Kisah Keluarga Surbek dari Swiss di Indonesia, Saksi Hidup Era Kolonial yang Terusir di Masa Penjajahan Jepang
Pada masa Perang Dunia II, keluarga itu mengalami masa sulit hingga akhirnya harus terusir dari Indonesia
Pada masa Perang Dunia II, keluarga itu mengalami masa sulit hingga akhirnya harus terusir dari Indonesia
Kisah Keluarga Surbek dari Swiss di Indonesia, Saksi Hidup Era Kolonial yang Terusir di Masa Penjajahan Jepang
Suasana yang begitu tentram di Desa Spiez, sebuah desa di Dataran Tinggi Bern, Swiss, pada musim semi di awal tahun 2020. Di sanalah Gladys Surbek Luginbuehl menghabiskan masa tuanya.
Saat itu usianya telah menginjak 93 tahun. Namun kondisi tubuhnya masih tampak sehat dan bugar. Di sana ia tinggal bersama suaminya, Hans.
-
Mengapa Belanda dendam pada keluarga Suropati? Terbunuhnya Kapten François Tack, seorang perwira VOC di Kartasura oleh Untung Suropati membuat kolonial Belanda meradang. Pihak kolonial pun menaruh dendam kesumat pada Suropati dan keturunannya.
-
Apa yang dilakukan keluarga Suropati untuk melawan VOC? Kematian Suropati membuat keturunan dan para pengikutnya yang jumlahnya sangat banyak terus-menerus melakukan perlawanan terhadap VOC, khusunya di wilayah Malang, Lumajang, Winongan, Ngantang, dan Porong.
-
Apa yang dilakukan Belanda untuk menumpas keluarga Suropati? Mengutip Instagram @jurulamadjang, kolonial Belanda menggunakan gagasan Tumpes Kelor, yakni menumpas seluruhnya sampai ke akar-akar. Pihak kolonial bermaksud menghukum mati seluruh anggota keluarga Suropati.
-
Siapa yang tinggal di rumah itu saat penjajahan Jepang? Dulu ada sekitar 50 orang yang tinggal di rumah itu selama masa tahanan Jepang.
-
Siapa gubernur residen Sumatra Barat pada masa penjajahan Jepang? Era kolonialisme Jepang, sosok birokrat yang satu ini menduduki jabatan sebagai gubernur residen Sumatra Barat.
-
Dimana keluarga Suropati ditangkap? Pada tahun 1770, prajurit Sultan dan Kompeni berhasil menangkap 21 orang keluarga Kartanagara. Mereka merupakan kelompok terakhir yang berhasil diketahui dan ditangkap.
“Jangan ganggu,” ujar Gladys pada suaminya. Hans yang tak bisa Bahasa Indonesia tampak kebingunan. Ia baru mengerti saat istrinya menjelaskan artinya dengan Bahasa yang mereka pakai sehari-hari. Sang suami beranjak pergi dan sesi wawancara itu dimulai.
Ingatan Gladys masih jernih saat ia menceritakan kenangannya waktu masih tinggal di Negeri Hindia Belanda. Saat itu, ia tinggal dengan kedua orang tuanya dan juga seorang kakak laki-laki.
“Saya lahir di Sumatra. Orang tua saya tinggal di Pagar Alam. Bapak saya bekerja di sebuah rumah sakit, juga kadang mengajar di sekolah,” kata Gladys dalam sebuah sesi wawancara yang videonya diunggah pada kanal YouTube Bintang Jatuh Stories.
Gladys Surbek tinggal di Hindia Belanda selama 16 tahun. Setelah tinggal di Sumatra, ia pindah ke Bandung, Jawa Barat. Ayahnya, Kurt Surbek, adalah seorang dokter.
Sementara ibunya, Gret Surbek, meninggalkan sebuah catatan harian saat keluarga kecil dari Swiss itu tinggal di Indonesia.
Catatan harian berjumlah 19 bundel itu menjadi sebuah harta karun bagi keluarga terpandang di negeri asalnya itu. Dari sana pula kehidupan masa kecil Gladys terungkap.
Kurt Surbek, merupakan seorang dokter yang memiliki jiwa petualang. Dengan jiwa petualang itulah ia berlayar ke Indonesia bersama istrinya, Gret Surbek yang masih berusia 19 tahun.
Kehidupan keluarga kecil Surbek di Hindia Belanda agak berbeda dari kebanyakan masyarakat Eropa pada waktu itu. Mereka tidak membatasi diri untuk bergaul dengan orang-orang pribumi.
“Kami sejak awal boleh bermain dengan anak-anak kampung. Padahal anak-anak Belanda lain dilarang untuk bermain dengan anak pribumi. Tetapi orang tua saya tidak pernah melarang kami untuk bermain dengan mereka,”
ujar Gladys Surbek dalam sesi wawancara itu.
Kehidupan tenang keluarga Surbek mulai berubah seiring situasi politik dunia saat itu. Menjelang Perang Dunia II, Jerman dengan tentara Nazi-nya mulai menduduki Belanda.
Sebagai bentuk balas dendam Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia menangkap warga negara Jerman dan memenjarakannya.
Saat itu Kurt Surbek mendapat tugas sebagai pengamat dari palang merah internasional. Sedangkan Bernie Surbek, kakak dari Gladys, dikirim ke Sydney, Australia.
Sedangkan Kurt, Gret, dan Gladys meninggalkan Bandung menuju Medan, Sumatera Utara. Selain menjadi pengamat, Kurt juga menjadi dokter untuk kalangan pribumi.
Dalam catatan harian Gret disebutkan bahwa saat menjadi dokter itu suaminya menjalani masa-masa sulit.
Ia menulis, tak semua dokter kulit putih dari Eropa diterima oleh masyarakat pribumi.
