Dari Bibit hingga ke Lahan, Public Farm Yogyakarta Lahir dan Bertumbuh Kala Pandemi
Merdeka.com - Sudah berbulan-bulan, virus Covid-19 masih menjadi isu yang hangat. Di Indonesia, kasus Covid-19 masih terus meningkat. Dilansir dari laman resmi Satgas Covid-19, per 25 Oktober 2020, tercatat ada 389.712 kasus, dengan korban meninggal sebanyak 13.299 jiwa. Pemerintah terus mengimbau pada masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan dan mengimplementasikan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB).
Bukan hanya masalah kesehatan, Covid-19 juga berdampak ke berbagai sektor kehidupan masyarakat. Misalnya, dari sektor ekonomi yang ditandai dengan turunnya pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama 2020. Di sektor pendidikan, instansi pendidikan harus mengurangi kegiatan tatap muka dan melaksanakan pembelajaran daring, bahkan hingga saat ini.
Juga, dari sektor ketenagakerjaan, banyak perusahaan terpaksa mengurangi jumlah karyawan hingga ada yang gulung tikar. Satu lagi sektor penting yang tak bisa diabaikan, yakni pangan. Kehilangan pekerjaan dan pemasukan, membuat masyarakat terdampak Covid-19 harus memutar otak, agar asap dapur tetap mengepul.
-
Apa yang dihadapi petani di DIY? 'Menyewa lahan itu mahal. Modalnya tidak sedikit. Kalau gagal panen itu harus ditanggung sendiri,' kata Nurohmad.
-
Bagaimana Pemkot membantu para petani? Pemerintah melalui PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan), membantu mulai dari media tanam, bibit, pupuk, hingga instalasi hidroponik.
-
Kenapa Aan mulai usaha di masa pandemi? Aan menuturkan bahwa usahanya ini dia rintis beberapa waktu lalu saat mewabahnya Covid-19 di Indonesia. Saat itu dirinya tengah pulang kampung ke Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur dan mengisi waktu dengan membuat kreasi tas jinjing perempuan.
-
Apa dampak pandemi Covid-19? Pandemi Covid-19 mengubah tatanan kesehatan dan ekonomi di Indonesia dan dunia. Penanganan khusus untuk menjaga keseimbangan dampak kesehatan akibat Covid-19 serta memulihkan ekonomi harus dijalankan.
-
Kenapa petani di DIY miskin? Salah satu golongan masyarakat yang terdampak itu adalah para buruh tani. Mereka menjadi penyumbang angka penduduk miskin di DIY dengan angka pendapatan berkisar Rp600 ribu setiap bulannya.
-
Apa yang dilakukan warga Majalengka untuk mengatasi kekeringan? Selain Abibah, warga lain juga turut memanfaatkan air sungai di desanya itu, salah satunya dengan membuat bendungan sederhana dari bebatuan.
Keresahan inilah yang menjadi alasan Iwan Wijono, seniman dan juga pendiri Public Farm Yogyakarta, untuk turun langsung membantu masyarakat dengan caranya. Public Farm Yogyakarta digagas sebagai wadah bagi publik untuk berbagi, khususnya di bidang pertanian dan pangan.
Lahir dan Tumbuh Kala Pandemi
Sebelum mendirikan Public Farm, Iwan dan rekan senimannya, berinisiatif membantu masyarakat dengan menjalankan dapur umum yang diberi nama, Public Kitchen. Di awal pandemi, dapur umum ini mampu memproduksi lebih dari 200 kotak makan, yang nantinya akan dibagikan kepada masyarakat terdampak di Jogja.
Meski berjalan lancar, menurut Iwan, nasi kotak tak akan cukup jika pandemi masih berlanjut dalam jangka waktu panjang. Dari hasil diskusinya dengan sesama seniman Yogyakarta, akhirnya ia mendirikan Public Farm Yogyakarta.
“Sebelum berproses (dengan rencana kegiatan lain), mendadak pandemi, ya sudah (dialihkan ke) bibit tanam dulu aja. Karena orang tidak boleh kerja, kalau ini krisisnya panjang, biar (mereka) punya makanan di rumah. Saya bibitnya di sini, bagi-baginya di situ (menunjuk halaman depan rumahnya),” jelas Iwan saat ditemui di kediamannya, di Desa Gesik, Kasihan, Bantul.
Warga yang datang untuk mengadopsi bibit gratis ©2020 Merdeka.com/Instagram Public Farm Yogyakarta
Tepatnya pada bulan Mei 2020, dua bulan sejak pengumuman pertama kasus Covid-19 di Indonesia, Public Farm Yogyakarta mulai melakukan penyemaian bibit secara mandiri, dan membagikannya secara gratis pada masyarakat. Tidak hanya menyampaikan informasi pembagian bibit dari mulut ke mulut, Public Farm juga berbagi lewat media sosial.
