75.000 Tahun Lalu Benua Australia Masih Menyatu dengan Indonesia, Begini Bentuknya
000 Tahun Lalu Benua Australia Masih Menyatu dengan Indonesia, Begini Bentuknya
75.000 Tahun Lalu Benua Australia Masih Menyatu dengan Indonesia, Begini Bentuknya
75.000 Tahun Lalu Benua Australia Masih Menyatu dengan Indonesia, Begini Bentuknya
-
Apa yang ditemukan arkeolog di Australia? Sebuah studi baru di Quaternary Science Review membantah keyakinan lama bahwa suku Aborigin Australia tidak membuat tembikar. Para peneliti di Pusat Keunggulan Dewan Penelitian Australia untuk Keanekaragaman Hayati dan Warisan Australia bermitra dengan komunitas Aborigin Dingaal dan Ngurrumungu untuk pertama kalinya melakukan penggalian di Jiigurru (Pulau Kadal).
-
Kapan Indonesia dan Australia akan bertemu lagi? Kini, Australia akan kembali bertemu dengan Timnas Indonesia dalam matchday kedua Grup C putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026. Pertandingan ini akan dilangsungkan di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada Selasa (10/9/2024) malam WIB.
-
Apa temuan arkeolog di Australia? Dua tongkat kayu ditemukan di sebuah gua di Australia, menunjukkan tanda-tanda pembuatan yang sangat mirip dengan praktik sihir dan perdukunan Aborigin yang dijelaskan pada abad ke-19.
-
Apa yang ditemukan di Australia Barat? Kristal kuno ini ditemukan di sebuah lapisan batu terpencil yang disebut Jack Hills, Australia Barat.
-
Daratan kuno apa yang ditemukan di dasar laut Australia? Sebuah daratan yang pernah menjadi rumah bagi setengah juta orang telah ditemukan di lepas pantai Australia utara.
-
Hewan purba apa yang ditemukan di Australia? Para ilmuwan menemukan makhluk aneh yang dijuluki 'echidnapus', yang mereka yakini hidup di Australia pada zaman prasejarah.
Lebih besar, hijau, dan penuh kehidupan yang eksotis adalah kata yang bisa menggambarkan Benua Australia 75.000 tahun yang lalu.
Ketika nenek moyang manusia pemburu-pengumpul pertama menyeberangi selat sempit dari Timor Timur kemudian sampai di ujung daratan Asia Tenggara yang jauh lebih luas, mereka menemukan sebuah daratan yang tidak seperti daratan yang pernah mereka temui sebelumnya.
Daratan ini dulu dihuni oleh binatang raksasa dan memiliki sekitar 2 juta km persegi dataran pantai yang lebih ramah daripada sekarang. Namun kondisi itu kini perlahan tapi pasti berubah.
Tim interdisipliner dari Universitas Sydney, Universitas Southern Cross, Universitas Flinders, dan Universitas Grenoble-Alpes melacak perubahan itu.
Model evolusi lanskap yang terkomputerisasi mengidentifikasi pergeseran iklim, dampaknya terhadap ekologi regional, dan bagaimana hal tersebut dapat membentuk pola migrasi manusia selama puluhan ribu tahun.
Pada awalnya, sebagian besar samudera di dunia terkurung di kutub utara dan selatan. Gletser yang terkurung daratan jauh lebih besar daripada sekarang.
Itu berarti permukaan laut tidak cukup tinggi untuk meluas melintasi landas kontinen yang menghubungkan daratan Australia dengan Tasmania dan Papua Nugini. Benua tunggal yang terhubung ini dijuluki “Sahul”.
Namun, sejak sekitar 25.000 tahun lalu, permukaan laut mulai meninggi, yang menyebabkan mulai menggenangi sekitar daratan yang menghubungkan Australia dan Pulau Papua tersebut.
Banyak tempat perkemahan First Nations secara bertahap tergenang air ketika laut naik antara 80 m dan 120 m ke atas hingga ke tempat mereka sekarang. Beberapa di antaranya telah ditemukan dan didokumentasikan oleh arkeolog.
Namun, siapa yang menetap di mana, kapan, dan mengapa masih menjadi teka-teki.
Studi ini mengidentifikasi dua titik penyeberangan potensial dari Asia ke Sahul yang tersedia bagi para pelaut masa lalu.
Salah satu rutenya adalah melalui Papua Barat (sekitar 73.000 tahun lalu) dan turun melalui Queensland utara dan tempat yang sekarang menjadi Teluk (saat itu sebuah danau) Carpentaria.
Yang lainnya adalah melintasi landas kontinen Laut Timor (sekitar 75.000 tahun lalu) dan masuk ke Kimberley.
Iguana raksasa, kanguru raksasa, koala raksasa, semuanya tersebar di seluruh lanskap.
Namun, ilmuwan meyakini jumlah mereka telah lama menurun karena meningkatnya kegersangan. Dan kedatangan predator baru - manusia - mungkin telah mempercepat kepunahan mereka.
Bulan lalu, Museums Victoria Research Institute mengungkap kerangka kanguru “berwajah pendek” berusia 50.000 tahun yang terawetkan dengan sangat baik.
Kanguru yang sudah lama punah ini tidak melompat. Ia berjalan dengan apa yang digambarkan oleh para peneliti sebagai “gaya berjalan melangkah, mirip dengan manusia atau Tyrannosaurus rex”.
“Salah satu aspek yang sering diabaikan ketika mengevaluasi penyebaran manusia pertama di Sahul adalah dampak evolusi geografi permukaan bumi yang digerakkan oleh iklim yang terjadi pada masa migrasi,” kata salah satu penulis, Profesor Madya Ian Moffat dari Universitas Flinders, seperti dilansir laman News.com.au.
Ketika iklim Australia berangsur-angsur bergeser selama ribuan tahun, para pemukim Aborigin dipaksa untuk beradaptasi diakibatkan permukaan air laut naik, suhu menghangat, dan tanah mulai mengering.
Penelitian baru ini menerapkan ribuan simulasi untuk menentukan lanskap mana yang paling cocok untuk tempat tinggal manusia pada titik-titik yang berbeda selama 40.000 tahun ke depan. Hal ini digunakan untuk mempersempit rute migrasi potensial secara nasional.