Bisakah Masyarakat Indonesia Berhenti Bergantung pada Beras?
Masyarakat diminta untuk berhenti bergantung pada beras sebagai makanan pokok.
Masyarakat diminta untuk berhenti bergantung pada beras sebagai makanan pokok.
Bisakah Masyarakat Indonesia Berhenti Bergantung pada Beras?
Fenomena El Nino berdampak terhadap kemarau berkepanjangan di Indonesia dan mengakibatkan harga beras terus meroket.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengimbau masyarakat tidak lagi menjadikan beras sebagai makanan pokok.
-
Kenapa mengonsumsi beras mentah dianggap berbahaya? Namun, faktanya, makan beras mentah atau setengah matang tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan risiko keracunan makanan.
-
Apa saja zat pewarna makanan yang berbahaya? Meskipun banyak pewarna makanan yang aman, ada 11 jenis yang perlu dihindari.
-
Kapan sebaiknya mengonsumsi beras pulen? Beras pulen lebih pas untuk makanan sehari-hari dan hidangan khas seperti nasi kepal atau sushi.
-
Kapan sebaiknya makan makanan berkuah khas Nusantara? November jadi penanda datangnya musim hujan. Walau di awal bulan hujan masih belum merata, tetapi di akhir November ini hampir seluruh daerah di Indonesia diguyur hujan.
-
Kenapa makan makanan berlemak bikin kita ngantuk? Makanan yang tinggi lemak juga dapat menjadi penyebab mengantuk setelah makan. Lemak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dicerna oleh tubuh dibandingkan dengan karbohidrat atau protein. Ketika kita mengonsumsi makanan berlemak, tubuh akan mengalihkan sebagian besar aliran darah ke sistem pencernaan, yang dapat menyebabkan penurunan aliran darah dan oksigen ke otak. Hal ini dapat menyebabkan rasa kantuk dan mengantuk setelah makan.
-
Apa makna dari menaburkan beras kunyit, bertih, dan beras basuh? Beras kunyit, beretih, beras basuh yang ditaburkan memiliki makna sebagai ucapan selamat dan turut bergembira.
"Tolong ditekankan betul, diversifikasi pangan. Jadi tidak hanya mengandalkan beras sebagai makanan pokok," kata Tito kepada awak media di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (3/10).
Merdeka.com
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, mengatakan jika diselisik lebih jauh, data konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia mengalami penurunan. Hanya saja, masyarakat tidak beralih ke makanan lokal sebagai pengganti beras.
"Pengganti beras kita ini bukan ke makanan lokal seperti singkong, ubi, tapi ini ke terigu, roti-rotian," ujar Tauhid kepada merdeka.com, Rabu (4/10).
Berdasarkan analisa Tauhid, tren peralihan konsumsi beras sudah terjadi sekitar 20 tahun terakhir. Pemerintah bisa saja menerapkan kebijakan yang berdampak mengubah kebiasaan masyarakat mengonsumsi beras. Misalnya, dengan mengatur sajian kue di setiap rapat tidak lagi menggunakan bahan dasar beras.
"Bisa dipaksa by system, misalnya di hotel, di restoran, di perjamuan makan sediakan ubi, jagung, dan pakan lokal lainnya," kata Tauhid.
Sementara itu, merujuk data Statista, dalam rentang tahun 2008 dan 2021, konsumsi beras global mengalami peningkatan lebih dari 65 juta metrik ton, dari 437 juta metrik ton menjadi sekitar 502 juta metrik ton.
Pada tahun 2021/2022, tiga negara dengan konsumsi beras terbanyak adalah Tiongkok, India, dan Vietnam. Pada tahun itu, sekitar 155 juta metrik ton beras dikonsumsi di Tiongkok.
Meski mengalami peningkatan, dalam data Statista juga menunjukan bahwa Indonesia merupakan masuk dalam daftar lima negara penghasil beras terbesar di dunia di tahun 2022.
Urutan pertama penghasil beras yaitu China dengan memproduksi 148,99 juta ton, kedua India dengan memproduksi 129,47 juta ton, ketiga Bangladesh 35,85 juta ton, keempat Indonesia dengan memproduksi 34,4 juta ton, dan Vietnam memproduksi beras sebanyak 26,77 juta ton.
Hanya saja, Indonesia bukanlah negara pengekspor beras.
Masih dalam data Statista, negara Urutan pertama sebagai eksportir beras adalah India 21,5 juta ton, kemudian Thailand 8,2 juta ton, Vietnam 6,8 juta ton, Pakistan 3,8 juta ton, Myanmar 2,4 juta ton, dan China 2,2 juta ton.