Bumi Pernah Dihujani Meteor 4 Kali Lebih Besar dari Gunung Everest, Ini Bekasnya
Penelitian dipimpin Nadja Drabon yang melibatkan pengumpulan serta analisis sampel batuan.
Bumi pernah mengalami bencana yang sangat besar akibat hantaman sebuah meteor raksasa sekitar 3,26 miliar tahun yang lalu. Penelitian terkini yang dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences menjelaskan dampak luar biasa dari peristiwa ini terhadap kondisi geologis dan kehidupan awal di planet kita.
Menurut laman Science Daily yang dilansir pada Selasa (12/11), studi ini berfokus pada meteor yang dikenal sebagai "S2". Meteor yang memiliki ukuran empat kali lipat dari Gunung Everest ini menghantam bumi pada masa awal pembentukan kehidupan, menyebabkan gelombang bencana yang merombak bentuk geologis bumi.
-
Bagaimana dampak meteor ke bumi? Dampak dari tumbukan tersebut setara dengan kekuatan kejut yang dihasilkan oleh 10 miliar bom Hiroshima. Guncangan ini menjadi pemicu terbentuknya kawah Chicxulub di bawah Semenanjung Yucatán, Meksiko.
-
Mengapa meteorit menghantam Bumi? Studi mikrometeorit yang ditemukan dalam batu kapur dari periode Ordovisium dan kawah tumbukan di Bumi menunjukkan bahwa planet kita mengalami hantaman material kondrit biasa L secara besar-besaran sekitar 466 juta tahun yang lalu.
-
Apa itu hujan meteor? Hujan meteor adalah suatu fenomena alam luar angkasa yang terjadi ketika meteor jatuh terbang di angkasa. Jika Anda melihat bintang-bintang bergerak dari satu tempat ke tempat lain, ini yang dinamakan dengan hujan meteor, atau yang sering disebut dengan bintang jatuh.
-
Bagaimana bentuk komet Gunung Everest? Karena penampakan batunya yang menyerupai tanduk dan menonjol keluar, komet ini dijuluki sebagai 'komet setan', dan diperkirakan terdiri dari gas dan debu.
-
Bagaimana meteor sampai ke Bumi? Saat meteorid menghantam satu sama lain di angkasa, serpihannya masuk ke Bumi. Serpihan tersebut, tersebar di langit dan jatuh di dataran Bumi.
-
Apa itu meteorit? Setiap hari, sekitar 44 ribu kilogram material meteor menghantam bumi. Kebanyakan dari batu luar angkasa ini terbakar di atmosfer tanpa menimbulkan bahaya, tetapi beberapa di antaranya berhasil mencapai permukaan bumi.
Pekerjaan penelitian ini dipimpin oleh Nadja Drabon, seorang ahli geologi purba dan asisten profesor di Departemen Ilmu Bumi dan Planet di Universitas Harvard. Bersama timnya, Drabon mengumpulkan serta menganalisis sampel batuan yang terpisah beberapa sentimeter dari lapisan-lapisan purba yang terkubur di sabuk Barberton Greenstone Belt, Afrika Selatan.
Saat ini, kawasan itu menjadi salah satu situs geologi terpenting untuk mempelajari sejarah awal bumi. Dengan menerapkan berbagai teknik analisis, seperti studi sedimentologi, geokimia, dan komposisi isotop karbon, Drabon dan timnya berhasil menemukan bukti-bukti yang mengarah pada kejadian dahsyat di masa lalu.
Melalui analisis tersebut, mereka berhasil membangun gambaran tentang dampak dari meteor S2, yang diperkirakan berukuran 200 kali lipat dari meteor yang mengakibatkan kepunahan dinosaurus 66 juta tahun yang lalu. Hantaman meteor S2 diperkirakan memiliki dampak yang sangat besar, memicu serangkaian peristiwa alam yang tidak hanya mengubah wajah planet ini, tetapi juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan purba yang ada pada waktu itu.
Meteor S2 yang menghantam bumi sekitar 3,26 miliar tahun lalu diduga memicu tsunami besar yang mengguncang samudra purba dan mengubah iklim secara drastis. Tsunami ini menciptakan gelombang-gelombang besar yang menghanyutkan puing-puing daratan ke kawasan pesisir.
