Cornelis van Vollenhoven, Antropolog Belanda yang Melestarikan Hukum Adat di Hindia Belanda
Kecintaannya dalam mengkaji hukum adat hingga hukum tata negara di Hindia Belanda membuat dirinya dijuluki sebagai "Bapak Hukum Adat".
Masa kolonial Belanda melahirkan hukum-hukum adat yang sudah paten dimiliki setiap masyarakat Pribumi. Tentunya dengan adanya hukum adat ini menjadi pedoman hidup bagi masyarakat etnis di Indonesia.
Hukum-hukum adat ini tentunya menarik perhatian bagi beberapa kalangan yang peduli dan tertarik untuk mempelajarinya tak terkecuali orang-orang berkebangsaan Belanda. Salah satu nama besar yang mempelajari hukum adat ini adalah Cornelis van Vollenhoven.
-
Siapa yang membentuk Adat Ketumanggungan? Suku ini merupakan salah satu marga etnis Minangkabau yang masih berkerabat dengan Suku Koto yang membentuk Adat Katumanggungan.
-
Siapa yang memulai tradisi ini? Tradisi itu berasal dari seorang tokoh syiar Islam di Klaten bernama Ki Ageng Gribig.
-
Siapa yang terlibat dalam tradisi ini? Setelah itu, tuan rumah akan mengundang tetangga untuk mengikuti acara kepungan dengan menyantap tumpeng tawon.
-
Siapa yang menerapkan tradisi Ngalor Ngulon? Masyarakat di Desa Margopatut Nganjuk memiliki tradisi Ngalor Ngulon yang terkait dengan syarat seseorang yang akan menikah.
-
Mengapa tradisi ini dilestarikan? Tradisi itu dilestarikan untuk mengenang penyebar agama Islam di Jatinom, Ki Ageng Gribig.
-
Apa itu Bakaua Adat? Bakaua Adat ini adalah salah satu tradisi peninggalan nenek moyang mereka, maka masyarakat setempat pun mewarisi kegiatan ini secara turun-temurun.
Selama hidup Cornelis banyak mempelajari dan mengkaji perihal hukum adat hingga hukum tata negara atau staatsrecht, hukum bangsa atau volkenrecht, hukum internasional, dan juga kesusateraan Semit serta sejarah.
Meski ia murni berdarah Belanda, berkat kajian dan ketertarikannya inilah ia mendapat julukan sebagai "Bapak Hukum Adat". Lantas, bagaimana perjalanan Cornelis dalam mengkaji hukum adat di Hindia Belanda? Simak informasinya yang dirangkum merdeka.com berikut ini.
Profil Singkat
Cornelis van Vollenhoben lahir di Dordrecht pada 8 Mei 1874. Tidak diketahui pasti riwayat sekolah menengahnya, namun di usianya yang masih muda Ia sudah resmi menjadi mahasiswa di Universitas Leiden. Terlihat jelas jika pemuda yang satu ini begitu cerdas dalam bidang akademik.
Menginjak usia 24 tahun tepatnya pada tahun 1898, Cornelis berhasil meraih gelar doktor bidang hukum dan tata negara dengan predikat Cum laude. Setelah lulus, ia sempat bekerja sebagai sekretaris pribadi anggota parlemen dan pemilik perkebunan di Hindia Belanda.
Riwayat Karier
Dirangkum dari esi.kemdikbud.go.id, pada 1901 Cornelis menjabat sebagai profesor di Universitas Leiden bidang hukum adat dan hukum negara dan administrasi Hindia Belanda, Suriname, dan Curacao. Ia juga pernah menjadi ketua Generaal Claims Commission United States of America and Mexico.
Bersama dengan Snouck Hurgronje, mereka mendirikan Fakultas Hukum dan Sastra di Universitas Leiden yang khusus mempelajari dan mengkaji hukum adat di Hindia Belanda. Mata kuliah yang diajarkan antara lain adalah hukum Hindia Belanda, Islam, dan sejarah hukum komparatif.
Cornelis pernah mengunjungi Hindia Belanda dua kali pada tahun 1907 dan 1932. Adapun karya-karya terkenalnya tentang hukum adat yaitu tiga volume Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie (terbit antara 1908-1933), De Indonesier en zijn grond (1919), Miskenningen van het Adatrecht (1926), dan De Ontdekking van het Adatrecht (1928).
Karena menaruh perhatian besar pada hukum adat, namanya pun terkenal sebagai penemu hukum adat di Indonesia. Menurutnya, mempelajari hukum yang berlaku di Belanda dan di Hindia Belanda maka seolah-olah masuk dunia baru.
Menilai Hukum Adat Itu Penting
Setelah mendalami dan mengkaji hukum adat, Cornelis mengingatkan betapa pentingnya hukum adat bagi masyarakat Indonesia. Ia juga mencatat tidak kurang 19 lingkaran adat dengan ciri pokok yang dapat diatur secara bersamaan.
Hukum-hukum tersebut terdiri hukum kekeluargaan, hukum waris, hukum tanah, utang-piutang, dan pelanggaran atau delik. Ada 19 suku adat yang menjadi landasan Cornelis dalam mengkaji hukum adat ini, mulai dari Aceh hingga Irian.
Istilah hukum adat sendiri sudah mulai diterapkan pertama kali oleh Snouck Hurgronje di Universitas Leiden untuk menunjukkan aturan-aturan adat yang berbeda dari pendapat umum khususnya dalam bidang hukum.
Dalam gagasannya, ia juga menjabarkan enam sifat hak ulayat yang salah satunya berbunyi "orang-orang asing hanya boleh menggunakan tanah-tanah itu dengan izin dari masyarakat hukum bersangkutan dan "orang-orang asing harus membayar recognitie atau pemberian uang, bahan, atau barang kepada atau badan hukum.
Dukung Penghormatan Hak Penduduk
Meski hanya berkunjung dua kali ke Hindia Belanda, namun kajian yang dilakukan Cornelis begitu mendalam dan menyeluruh. Hebatnya, sebagian besar karya-karya yang berkaitan dengan hukum adat yang ia ciptakan rata-rata dibuat di Leiden.
Cornelis juga mendukung pengakuan dan penghormatan atas hak-hak penduduk oleh pegawai pemerintah, selama belum ada peraturan menghalang. Ia setuju dengan otonomi seluas-luasnya bagi bangsa Indonesia.
Tradisi dan pola yang masih hidup ini kemudian disokong untuk berkembang ke lapisan atas yang sudah terpapar dengan pengaruh-pengaruh Barat. Hukum adat berlaku di tingkat desa. Di balik kritiknya, Cornelis berupaya untuk mempertahankan orang Indonesia tetap di posisi rendah.