Mengenal Selamatan Arioyo, Tradisi Warga Gunungkidul pada Malam Lebaran
Masyarakat di Desa Gedangan, Karangmojo, Gunungkidul biasanya menggelar tradisi selamatan pada malam Idulfitri. Mereka menamakan tradisi itu adalah Selamatan Arioyo.
Masyarakat pada umumnya menyambut hari raya Idulfitri dengan perayaan takbir keliling. Namun berbeda dengan masyarakat di Desa Gedangan, Karangmojo, Gunungkidul.
Dalam menyambut hari-hari besar, biasanya mereka menggelar tradisi selamatan. Begitu pula pada saat menyambut hari raya. Acara itu dikenal dengan nama Selamatan Arioyo.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Selamatan ini biasanya digelar pada malam hari raya Idulfitri, tepatnya setelah salat magrib atau salat isya. Mereka yang hadir adalah para tetangga terdekat yang berkumpul di salah satu rumah warga.
Berbeda dengan acara selamatan pada umumnya, pada acara ini masing-masing kepala keluarga yang hadir akan membawa makanan sendiri-sendiri. Berikut selengkapnya:
Punya Makna Filosofis
©Menpan.go.id
Dikutip dari Menpan.go.id, makanan yang dibawa oleh masing-masing keluarga kemudian diletakkan di atas sebuah tampah beralas daun pisang. Isinya macam-macam mulai dari ketupat, tumpeng, gudangan, apem, ingkung ayam, dan lain sebagainya. Masing-masing makanan yang disajikan biasanya memiliki makna filosofi yang mendalam.
Ginun, salah satu sesepuh desa mengatakan, salah satu makanan yang disajikan adalah gudangan. Makanan tersebut memiliki makna persatuan dan gotong-royong dalam masyarakat.
"Gudangan itu isinya berbagai macam. Rasa sayurannya juga beda-beda. Tapi setelah dicampur menjadi satu rasanya malah enak. Ini menjadi simbol bahwa perbedaan baik di keluarga maupun masyarakat, apabila disatukan, lalu kita guyub rukun, itu bisa membawa kententraman dan kenikmatan hidup," kata Ginun.
Tiap Makanan Punya Arti
©Menpan.go.id
Tak hanya gudangan, makanan lain yang disajikan di atas tampah beralas daun pisang itu punya arti masing-masing. Ketupat misalnya, bisa menjadi bentuk pengakuan dosa oleh manusia pada Yang Maha Kuasa. Lalu ada kue apem yang dapat dimaknai sebagai meminta ampunan.
Sebelum makanan dimakan bersama-sama, mereka memanjatkan doa sebagai ucapan syukur atas berkah yang telah diberikan Allah SWT selama menjalankan ibadah puasa di Bulan Suci Ramadan. Dalam doa tersebut juga diselipkan permohonan keselamatan pada anak, cucu, serta keturunan para warga yang hadir. Tidak hanya oleh tokoh masyarakat, selamatan juga dihadiri oleh pemuka agama setempat.
Sejarah Selamatan Arioyo
©Menpan.go.id
Di sela-sela acara Selamatan Arioyo, Gandung, salah seorang pemuka agama setempat, menjelaskan sejarah tradisi tersebut. Ia bercerita bahwa kegiatan semacam ini sudah tumbuh di masyarakat saat ia masih kecil. Hanya saja waktu itu doa yang dipanjatkan bukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, melainkan kepada roh leluhur. Kegiatan itupun tidak spesifik dilakukan untuk menyambut hari raya Idulfitri.
“Sejatinya dalam Islam tidak ada selamatan semacam ini menjelang hari raya. Kanjeng Nabi juga tidak pernah mengajarkan. Tapi turun temurun acara semacam itu dipertahankan di sini karena dulu dakwah Islam masuk ke sini lewat masyarakat juga. Lagi pula sekarang masyarakat tahu kalau berdoa itu ya hanya pada Tuhan, bukan pada yang lain,” ungkap Gandung, dikutip dari Menpan.go.id.