Ungkapan Kekecewaan Anwar Usman Usai Dipecat dari Ketua MK, Ini Penyataan Lengkapnya
"Saya sudah mendengar ada skenario yang berupaya untuk membunuh karakter saya," kata Anwar Usman
"Saya sudah mendengar ada skenario yang berupaya untuk membunuh karakter saya," kata Anwar Usman
Ungkapan Kekecewaan Anwar Usman Usai Dipecat dari Ketua MK, Ini Penyataan Lengkapnya
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. Dia terbukti melakukan pelanggaran etik berat terkait putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
Anwar akhirnya buka suara menanggapi putusan MKMK tersebut. Berikut pernyataan Anwar Usman kepada wartawan saat konferensi pers di gedung MK, Rabu (8/11):
Sesungguhnya saya mengetahui dan telah mendapatkan kabar, upaya untuk melakukan politisasi dan menjadikan saya sebagai objek dalam berbagai putusan MK dan putusan MK terakhir, maupun tentang rencana pembentukan MKMK. Telah saya dengar jauh sebelum MKMK terbentuk.
Namun meski saya sudah mendengar ada skenario yang berupaya untuk membunuh karakter saya, tetapi saya tetap berbaik sangka, berhusnuzon, karena memang sudah seharusnya begitulah cara dan karakter seorang Muslim berpikir.
Saya berkeyakinan bahwa, tidak ada ada selembar daun pun yang jatuh di muka bumi, tanpa kehendak-Nya, dan sebaik-baik skenario manusia tentu, jauh lebih baik skenario Allah SWT.
Sejak awal saya sudah mengatakan, bahwa jabatan itu adalah milik Allah, sehingga pemberhentian saya sebagai Ketua MK, tidak sedikit pun membebani diri saya. Saya yakin dan percaya, bahwa dibalik semua ini, Insya Allah ada hikmah besar yang akan menjadi karunia bagi saya dan keluarga besar saya, sahabat, dan handai taulan, dan khusus bagi Mahkamah Konstitusi, nusa dan bangsa.
Namun demikian, wajib bagi saya, untuk meluruskan beberapa hal, agar publik memahami, tentang apa sesungguhnya yang terjadi.
Pertama
Meski saya mengetahui tentang rencana dan adanya skenario terhadap diri saya melalui Pembentukan MKMK, saya tetap memenuhi kewajiban saya sebagai Ketua MK, untuk membentuk MKMK, sebagai bentuk tanggung jawab amanah jabatan yang diembankan kepada saya, selaku Ketua MK.
Kedua
Saya menyayangkan proses peradilan etik yang seharusnya tertutup sesuai dengan Peraturan MK, dilakukan secara terbuka.
Hal itu secara normatif, tentu menyalahi aturan, dan tidak sejalan dengan tujuan dibentuknya Majelis Kehormatan, yang ditujukan untuk menjaga keluhuran dan martabat Hakim Konstitusi, baik secara individual, maupun secara institusional.
Begitu pula halnya, tentang putusan Majelis Kehormatan MK, meski dengan dalih melakukan terobosan hukum, dengan tujuan mengembalikan citra MK di mata publik, hal tersebut tetap merupakan pelanggaran norma, terhadap ketentuan yang berlaku. Namun, sebagai Ketua MK saat itu, saya tetap tidak berupaya untuk mencegah atau intervensi terhadap proses, atau jalannya persidangan Majelis Kehormatan MK yang tengah berlangsung.
Ketiga
Penting untuk diketahui dan dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia, bahwa saya, adalah Hakim Konstitusi yang berasal dari Mahkamah Agung, yang telah meniti karir sejak 1985.
Artinya, sudah hampir 40 tahun saya menjalani profesi hakim, baik sebagai hakim karier di bawah Mahkamah Agung maupun hakim di Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2011, dan telah saya jalani tanpa melakukan suatu perbuatan yang tercela. Saya tidak pernah berurusan dengan Komisi Yudisial atau Badan Pengawas Mahkamah Agung, juga tidak pernah melanggar etik sebagai Hakim Konstitusi sejak diberi amanah pada tahun 2011.
Keempat
Saya menyadari dengan sepenuh hati, ketika menangani perkara PUU Pemilu, khususnya terkait dengan batas usia Capres dan Cawapres, perkara tersebut sangat kuat muatan politiknya.
Namun, sebagai Hakim Konstitusi yang berasal dari Hakim Karier, saya tetap patuh terhadap asas- asas dan ketentuan hukum yang berlaku. Sedari awal, sejak menjadi hakim dan Hakim Konstitusi, saya mengatakan, bahwa, jika seorang hakim memutus tidak berdasarkan hati nuraninya, maka sesungguhnya, dia sedang menghukum dirinya sendiri, dan pengadilan tertinggi sesungguhnya adalah pengadilan hati nurani. Oleh karena itu, saya tidak pernah takut dengan tekanan dalam bentuk apapun, dan oleh siapapun dalam memutus sebuah perkara, sesuai dengan keyakinan saya sebagai Hakim yang akan saya pertanggungjawabkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
Fitnah yang dialamatkan kepada saya, terkait penanganan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, adalah fitnah yang amat keji, dan sama sekali tidak berdasarkan atas hukum.
