Peneliti Temukan Ratusan Virus Menyebar di Peternakan Bulu di Seluruh China, Bisa Menular ke Manusia
Peneliti mengidentifikasi total 125 spesies virus saat meneliti ratusan ekor hewan yang mati di peternakan bulu.
Menurut penelitian baru, virus menular yang bisa menjangkiti manusia menyebar di peternakan bulu di seluruh China. Peneliti menemukan lebih dari 100 virus ditemukan di bangkai cerpelai, babi guinea, dan muskrat. Peneliti memperingatkan, peternakan bulu adalah pusat penyakit menular.
Sejak pandemi Covid-19 dikaitkan dengan hewan hidup yang dijual di pasar-pasar di China, ilmuwan menelusuri bagaimana virus zoonotic (virus yang ditularkan hewan ke manusia) menyebar di lingkungan ini.
-
Bagaimana para ilmuwan mengetahui virus mana yang berbahaya? Tim peneliti menggunakan sel amoeba untuk mengetahui virus apa yang berbahaya. Dalam penelitian, tim peneliti menemukan hanya satu virus yang dapat membunuh sel amoeba yaitu ‘lytic viruses’.
-
Kenapa ilmuwan meneliti virus purba di Himalaya? Penelitian itu memberi gambaran singkat tentang bagaimana virus beradaptasi dengan perubahan iklim selama ribuan tahun.
-
Bagaimana peran pemetaan virus di lautan dalam penelitian? Ketika para peneliti memperoleh pemetaan virus di lautan, hal ini sangat mempermudah penelitian mereka. Peta virus di lautan memainkan peran penting karena memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi dan mempelajari jenis virus yang ada.
-
Apa yang ditemukan oleh ilmuwan di China? Ilmuwan menemukan fosil larva cacing yang hidup sekitar 500 juta tahun lalu.
-
Virus apa yang ditemukan oleh ilmuwan di Himalaya? Terperangkap di dalam es itu terdapat lebih dari 1.700 spesies virus — hampir semuanya baru bagi sains.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
Tim peneliti internasional menggunakan teknik yang disebut pengurutan metagenomik, jenis analisis yang memeriksa seluruh sampel DNA dan RNA. Tim meneliti jaringan paru-paru dan usus dari 461 hewan. Semua hewan ini mati karena penyakit menular. Sebagian besar hewan atau 412 ekor mati di peternakan bulu, sedangkan 49 ekor mati di kandang atau di alam liar. Hampir 30 spesies diteliti, seperti dikutip dari IFL Science, Rabu (11/9).
Sampel tersebut berisi kumpulan virus, teridentifikasi total 125 spesies virus, termasuk virus corona, kelompok yang sama dengan virus pandemi SARS-CoV-2; influenza A, dan paramyxovirus, yang menyebabkan campak dan gondong. Tim menemukan 36 spesies virus baru dalam ilmu pengetahuan dan 39 spesies yang berisiko berpindah antar spesies, termasuk 11 spesies yang sebelumnya telah menginfeksi manusia.
“Sangat menarik bahwa kita melihat keragaman zoonosis yang diketahui dan potensial ditemukan dan ditularkan di antara begitu banyak jenis hewan dan di wilayah geografis yang luas,” kata salah satu anggota tim peneliti, John Pettersson, seorang profesor di Universitas Uppsala, dalam sebuah pernyataan.
Virus Corona
Anjing cerpelai dan rakun merupakan pembawa virus yang paling berisiko tinggi.
Tim menyoroti virus corona tertentu yang ditemukan pada dua cerpelai yang mati di satu peternakan. Virus ini mirip dengan spesies penyebab infeksi virus pernapasan Middle East Respiratory Syndrome (MERS) pada manusia.
- Virus Mengerikan Ciptaan Ilmuwan China Bisa Bunuh Manusia dalam 3 Hari
- Menakjubkan! Hasil Penelitian Ungkap Ternyata Nyamuk Punya Teknologi Canggih Buat Temukan Manusia Calon Korbannya
- Ilmuwan Temukan 1.700 Spesies Baru Virus Purba Berusia 41.000 Tahun, Berpotensi Menginfeksi Manusia dan Menyebar ke Seluruh Dunia
- Ilmuwan Ungkap Virus Purba Punya Peran Besar dalam Evolusi Manusia, Nenek Moyang Kita Jadi Bisa Berkembang
Menurut para peneliti, peternakan bulu harus menjalani pengawasan yang lebih ketat untuk melacak penyebaran potensi wabah penyakit menular dengan lebih efektif. Peternakan bulu, yang sering dikritik karena standar perawatan hewannya yang buruk, telah dilarang atau dihapuskan secara bertahap di lebih dari 20 negara Eropa.
Penelitian tim ini diterbitkan Nature.