Akun Instagram mereka, @publicfarm_yogyakarta, mulai membagikan unggahan pertamanya pada 10 Mei. Sejak itu, semakin banyak masyarakat datang untuk mengadopsi bibit.
Manfaat pembagian bibit gratis yang diinisiasi Public Farm Yogyakarta sudah dirasakan Sri Wahyuni, warga Kotagede. Sejak pandemi, Nunik, panggilan Sri Wahyuni, yang sehari-harinya bekerja sebagai pengrajin tas batik daur ulang, harus menganggur karena pasar lumpuh.
Ia akhirnya ikut mengadopsi bibit dari Public Farm untuk kegiatan di rumah. Kini, bibit tersebut sudah panen berulang kali, bahkan sebagian hasil panennya, bisa dibagikan ke tetangga dan dijual secara online.
“Saya sudah panen, terong, tomat, cabai. Ini mau panen kacang panjang dan ketela… (Hasil panennya) Dibagi ke tetangga dulu, baru kalau sisa, nanti dijual. (Karena) Tidak ada kerjaan, setidaknya kita bisa menghemat uang belanja untuk dapur,” ujar Nunik, Sabtu (24/7).
Sempat Alami Lonjakan Permintaan Bibit hingga Diajak Kerjasama Koramil
Seiring berjalannya waktu dan pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas di luar rumah, antusias masyarakat untuk bercocok tanam di rumah meningkat. Iwan mengaku sempat kewalahan memenuhi permintaan bibit dari berbagai lapisan masyarakat. Pria kelahiran Solo ini sempat terpaksa menolak beberapa permintaan yang berlebihan, karena persediaan bibit terbatas dan penyemaian yang membutuhkan waktu cukup lama.
“Ramai banget, sampai habis-habisan. Pernah waktu itu, ada masjid yang minta (bibit) per jenis 100 bibit, tidak bisa, karena persediaannya memang tidak ada. Tetapi tetap boleh ambil per jenis tidak 100. Kalau (per jenis) 100, nanti publik lain tidak dapat,” cerita pria lulusan ISI Yogyakarta ini.
Tidak hanya lonjakan permintaan bibit, Public Farm juga sempat diajak bekerja sama oleh Koramil Kecamatan Kasihan. Iwan mengaku terkejut dan tidak menyangka bisa diajak bekerja sama oleh instansi militer untuk melakukan pembibitan bersama.
Selain mengadakan pembibitan bersama, Public Farm dan Koramil Kecamatan Kasihan juga sempat mengadakan workshop penyemaian di Kantor Koramil Kecamatan Kasihan, Minggu (12/7) lalu. Workshop ini dilakukan secara terbatas dan menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
Iwan Wijono (kanan) dan Anggota Koramil Kec. Kasihan (kiri) ©2020 Merdeka.com/Instagram Public Farm Yogyakarta
Soal pendanaan, Iwan mengaku pembibitan pertama dilakukan secara mandiri dengan dana pribadi. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang datang dan ikut berpartisipasi. Sebagian dari mereka juga ikut menyumbang, dari memberi bibit baru hingga berdonasi.
“Pembibitan pertama (pakai) uang pribadi, terus ada yang nyumbang, ada yang ngasih bibit, ada yang ngasih uang. Kita olah supaya jadi lebih baik,” imbuh Iwan.
Adakan Kelas Ladang dan Akan Cetak Buku
Tidak berhenti dengan membagikan bibit secara gratis, Public Farm memulai program baru yang masih berkaitan dengan pertanian dan ketahanan pangan. Kali ini, Public Farm bekerja sama dengan Yosef Suprapto, budayawan yang juga praktisi pertanian alami biodinamik, mengadakan Kelas Ladang. Kelas pertama dilakukan di Kawasan Banjaran, Waktu Gedung, Guwasari, Kecamatan Pajangan, Bantul, pada awal Agustus 2020 lalu.
Yosef Suprapto (kiri) dan Iwan Wijono (kanan) ©2020 Merdeka.com/Siwi Nur
Tidak hanya teori, peserta yang berasal dari pemuda dan petani setempat, diajak mempraktikan langsung ilmu yang diperoleh. Kelas yang terbuka untuk publik ini, dilaksanakan di lahan milik Pemerintah Desa Guwasari seluas 1.5 hektar, dan akan dilakukan secara bertahap.
Imam Nawawi, selaku Ketua Bumi Desa Guwasari mengaku senang dengan diadakannya Kelas Ladang inisiasi Public Farm Yogyakarta. Menurutnya, kelas tersebut sangat bermanfaat bagi para petani yang kerap mengalami kendala operasional ketika mengolah lahan.
