Tak Ada yang Abadi, Peneliti Ungkap Kapan Manusia dan Bumi Akan Punah Serta Penyebabnya
Benua-benua akan bersatu kembali dan membentuk superbenua yang dikenal sebagai Pangea Ultima.
Sebuah penelitian baru-baru ini memprediksi waktu kemungkinan kepunahan manusia di masa depan. Penelitian ini diterbitkan dalam jurnal Nature Geoscience pada tahun 2023 oleh para ahli dari Universitas Bristol, Inggris. Mereka memperkirakan bahwa kepunahan massal berikutnya di Bumi, setelah punahnya dinosaurus, akan terjadi setidaknya dalam waktu 250 juta tahun mendatang. Menurut penelitian tersebut, manusia akan mengalami kepunahan akibat perubahan struktur benua yang akan menyebabkan suhu ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya di Bumi, yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Dikutip dari laman Earth pada Jumat (8/11), peneliti menggunakan pemodelan iklim dengan superkomputer untuk menunjukkan bagaimana iklim ekstrem akan meningkat secara signifikan. Perubahan iklim yang drastis ini akan terjadi ketika benua-benua di dunia bersatu menjadi satu benua super (super-kontinen). Proses penyatuan benua ini akan membentuk kembali satu benua besar yang dikenal sebagai Pangea Ultima. Pembentukan superbenua ini diperkirakan akan berdampak besar pada perubahan iklim di Planet Bumi.
-
Apa yang diamati oleh para ilmuwan? Para ilmuwan berhasil menyaksikan dua pasang lubang hitam supermasif yang hampir bertabrakan. Dua fenomena alam itu terletak jutaan hingga miliaran tahun cahaya dari Bumi.
-
Apa yang ditemukan oleh para ilmuwan? Ilmuwan menemukan dua spesies dinosaurus baru, yang hidup 66 juta tahun lalu.
-
Apa yang ditemukan ilmuwan di dalam inti bumi? Namun, para ilmuwan kini telah menemukan wilayah besar misterius berbentuk donat yang terletak di dalam inti terluar bumi.
-
Bagaimana cara ilmuwan menentukan berat Bumi? Mengukur massa Bumi bukanlah tugas yang mudah. Mereka harus menggunakan berbagai teknik dan alat untuk mencapainya.
Temuan penelitian ini memproyeksikan bahwa suhu tinggi akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya kecerahan matahari. Bintang yang berada di galaksi Bima Sakti ini akan memancarkan lebih banyak energi, sehingga menghangatkan Bumi. Proses tektonik yang terjadi di kerak Bumi akan menghasilkan pembentukan superkontinen, yang berpotensi menyebabkan letusan gunung berapi yang lebih sering. Letusan tersebut akan mengeluarkan karbon dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer, yang pada gilirannya akan meningkatkan suhu planet ini.
Alexander Farnsworth, penulis utama studi dan Senior Research Associate di Universitas Bristol, menyatakan munculnya benua super baru akan menciptakan apa yang disebutnya sebagai "trio kenahasan" (triple whammy). Hal ini terdiri dari efek kontinental, peningkatan suhu matahari, dan peningkatan karbon dioksida di atmosfer. Akibatnya, lingkungan akan menjadi sangat tidak bersahabat, tanpa adanya sumber makanan dan air yang cukup bagi mamalia. Pada saat itu, suhu Bumi diperkirakan akan meningkat antara 40 hingga 50 derajat Celsius, dengan suhu harian yang lebih ekstrem dan tingkat kelembapan yang tinggi.
Manusia tidak lagi melakukan adaptasi dan evolusi
Makhluk hidup memiliki kemampuan adaptasi yang luar biasa untuk bertahan hidup di berbagai kondisi iklim yang ekstrem sepanjang sejarah. Mereka dapat mengembangkan berbagai fitur seperti rambut atau bulu untuk menjaga suhu tubuh tetap hangat; bahkan, beberapa spesies memiliki kemampuan untuk hibernasi saat musim dingin tiba. Meskipun mamalia telah berevolusi untuk menurunkan batas ketahanan terhadap suhu dingin, toleransi mereka terhadap suhu tinggi umumnya tetap stabil. Fenomena superbenua membuat paparan panas yang berkepanjangan semakin sulit untuk diatasi, dan simulasi iklim menunjukkan bahwa manusia pada akhirnya akan menghadapi tantangan besar untuk bertahan hidup di kondisi tersebut.
Namun, adaptasi terhadap paparan panas dalam waktu lama jauh lebih menantang bagi mamalia. Penelitian menunjukkan bahwa saat superbenua terbentuk, hanya sekitar 8 persen hingga 16 persen dari daratan yang dapat dihuni oleh mamalia. Dengan sebagian besar planet mengalami kondisi panas dan kekeringan yang ekstrem, mencari makanan dan udara segar menjadi hampir tidak mungkin. Dalam situasi seperti ini, keberlangsungan hidup mamalia sangat terancam, dan upaya mereka untuk beradaptasi menghadapi kondisi yang semakin sulit menjadi semakin terbatas.
Tata Letak Benua
Penelitian yang dilakukan dalam kerangka proyek yang didanai oleh UK Research and Innovation Natural Environment Research Council (UKRI NERC) ini menekankan pentingnya pemahaman mengenai tata letak benua dalam studi planet-planet di luar sistem tata surya kita, yang dikenal sebagai exoplanet.
- Peneliti Memindai Mumi Buaya Berusia 3.000 Tahun, Benda Mengejutkan Ditemukan di Perutnya
- Peneliti Ungkap Generasi Muda Punya Ukuran Otak yang Lebih Besar, Ternyata Ini Dampaknya Bagi Kesehatan
- Kenali Sejumlah Kesalahan saat Berpuasa yang Berpotensi Membuat Gemuk
- Sempat Diremehkan Calon Ibu Mertua Lantaran Dulunya Santri, Perempuan Ini Buktikan Diri Jadi Abdi Negara
Tim ilmuwan internasional menggunakan model iklim untuk mensimulasikan berbagai tren seperti suhu, angin, hujan, dan kelembapan pada superkontinen yang diprediksi akan terbentuk dalam 250 juta tahun ke depan, yang dinamakan Pangea Ultima.
Untuk memperkirakan kadar CO2 di masa depan, tim ini mengaplikasikan model pergerakan lempeng tektonik serta model kimia dan biologi lautan guna memetakan aliran masuk dan keluar CO2. Perhitungan terkait kadar CO2 ini dipimpin oleh Profesor Benjamin Mills dari Universitas Leeds, Inggris, yang menyatakan bahwa kadar CO2 dapat mengalami peningkatan dari sekitar 400 parts per million (ppm) saat ini menjadi lebih dari 600 ppm dalam jutaan tahun mendatang.