Australia Resmi Larang Bocah di Bawah 16 Tahun Main Media Sosial, Perusahaan Terancam Denda Ratusan Miliar
Undang-undang terkait larangan tersebut disahkan parlemen pada Kamis (28/11).
Parlemen Australia mengesahkan undang-undang yang melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun untuk menggunakan media sosial pada Kamis (28/11). Dengan kebijakan ini, Australia menjadi negara dengan regulasi paling ketat di dunia terkait penggunaan media sosial oleh anak-anak.
Walaupun larangan ini tidak akan diimplementasikan dalam waktu dekat, yakni setidaknya selama 12 bulan ke depan, perusahaan teknologi yang melanggar ketentuan tersebut bisa dikenakan denda yang mencapai 50 juta dolar Australia, setara dengan sekitar Rp516 miliar.
Perdana Menteri Anthony Albanese menyatakan tujuan undang-undang ini adalah untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif yang ditimbulkan media sosial, yang menjadi perhatian utama bagi banyak orang tua.
"Kami ingin anak-anak kami memiliki masa kecil yang seharusnya, dan agar para orang tua tahu bahwa kami mendukung mereka," ungkap PM Albanese, seperti dilansir BBC, Jumat (29/11).
Pembatasan media sosial untuk anak-anak bukanlah hal yang baru, tetapi Australia menetapkan usia minimum 16 tahun yang menjadikannya yang tertinggi di dunia. Berbeda dengan kebijakan serupa di negara lain, Australia tidak memberikan pengecualian bagi pengguna yang sudah memiliki akun atau yang mendapatkan izin dari orang tua.
Hingga saat ini, legislasi Australia belum mengungkap secara rinci platform mana saja yang akan terpengaruh oleh larangan ini. Penentuan tersebut akan dilakukan oleh menteri komunikasi dengan berkonsultasi kepada Komisioner Keamanan Elektronik. Menteri Michelle Rowland menjelaskan, platform besar seperti Snapchat, TikTok, Facebook, Instagram, dan X (dulu dikenal sebagai Twitter) akan termasuk dalam larangan ini, sedangkan platform permainan serta aplikasi pesan instan seperti WhatsApp akan dikecualikan. Selain itu, situs web yang tidak memerlukan akun pengguna, seperti YouTube, juga tidak akan terpengaruh oleh kebijakan ini.
Untuk menegakkan kebijakan tersebut, pemerintah berencana untuk menggunakan teknologi verifikasi usia yang akan diuji dalam beberapa bulan ke depan. Meskipun demikian, beberapa ahli memperingatkan bahwa teknologi ini mungkin tidak sepenuhnya efektif dan anak-anak dapat menghindari larangan tersebut dengan menggunakan alat seperti VPN yang dapat menyembunyikan lokasi mereka. Survei mengenai reformasi ini, meskipun terbatas, menunjukkan bahwa sebagian besar orang tua dan pengasuh di Australia mendukung kebijakan ini.
"Sudah terlalu lama orang tua terjebak dalam pilihan yang mustahil antara menyerah dan memberi anak mereka perangkat yang membuat ketagihan atau melihat anak mereka terisolasi dan merasa tersisih," ujar Amy Friedlander, salah satu pendukung larangan ini.
"Kita telah terperangkap dalam norma yang tidak ingin diikuti oleh siapa pun."
Hujan Kritik
Kritik terhadap kebijakan baru ini tak dapat dihindari, terutama terkait penerapan aturan dan dampaknya terhadap privasi serta interaksi sosial anak-anak. Banyak ahli berpendapat larangan tersebut merupakan "instrumen yang terlalu tumpul" untuk menangani risiko penggunaan media sosial dengan efektif.
Mereka memperingatkan kebijakan ini justru berpotensi mendorong anak-anak ke dalam ruang internet yang lebih tidak terkontrol dan berisiko. Selama masa konsultasi singkat sebelum RUU disahkan, sejumlah perusahaan teknologi besar seperti Google dan Snap menyampaikan kritik terhadap undang-undang ini, menganggapnya kurang jelas dan tidak memberikan rincian yang memadai.
Meta juga menilai undang-undang ini akan "tidak efektif" dan tidak akan mencapai tujuan untuk meningkatkan keselamatan anak-anak. TikTok mengungkapkan definisi pemerintah mengenai platform media sosial terlalu "luas dan tidak jelas", sehingga hampir semua layanan daring dapat terjerat dalam larangan ini. Sementara itu, X mempertanyakan "keabsahan" undang-undang ini, berargumen bahwa kebijakan tersebut mungkin tidak sejalan dengan regulasi internasional atau perjanjian hak asasi manusia yang telah disepakati oleh Australia. Beberapa kelompok pemuda juga menyuarakan kritik kepada pemerintah, merasa bahwa mereka kurang memahami peran penting media sosial dalam kehidupan anak muda saat ini dan merasa tidak dilibatkan dalam diskusi ini.
"Kami memahami bahwa kami rentan terhadap risiko dan dampak negatif media sosial... namun kami juga perlu dilibatkan dalam pengembangan solusi," ungkap eSafety Youth Council yang memberikan masukan kepada regulator.
PM Albanese mengakui perdebatan mengenai kebijakan ini memang rumit, tetapi dia dengan tegas membela undang-undang tersebut.
"Kami tidak mengklaim penerapannya akan sempurna, seperti halnya larangan alkohol bagi anak di bawah 18 tahun tidak berarti mereka tidak bisa mengaksesnya -- namun kami yakin ini adalah langkah yang benar," tegasnya pada Jumat lalu.