerika Serikat Senin lalu.
"Paul Alexander, 'The Man in the Iron Lung', meninggal dunia kemarin," demikian bunyi sebuah pesan di situs penggalangan dana.
Paul diakui oleh Guinness World Records sebagai manusia yang hidup paling lama menggunakan paru-paru besi.
- Menengok Kembali Kasus Suap Harun Masiku dan Kaitannya dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto
- Patung Kepala Firaun Nabi Musa Kembali ke Mesir Setelah 30 Tahun Hilang, Sempat Muncul di Pameran
- Dapat Petunjuk dari Lukisan, Ilmuwan Akhirnya Paham Bagaimana Piramida Mesir Dibangun
- Apakah Mesir Kuno Dulunya Adalah Gurun? Ini Fakta Sebenarnya
Paul Alexander seorang pria asal Texas, AS terjangkit polio pada 1952. Penyakit ini membuatnya lumpuh dari leher ke bawah sejak usia enam tahun hingga akhir masa hidupnya.
Pada saat Paul terjangkit polio, dokter di kota kelahirannya, Dallas, melakukan operasi khusus dan berhasil menyelamatkan nyawanya. Namun, penyakit ini membuat tubuhnya tidak bisa lagi bernapas secara mandiri.
Menghadapi situasi itu, para dokter menempatkannya di dalam sebuah tabung yang disebut bellows. Tabung itu merupakan paru-paru besi yang terbuat dari silinder logam yang membungkus tubuhnya dari kaki hingga ke leher sejak usia 6 tahun sampai meninggal.
Paru-paru, yang ia sebut sebagai "kuda besi tua" itu, membantunya untuk bernapas. Bellow bekerja dengan cara menyedot udara keluar dari silinder dan memaksa paru-parunya mengembang dan menghirup udara.
Ketika udara dimasukkan kembali, proses yang sama secara terbalik membuat paru-parunya mengempis. Pada dasarnya, alat ini meniru cara kerja paru-paru manusia.
Melihat peluang hidup yang kecil seperti kebanyakan penderita polio yang menggunakan paru-paru besi, dokter tidak mengharapkan Paul untuk bertahan hidup lama.
Tapi dia berhasil hidup selama beberapa dasawarsa hingga 2024, jauh setelah penemuan vaksin polio pada tahun 1950-an yang berhasil membasmi polio di dunia Barat.
Dilansir dari BBC, Selasa (13/3), setelah bertahun-tahun berada dalam bantuan alat, Paul beberapa kali belajar untuk bernapas sendiri sehingga ia dapat meninggalkan paru-parunya sesekali walaupun dalam waktu yang singkat dan pengawasan medis yang ketat.
Walaupun memiliki keterbatasan, ia tidak menyerah dan melanjutkan pendidikannya. Hal ini terbukti ketika dia lulus dari sekolah menengah atas, kemudian kuliah di Universitas Southern Methodist.
Pada 1984, ia meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Texas di Austin. Diakui sebagai pengacara dua tahun kemudian, ia kemudian meraih gelar sarjana hukum dan berpraktik sebagai pengacara selama beberapa dekade.
Saudaranya, Philip Alexander, mengenangnya sebagai seorang yang "ramah dan hangat", dengan "senyum lebar" yang langsung membuat orang merasa nyaman.
"Dia hanyalah seorang saudara yang normal bagi saya. Kami bertengkar, kami bermain, kami mencintai, kami berpesta, kami pergi ke konser bersama - dia hanya seorang saudara yang normal, saya tidak pernah memikirkannya," katanya kepada BBC.
Philip mengatakan dia mengagumi betapa mandiri kakaknya, bahkan ketika dia menghadapi penyakit yang membuatnya tidak bisa melakukan tugas sehari-hari seperti makan sendiri.
"Merupakan suatu kehormatan bisa menemaninya di saat-saat terakhirnya," kata Philip. "Dia adalah ahli di bidangnya, membantu orang lain untuk membantunya," sambungnya.
"Paul adalah panutan yang luar biasa. Kini saya tahu, jika saya akan melakukan apa pun dalam hidup saya, itu harus menjadi hal yang bersifat mental," katanya kepada the Guardian pada 2020.
Pada tahun itu juga, Paul menerbitkan sebuah memoar yang kabarnya membutuhkan waktu delapan tahun untuk ditulis menggunakan tongkat plastik untuk mengetik di keyboard dan mendiktekannya kepada seorang teman.
Kesehatan Paul memburuk dalam beberapa pekan terakhir ini, dan kedua bersaudara ini menghabiskan hari-hari terakhir bersama dengan berbagi es krim.