Saya tidak akan mengorbankan diri saya, martabat saya, dan kehormatan saya, diujung masa pengabdian saya sebagai Hakim, demi meloloskan pasangan calon tertentu. Lagipula perkara PUU hanya menyangkut norma, bukan kasus konkret. Dan pengambilan putusannya pun bersifat kolektif kolegial oleh sembilan orang hakim konstitusi, bukan oleh seorang ketua semata. Demikian pula dalam alam demokrasi seperti saat ini, rakyatlah yang akan menentukan, siapa calon pemimpin yang akan dipilihnya kelak, sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam penanganan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, sebagai Hakim karir, saya, tetap mematuhi asas dan norma yang berlaku di dalam memutus perkara dimaksud. Terkait dengan isu konflik kepentingan (conflict of interest), sejak era Kepemimpinan Prof Jimly, dalam Putusan Nomor 004/PUU-1/2003, Putusan 066/PUU-II/2004, Putusan Nomor 5/PUU- IV/2006 yang membatalkan Pengawasan KY terhadap Hakim Konstitusi. maupun Putusan Nomor 48/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 49/PUU- IX/2011 di era Kepemimpinan Prof Mahfud MD. Putusan Nomor 97/PUU- XI/2013, Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 yang membatalkan Perppu MK di era Kepemimpinan Bapak Hamdan Zoelva, Putusan Perkara 53/PUU- XIV/2016, Putusan Nomor 53/PUU-XIV/2016 di era Kepemimpinan Prof Arief Hidayat.
Selanjutnya Putusan Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan tersebut, terhadap pengujian Pasal 87A karena norma tersebut menyangkut jabatan Ketua dan Wakil Ketua, dan ketika itu saya adalah Ketua MK, meskipun menyangkut persoalan diri saya langsung.
Namun saya tetap melakukan dissenting opinion, termasuk kepentingan langsung Prof Saldi Isra dalam pasal 87b terkait usia yang belum memenuhi syarat.
Dengan berbagai yurisprudensi di atas, yang pada intinya menjelaskan bahwa perkara pengujian UU di Mahkamah Konstitusi adalah penanganan perkara yang bersifat umum (publik), bukan penanganan perkara yang bersifat pribadi, atau individual yang bersifat privat. Maka, berdasarkan yurisprudensi di atas dan norma hukum yang berlaku, pertanyaannya adalah: apakah sebagai Hakim Konstitusi dan Ketua MK, saya harus mengingkari putusan-putusan terdahulu, karena disebabkan adanya tekanan publik, atau pihak tertentu atas kepentingan tertentu pula?
Atau saya harus mundur dari penanganan perkara 96/PUU-XVIII/2020, demi menyelamatkan diri sendiri? Sebagaimana saya jelaskan di atas, jika hal itu saya lakukan, maka sama halnya, saya menghukum diri sendiri, karena tidak sesuai dengan keyakinan saya sebagai hakim dalam memutus perkara. Bahkan, secara logis, sangat mudah bagi saya untuk sekedar menyelamatkan diri sendiri, dengan tidak ikut memutus perkara tersebut. Karena jika niat saya dan para hakim konstitusi, untuk memutus perkara tersebut, ditujukan untuk meloloskan pasangan calon tertentu, toh, juga bukan kami yang nantinya punya hak untuk mengusung calon, dan yang akan menentukan siapa calon pasangan terpilih kelak, tentu rakyatlah yang menentukan hak pilihnya melalui pemilihan umum.
Telah berulangkali saya sampaikan di hadapan publik, nukilan ayat Quran dan kisah-kisah di zaman Rasulullah, dan para sahabat, tentang pentingnya berlaku adil, apalagi bagi seorang Hakim. Namun, fitnah yang keji justru datang kepada saya, bahwa saya dianggap menggunakan dalih agama untuk kepentingan tertentu. Padahal, hal tersebut saya lakukan, karena merupakan keyakinan saya sebagai seorang muslim, dan berlatar belakang saya, yang merupakan alumni Pendidikan Guru Agama Islam.
Saya tidak pernah berkecil hati sedikitpun, terhadap fitnah yang menerpa saya, namun fitnah keji yang menerpa saya, bahwa saya memutus perkara tertentu berdasarkan kepentingan pribadi dan keluarga, hal itulah yang harus diluruskan. Seorang negarawan, harus berani mengambil keputusan demi generasi yang akan datang, berbeda halnya dengan politisi yang mengambil keputusan berdasarkan kepentaingan pemilu, yang sudah menjelang. Putusan MK, tidak berlaku untuk saat ini saja, melainkan berlaku untuk seterusnya.
Saat ini, harkat, derajat, martabat saya sebagai Hakim karir selama hampir 40 tahun, dilumatkan oleh fitnah yang keji. Tetapi saya tidak pernah berkecil hati dan pantang mundur, dalam menegakkan hukum dan keadilan dinegara tercinta. Saya tetap yakin, bahwa sebaik-baik skenario manusia, untuk membunuh karakter saya, karir saya, harkat dan derajat serta martabat saya dan keluarga saya, tentu tidak akan lebih baik dan indah, dibandingkan skenario Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
Saya hanya berpasrah diri kepada Allah SWT, atas fitnah keji dan kejam yang menimpa diri dan keluarga saya, serta diiringi selalu dengan doa, dan ikhtiar terbaik bagi kepentingan nusa, bangsa dan negara. Semoga yang fitnah dan mendzolimi saya diampuni Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.