Saat Kurt mengunjungi sebuah terpencil misalnya, warga sekitar selalu bilang bahwa tak ada satupun dari mereka yang kondisinya sakit.
“Orang Batak itu lucu-lucu. Apa yang tertulis di koran sering dijadikan nama anak mereka. Misalnya di koran ada nama Hitler maka anaknya dinamakan Hitler walaupun mereka tidak tahu siapa Hitler itu,”
kata Gladys mengenang pergaulannya dengan orang-orang Batak waktu tinggal di Medan.
Pada tahun 1942, pengaruh Perang Dunia II sampai juga di Sumatera.
Walaupun berasal dari Swiss yang notabene bersikap netral terhadap dua kekuatan Perang Dunia II, Keluarga Surbek sering dikaitkan dengan musuh Jepang mengingat jabatan Kurt yang merupakan dokter utusan Belanda.
Pada suatu malam, tentara Jepang mendatangi rumah keluarga itu. Di hadapan Kurt, tentara Jepang memperkosa istri dan anak perempuannya. Saat diperkosa tentara Jepang, usia Gladys masih 16 tahun.
“Mereka bertiga. Dua orang membawa mami ke kamar kemudian memperkosanya. Mami tidak bisa melawan. Papi juga diancam dan tidak bisa melawan. Papi berusaha membujuk mereka dengan menawarkan uang dan emas. Ketika saya dibawa ke kamar mami sangat memberontak dan mencoba menjelaskan bahwa saya masih kecil,”
Tutur Gladys menceritakan kisah tragis yang ia alami bersama kedua orang tuanya.
Setelah merasakan secara langsung kekejaman tentara Jepang, keluarga Surbek mengungsi ke rumah sakit. Peristiwa itu menyisakan trauma mendalam bagi keluarga kecil asal Swiss itu.
Tahun-tahun berikutnya merupakan masa sulit bagi keluarga Surbek. Mereka kekurangan bahan makanan dan juga pakaian. Mereka pun hilang kontak dengan Bernie yang berada di Australia.
Hubungan dengan tentara Jepang berangsur membaik saat mereka mulai bisa berbahasa Jepang. Gladys perlahan-lahan mulai bisa mengenal mereka sebagai manusia, bukan lagi tentara yang kejam.
“Mereka juga sama sebagai manusia. Punya rasa takut, punya rasa khawatir. Khawatir bagaimana keluarga di rumah sana,” kata Gladys dikutip dari kanal YouTube Bintang Jatuh Stories.
Saat itulah Gladys mulai dekat dengan salah seorang perwira Jepang bernama Mino.
Saat itu usia Gladys menginjak 18 tahun, sementara Mino 32 tahun. Namun hubungan mereka tak direstui kedua orang tua Gladys.
“Mino adalah seorang perwira yang baik hati dan banyak membantu kami di masa sulit itu. Dia sangat suka logat saya kalau bicara Bahasa Jepang. Dia cinta pertama saya di masa perang,” kenang Gladys diakhiri dengan tawa ringan.
Saat Perang Dunia II berakhir di mana Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, Mino masuk penjara.
Sementara kondisi di Indonesia semakin tidak menentu. Terjadi perang di mana-mana antara pejuang Indonea dengan Belanda yang ingin kembali menguasai negeri jajahannya.
Saat itulah keluarga Surbek terpaksa meninggalkan Indonesia walau itu merupakan pilihan yang sulit bagi mereka. Begitu pula dengan Gladys yang harus berpisah dengan Mino.
“Saya berpisah dengan Mino di Medan. Menjelang keberangkatan ke bandara dia memberi saya sebuah kotak hadiah. Dia berdiri tegak dan memberi hormat sambil mengucapkan semoga semuanya baik. Sangat menyedihkan karena kami tak banyak bicara,”
ujar Gladys dikutip dari kanal YouTube Bintang Jatuh Stories.
Pada tahun 1946, Kurt kembali ke Swiss dan bekerja sebagai seorang direktur sebuah klinik di Kota Basel. Namun hidupnya tidak bahagia karena luka trauma akibat kekejaman perang di Indonesia.
Menjelang natal tahun 1947, Kurt meloncat dari tebing Swiss Alpen, Dataran Tinggi Bern. Sebelum meninggal dunia, ia menuliskan sebuah puisi yang kemudian menjadi kenang-kenangan keluarga itu. Sehari setelah peristiwa tragis suaminya, Gret kehilangan Indera penciuman.
Masa-masa sulit itu perlahan membaik. Pada tahun 1949, Bernie pulang dari Australia setelah menyelesaikan studinya. Ia kemudian menikah dengan orang Swiss dan dikaruniai dua orang anak, Christa dan Daniel.
Sekembalinya ke Swiss, Gladys melanjutkan sekolah khusus untuk menjadi seorang ahli laboratorium. Ia menikah dengan seorang dokter bernama Hans Luginbuehl dan dikaruniai empat orang anak.
Sementara itu setelah sempat mendekam di penjara selama 6 tahun di Indonesia, Mino dibebaskan dan kembali ke Jepang. Meskipun ia sudah berkeluarga, Mino tetap berkirim surat dengan Gladys.
Mino sempat mengunjungi Gladys di Swiss sebanyak dua kali, dan Gladys juga sempat berkunjung ke Jepang untuk mengunjungi Mino.
Hubungan mereka terputus saat surat Gladys sudah tak lagi mendapat balasan dari Mino. Saat itulah Gladys menganggap bahwa Mino telah meninggal dunia.
“Sebuah kisah yang indah. Kami memang tidak sampai bertunangan, hanya berteman saja,” tutup Gladys menjelaskan hubungannya dengan Mino.