Mengapa Tubuh Kita Membatu dn Diam Tak Bergerak saat Ketakutan?
Pada saat kita ketakutan, salah satu hal yang biasa terjadi adalah tubuh menjadi membeku atau membatu tak bergerak.
Ketika dihadapkan dengan situasi berbahaya, sebagian besar dari kita membayangkan akan bertindak dengan berani—melawan atau melarikan diri dari ancaman. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Dalam situasi yang penuh ketakutan, seringkali tubuh kita justru membeku, membuat kita tidak bisa bergerak atau berkata-kata. Fenomena ini sering menimbulkan kebingungan dan penyesalan, dengan pertanyaan "Mengapa saya hanya berdiri diam?"
Reaksi tubuh terhadap ketakutan ini, yang disebut sebagai "freeze response" atau respons membatu, adalah bagian dari mekanisme pertahanan alami tubuh kita. Meski tampaknya tidak produktif, reaksi ini adalah upaya otak kita untuk membantu, bukan menghambat.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Apa itu kue ketan? Kue ketan adalah salah satu makanan tradisional yang memiliki tempat istimewa dalam ragam kuliner nusantara.
-
Apa yang dimaksud dengan tebak-tebakan? Tebak tebakan adalah permainan di mana seseorang memberikan petunjuk atau pertanyaan, dan orang lain harus menebak jawabannya.
-
Kapan Teuku Nyak Makam wafat? Teuku Nyak Makam meninggal pada 21 Juli 1896. Tepat pada hari ini adalah 128 tahun wafatnya Teuku Nyak Makam yang patut dikenang oleh masyarakat Indonesia.
-
Apa bentuk khas Kue Petulo Kembang? Kue petulo kembang ini terbilang unik karena bentuknya seperti mi gulung yang memiliki beragam warna.
-
Kapan Kirab Tebu Temanten dilakukan? Acara ini digelar pada Selasa Selasa (23/4).
Apa yang Membuat Kita Membatu?
Dilansir dari Mental Floss, reaksi membatu saat ketakutan pertama kali mendapatkan perhatian ilmiah pada tahun 1915 oleh fisiolog Walter Bradford Cannon, yang menciptakan istilah "fight or flight" untuk menjelaskan dua respons utama terhadap ancaman: melawan atau melarikan diri. Namun, di balik dua respons tersebut, ada satu reaksi lain yang sering terlupakan, yaitu membatu. Pada 1970-an, psikolog Gordon G. Gallup Jr. mulai mengaitkan tonic immobility—ketidakmampuan bergerak yang dialami hewan ketika berhadapan dengan predator—dengan respons manusia terhadap ketakutan.
Saat kita merasa terancam, otak memulai reaksi berantai. Amygdala, bagian otak yang bertanggung jawab atas persepsi rasa takut, mengirim sinyal ke hipotalamus, yang kemudian mengatur kimia tubuh dan otak. Hipotalamus merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon stres seperti adrenalin, yang memicu sistem saraf otonom kita.
Sistem saraf otonom terdiri dari dua komponen: sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis bertanggung jawab atas tindakan—ketika sistem ini dominan, kita merasa energi meningkat, mengarahkan kita untuk melawan ancaman atau melarikan diri. Di sisi lain, sistem parasimpatis memiliki fungsi sebaliknya. Ketika dominan, sistem ini membuat tubuh tetap tenang dan diam, menyebabkan respons membatu.
Dalam respons membatu, tubuh dan otak kita bekerja untuk mengevaluasi ancaman. Ini setara dengan menekan tombol “pause” sebelum bertindak. Pendengaran kita menjadi lebih tajam, detak jantung melambat untuk menghemat energi, dan persepsi rasa sakit sering berkurang. Semua ini terjadi dalam sekejap, sebelum otak kita memiliki waktu untuk berpikir rasional. Dengan kata lain, membatu bukanlah pilihan yang disengaja, melainkan respons refleks yang dikendalikan oleh bagian otak yang berevolusi untuk melindungi kita dari predator.
Bisakah Kita Menghentikan Respons Membatu?
Meskipun siapa pun dapat mengalami respons membatu, orang yang memiliki riwayat trauma masa kecil atau kecemasan lebih rentan terhadap reaksi ini. Pada tahun 2024, peneliti dari Universitas Tulane menemukan jalur kimia baru di otak tikus yang mengatur perpindahan dari respons membatu ke respons melarikan diri. Penemuan ini dapat membantu ilmuwan memahami mekanisme serupa di otak manusia, yang berpotensi membuka jalan bagi pemahaman lebih lanjut mengenai kondisi-kondisi yang dipicu oleh trauma, seperti PTSD (gangguan stres pascatrauma).
Walaupun kita belum bisa secara sadar menghentikan reaksi membatu, kita dapat melatih otak kita agar tidak bereaksi secara refleks terhadap situasi yang tidak benar-benar mengancam. Respons melawan, melarikan diri, atau membatu tidak selalu dipicu oleh bahaya nyata; kadang-kadang, hanya memikirkan situasi yang penuh tekanan sudah cukup untuk membuat amigdala kita merespons seolah-olah itu adalah ancaman bagi hidup kita.
Bagi banyak orang, reaksi membatu sering disalahartikan sebagai kelemahan atau kegagalan pribadi. Perasaan bersalah dan frustrasi yang muncul setelahnya hanya membuat stres semakin buruk. Namun, memahami sains di balik respons ini dapat membantu kita memproses apa yang sedang terjadi di tubuh kita. Memahami bahwa reaksi ini adalah bagian dari mekanisme pertahanan kita adalah langkah pertama untuk mengenali dan keluar dari "mode beku."
Meskipun tidak selalu masuk akal bagi otak yang berpikir rasional, respons membatu adalah salah satu cara otak kita berusaha melindungi diri. Amygdala, sebagai pusat ketakutan di otak, tidak beroperasi berdasarkan logika, tetapi berdasarkan naluri bertahan hidup. Meskipun respons ini bisa membuat kita merasa tidak berdaya, penting untuk diingat bahwa tubuh kita hanya berusaha membantu kita dengan cara yang telah berevolusi selama ribuan tahun.