“Pertama, di awal sudah ada beban operasional olah tanah, karena pengerjaannya harus manual, tidak pakai alat. Petani (yang sudah tua), harus membayar buruh untuk mencangkul. Kedua, pupuknya mahal, dan ada dua kemungkinan. Sudah diberi pupuk, tapi tanamannya tidak berhasil itu sudah rugi, ketika berhasil pun ternyata nilai jualnya tidak sebanding (dengan modal),” ujar Imam saat ditemui di kelas ladang.
Belum genap tiga bulan diadakan, Kelas Ladang sudah menunjukkan hasil. Penanaman pagi Gogo sebagai percontohan, berhasil tumbuh dengan sehat di usia tiga minggu. Yos, sapaan akrab Yosef Supraptio selaku praktisi dan juga penyuluh di Kelas Ladang, mengaku terkejut dengan perkembangan padi tersebut.
“Tiga minggu lalu kita menanam padi Gogo, biasanya padi usia segitu diserang belalang hijau. Ini tidak, tidak ada satupun, bisa dilihat di sana,” ujar pria 68 tahun tersebut, sambil menunjuk ke arah areal padi Gogo.
Kelas Ladang Public Farm Yogyakarta ©2020 Merdeka.com/Siwi Nur
Ke depannya, Public Farm dan juga pihak yang terlibat dalam Kelas Ladang, berharap bisa membagikan ilmu pertanian alami ini ke publik. Iwan mengaku ingin membuat buku yang berkaitan dengan kegiatan Public Farm selama ini. Begitu juga Yos Suprapto dan Imam Nawawi, yang berharap bisa membangun kawasan Banjaran, Guwasari, jadi tempat pendidikan pertanian alami.
Semangat Public Farm Berbagi untuk Publik
Iwan menyadari, isu yang ia bawa bersama Public Farm adalah isu publik yang harus diberdayakan oleh publik dan untuk publik. Ia mengaku siap diajak bekerja sama dan melakukan program-program yang masih berkaitan dengan tujuan Public Farm, yaitu kembali ke pertanian alami warisan leluhur.
“Isu yang kita bawa adalah isu publik… Ketika kita mengerjakan programnya, tanahnya milik siapa saja tak masalah, ilmunya milik siapa tidak masalah, modalnya, tenaga ahlinya, milik publik semua, untuk kemajuan publik. Tanahnya bukan milik saya, ilmunya juga punya saya juga, saya cuma ahli program, yang menjembatani,” kata Iwan.
©2020 Merdeka.com/Instagram Public Farm Yogyakarta
Untuk mengajak masyarakat untuk tetap produktif di masa pandemi, tentu tidak mudah. Berawal dari keresahan mengenai kondisi pertanian di Indonesia, ditambah dengan pandemi Covid-19, Public Farm lahir dan tumbuh menjadi wadah publik untuk saling berbagi.
Di saat masyarakat kalang kabut dengan kondisi dapur mereka, Public Farm hadir memberikan alternatif penyelamat agar asap dapur tetap mengepul dan tetap produktif kala pandemi. (mdk/snw)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kisah di balik kehidupan musisi jalanan di Yogyakarta. Dari perjuangan sehari-hari hingga mimpi masa depan.
Baca SelengkapnyaKarena dikelola dengan baik, bisnis tersebut terus berkembang hingga sekarang.
Baca SelengkapnyaSetelah lulus SMA, Aji Saputra bingung mau melakukan apa. Akhirnya ia belajar pertanian dengan petani di desanya, kemudian memulai usaha pengolahan pupuk.
Baca SelengkapnyaSetidaknya ada tiga mimpi yang dibawa yakni lingkungan, sosial dan ekonomi.
Baca SelengkapnyaProduksi abon miliknya saat ini mencapai 2 ton per hari.
Baca SelengkapnyaBerikut potret pasangan muda asal Jogja yang optimis sukses menjadi petani di Kalimantan Utara.
Baca SelengkapnyaHidup dengan banyak uang di Jakarta rupanya tak membuat Widodo merasa bahagia karena hari-harinya dipenuhi dengan tekanan pekerjaan
Baca SelengkapnyaPembagian lele secara gratis diharapkan bisa menurunkan angka stunting di desa tersebut
Baca SelengkapnyaJika biasanya peternakan ayam identik dengan bau tak sedap, hal ini tidak terjadi pada peternakan ayam milik Agus.
Baca SelengkapnyaCawapres nomor urut 1 Abdul Muhaimin Iskandar melakukan kampanye akbar di Lapangan Pajajaran, Sukabumi, Jawa Barat, Senin (22/1).
Baca SelengkapnyaSandjoko menjadi pegawai BUMN selama 33 tahun. Setelah pensiun, ia memutuskan untuk jadi petani di kampungnya.
Baca SelengkapnyaWalaupun warga asli Sukomakmur, namun Lihun merasakan betul bagaimana sulitnya merintis pekerjaan sebagai petani.
Baca Selengkapnya