Promosi Teh Sukabumi di Eropa Tahun 1883 Ini Unik Pakai Gamelan Sunda, Ini Sosok di Baliknya
Di masa itu kebudayaan Sunda tampil untuk pertama kalinya di Eropa mengiringi promosi teh asal Sukabumi
Bukan warga negara Indonesia, ini sosok orang Belanda sang juragan teh yang punya cara jualan unik.
Promosi Teh Sukabumi di Eropa Tahun 1883 Ini Unik Pakai Gamelan Sunda, Ini Sosok di Baliknya
Teh asal Priangan sempat menjadi primadona di Eropa awal abad ke-19. Banyak tuan tanah Belanda yang berinvestasi mendirikan kebun hingga pabrik, salah satunya Ardriaan Walraven Holle.
Dalam catatan sejarah, sosok A. W. Holle termasuk kalangan yang sukses membangun industri teh khususnya di Sukabumi, Jawa Barat.
Gambar: Pabrik Teh di Parakan Salak
-
Alat musik tradisional Sunda apa yang diproduksi oleh Gamelan Purbalaras? Di sana diproduksi berbagai jenis alat musik tradisional seperti kenong, saron, sampai bonang.
-
Dimana kopi Priangan terkenal? Karena terkenalnya kopi dari Jawa Barat, orang Eropa menyebutnya a cup of Java Mereka tidak menggunakan istilah secangkir kopi, tetapi secangkir Java.
-
Apa yang unik dari Kebun Teh Jangkung Malabar? Penamaan Jangkung juga berasal dari pohon teh yang tidak pernah dipotong, dan dibiarkan tumbuh sejak abad ke-19 sampai abad ke-20.
-
Dimana Kesenian Kutukuprak di Sumedang dulunya sering dipentaskan? Sebelumnya, kesenian ini lahir dan dirawat oleh warga di wilayah Jatigede dan sekitarnya yang sering dipentaskan.
-
Dimana Tari Rayak-rayak Sukabumi berasal? Tari ini merupakan kesenian asli wilayah Sukabumi, dan menjadi warisan turun temurun dari nenek moyang.
-
Kenapa Kopi Sumedang jadi terkenal? Kopi ini menjadi salah satu gambaran kekayaan alam dan hasil bumi di Jawa Barat karena banyak jenisnya.
Jadi juragan teh di Priangan
Merujuk jurnal Fakultas Seni Pertunjukan ISBI Bandung, Senin (30/10), sosok tersebut diketahui berhasil membangun industri teh besar di wilayah Priangan.
Ia mulanya memulai membangun kebun teh yang cukup luas di Parakan Salak, kaki Gunung Salak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Tak disangka, usaha yang awalnya dirintis oleh kakak kandung ibunya, Williem van der Hucht itu berhasil karena produk yang dihasilkan berkualitas baik dan bernilai jual tinggi di pasar Eropa.
Dekat dengan pegawai perkebunan
Kesuksesannya membangun bisnisnya pada 1883 itu tentu tak terlepas dari pendekatan humanis yang diterapkannya.
A. W Holle kenal dan bersahabat baik dengan para pegawai serta benar-benar memperhatikan kesejahteraannya.
Bahkan dirinya juga sering menyaksikan pertunjukan seni lokal di perkampungan setempat bersama warga, salah satunya gamelan Sunda. Dari sana, ia jatuh cinta dengan kebudayaan lokal.
Bisa memainkan gamelan dan rebab
Diceritakan bahwa sosoknya sudah benar-benar membaur dengan warga lokal di Parakan. Ia juga mendalami budaya Sunda, termasuk mempraktikkannya seperti seni gamelan Sunda.
Gambar: A.W Holle (paling kanan) tengah bermain rebab
Ia juga berkesempatan belajar memainkan gamelan, dan alat musik gesek khas Sunda bernama rebab.
Dari sini, ia menjadi pemilik usaha perkebunan teh asli Belanda yang tertarik dan mau belajar menyelami kearifan lokal dari para pekerja dan masyarakat sekitar perkebunan.
Kenalkan produk teh Sukabumi di Belanda
Pada Mei 1883, diselenggarakan pameran produk dari berbagai wilayah juga termasuk dari tanah jajahan.
A.W. Holle tak menyianyiakan kesempatan ini untuk mempromosikan teh dari kebunnya, sekaligus memamerkan kedekatannya dengan warga dan budaya Sunda.
Ia seakan ingin menunjukkan bahwa upaya kolonisasi yang dilakukan olehnya dan tim dengan membangun perkebunan dan pabrik teh merupakan langkah yang humanis dan berprikemanusiaan.
A.W. Holle kemudian memboyong 60 orang penabuh gamelan Sunda ke expo produk makanan dan minuman yang diselenggarakan oleh pengusaha asal Prancis, Edouard Agostini bekerja sama dengan Ratu Belanda.
Tampilkan gamelan Sunda dan kehidupan warga Parakan Salak
Di sana, A.W. Holle memiliki cara kreatif untuk mempromosikan tehnya. Ia kemudian mendirikan kampung Sunda, lengkap dengan rumah dari anyaman bambu dan kayu yang beratapkan daun kering.
Turut diboyong juga peralatan pertanian seperti kerbau, cangkul dan pembajak tradisional yang kemudian dipertunjukkan di Amsterdam.
Ia seakan ingin mengenalkan kebudayaan Sunda yang benar-benar kaya, dan eksotis serta di luar bayangan warga Eropa kebanyakan yang menganggap wilayah timur, termasuk tanah jajahan Belanda adalah primitif.
Bawakan lagu kebangsaan Belanda
Ada kisah menarik dalam pameran tersebut, yakni A.W. Holle bersama rombongan penabuh gamelan Sunda asal Parakan Salak juga melakukan kolaborasi untuk membawakan lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”.
Walau dengan kondisi yang seadanya, kolaborasi ini mampu menciptakan atensi dari publik Eropa yang hadir dan stigma soal negara timur termasuk Indonesia yang primitif bisa pelan-pelan hilang.
Atensi ini juga banyak termuat di kalangan media massa cetak saat itu, dan mengapresiasi rombongan sebanyak 60 orang itu.
Rombongan yang diboyong
Adapun panitia sempat mengabadikan sosok-sosok penabuh gamelan Sunda yang dibawa Holle dari Parakan Salak, Sukabumi.
Beberapa sosok tersebut juga diprotret apik seperti Amsa, Semani dan Eno yang berasal dari Tjitjurug, Soekabumi sebagai penari. Lalu ada Sidin Ahoem yang merupakan pemain rebab dan yang lainnya.
Pameran sendiri berlangsung selama enam bulan, dan gamelan tersebut hampir selalu ditabuh oleh mereka.