Suhu Lautan Meningkat Pesat
Akibat dari hantaman yang sangat kuat, suhu di permukaan lautan meningkat secara drastis hingga menyebabkan perairan tersebut mendidih. Tidak hanya itu, atmosfer bumi juga mengalami pemanasan yang ekstrem. Salah satu dampak paling signifikan dari kejadian ini adalah munculnya awan debu tebal yang menyelimuti seluruh planet.
Awan debu tersebut menghalangi cahaya matahari, yang selanjutnya mengakibatkan gangguan besar pada proses fotosintesis yang sedang berlangsung. Proses fotosintesis, yang sangat penting bagi kehidupan di Bumi, pun terhenti, dan ini berdampak pada kehidupan tumbuhan serta mikroorganisme yang bergantung padanya.
Namun, meskipun banyak bentuk kehidupan terancam, bakteri menunjukkan ketahanan yang luar biasa terhadap bencana ini. Drabon dan tim penelitinya menemukan bahwa meskipun banyak kehidupan lain mati atau terhenti, bakteri purba yang ada pada saat itu memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam kondisi yang sangat ekstrem.
Penemuan ini membuka wawasan baru mengenai sifat adaptif dari organisme paling primitif yang dapat bertahan bahkan di lingkungan yang sangat keras. Setelah dampak dari meteor S2, para peneliti menemukan adanya peningkatan populasi bakteri yang memetabolisme zat besi dan fosfor.
Fenomena ini berkaitan dengan peristiwa tsunami yang mengaduk lautan dalam dan membawa unsur-unsur kimia tersebut ke perairan yang lebih dangkal.
Di samping itu, meteorit S2 sendiri juga membawa fosfor, yang turut berkontribusi pada peningkatan jumlah bakteri yang menggunakan unsur tersebut sebagai sumber energi. Pergeseran menuju dominasi bakteri yang menyukai zat besi ini merupakan salah satu bagian penting dari evolusi kehidupan awal di Bumi.
Menurut Drabon, meskipun perubahan ini hanya berlangsung dalam waktu singkat, hal ini memberikan gambaran kunci tentang bagaimana kehidupan mikroba berevolusi dan bertahan melalui perubahan lingkungan yang ekstrem. Keberadaan bakteri yang memanfaatkan besi sebagai sumber energi menunjukkan bagaimana organisme pertama di bumi bisa beradaptasi dan berkembang dalam kondisi yang sangat berbeda dibandingkan dengan kehidupan modern saat ini.
Bukti Geologis
Salah satu sumbangan paling signifikan dari penelitian ini adalah penemuan bukti geologis di sabuk Barberton Greenstone yang terletak di Afrika Selatan. Wilayah ini diakui sebagai salah satu lokasi terbaik untuk mempelajari geologi bumi purba karena memiliki lapisan batuan yang terawetkan dengan sangat baik selama miliaran tahun.
Di lokasi ini, Drabon beserta timnya menemukan jejak-jejak dari peristiwa tumbukan meteor. Salah satunya adalah S2 yang meninggalkan tanda kimia dan sedimen yang dapat dianalisis untuk memahami dampaknya. Melalui penelitian lapangan di area ini, Drabon dan timnya berhasil mendaki celah-celah gunung serta memeriksa lapisan batuan yang terbentuk akibat semburan material dari tumbukan meteor.
Lapisan-lapisan tersebut memberikan bukti fisik dan kimia mengenai dampak yang ditinggalkan oleh meteor, termasuk perubahan dalam komposisi kimiawi sedimen yang terbentuk setelah peristiwa tsunami dan bencana lainnya.
Sabuk Barberton Greenstone tidak hanya menyimpan bukti dari peristiwa meteor S2, tetapi juga menunjukkan adanya setidaknya delapan peristiwa tumbukan meteor besar lainnya yang terjadi di Bumi purba. Temuan ini memberikan wawasan yang lebih mendalam mengenai sejarah geologi bumi dan bagaimana peristiwa-peristiwa besar ini berkontribusi terhadap evolusi kehidupan di planet ini.