Temuan Fosil Berusia 86.000 Tahun di Gua Ini Ungkap Bagaimana Awalnya Manusia Tiba di Asia Tenggara
Peneliti melakukan analisis mikroskopis terhadap kotoran dari gua untuk memahami perubahan lingkungan masa lalu.
Situs gua purba di Laos menyodorkan bukti bagaimana manusia paling awal menduduki Asia Tenggara. Para ilmuwan merekonstruksi kondisi tanah di gua Tam Pà Ling di Laos antara 52.000 dan 10.000 tahun yang lalu.
Hasil temuan ini diterbitkan dalam jurnal Quaternary Science Reviews.
-
Di mana fosil nenek moyang manusia ditemukan di Laos? Dua fosil Laos--berupa tulang kaki dan bagian dari tulang tengkorak kepada--ditemukan di Gua Tam Pa Ling. Situs arkeologi itu ditemukan pada 2009 ketika bagian lain dari tengkorak kepala itu ditemukan. Selain itu temuan teranyar memperlihatkan dua tulang rahang, tulang rusuk dan ruas jari di lokasi itu.
-
Kenapa penemuan fosil di Laos menantang teori migrasi manusia sebelumnya? Temuan ini bertentangan dengan gagasan sebelumnya yang menyebut nenek moyang manusia menyebar ke seluruh dunia dalam satu gelombang sekitar 50.000-60.000 tahun silam.
-
Di mana fosil manusia purba ditemukan? Fosil ini ditemukan di gua Heaning Wook Bone di Cumbria, Inggris.
-
Bagaimana fosil manusia purba di Sangiran ditemukan? Fosil ini pertama kali ditemukan oleh Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald pada tahun 1934 dengan bantuan penduduk setempat.
-
Kapan para arkeolog menemukan fosil manusia purba spesies baru ini? Dilansir Ancient Origins, arkeolog pertama kali menemukan fosil ini di Hualongdong, China Timur pada 2019 lalu.
-
Apa yang ditemukan oleh para ahli paleontologi? Para ahli paleontologi menemukan spesies cumi-cumi vampir yang sebelumnya tidak diketahui.
Dalam penggalian sebelumnya, ditemukan fosil manusia yang tersimpan di gua tersebut sejak sekitar 86.000 dan 30.000 tahun yang lalu. Fosil ini menunjukkan penyebaran Homo sapiens ke Asia Tenggara lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya.
Namun, analisis rinci terhadap sedimen di sekitarnya belum pernah dilakukan sebelumnya.
Para peneliti dari Universitas Flinders Australia melakukan analisis mikroskopis terhadap kotoran dari gua untuk memahami perubahan lingkungan masa lalu.
Temuan ini membantu menentukan “keadaan yang tepat di mana beberapa fosil manusia modern paling awal yang ditemukan di Asia Tenggara tersimpan jauh di dalam” gua tersebut.
Analisis tersebut mengungkap jejak aktivitas manusia dan hewan yang terabaikan selama penggalian sebelumnya, sehingga memberikan lebih banyak wawasan mengenai adaptasi mereka terhadap perubahan lingkungan dalam kondisi tropis.
- Pemburu Temukan Fosil Gading Mamut Berusia 20.000 Tahun di Sungai, Panjangnya 2 Meter dan Beratnya Hampir 300 Kilogram
- Ilmuwan Temukan Fosil Monyet Berusia 10.000 Tahun di Dalam Gua Bawah Air, Cedera Pada Tengkorak Ungkap Penyebab Kematiannya
- Ilmuwan Temukan Sayatan Pada Fosil Mamut Berusia 39.000 Tahun, Ungkap Jejak Manusia Pertama di Kutub Utara
- Ilmuwan Temukan Fosil 33 Spesies Megafauna di Situs Berusia 8 Juta Tahun, Termasuk Burung Raksasa yang Tak Bisa Terbang
Fosil Terbawa Air
Para peneliti menemukan, fosil manusia mungkin saja tersapu lebih dalam ke dalam gua karena sedimen lepas terakumulasi seiring berjalannya waktu. Fosil-fosil tersebut kemungkinan besar terbawa oleh air dari lereng bukit di sekitarnya selama periode hujan lebat.
Ada juga tanda-tanda gua tersebut mengalami periode kekeringan sekitar 24.000 tahun yang lalu dan segera kembali ke kondisi basah dan beriklim sedang setelahnya.
Studi tersebut menemukan, gua tersebut basah “tetapi tidak tergenang” untuk jangka waktu yang lama dari 50.000 hingga 30.000 tahun yang lalu, berubah dari suhu sedang menjadi lembab.
Berdasarkan hasil analisis, kondisi di dalam gua berfluktuasi secara drastis dari iklim sedang dengan tanah yang sering basah hingga kondisi yang menjadi kering secara musiman.
Kebakaran Hutan
Wilayah ini kemungkinan besar juga mengalami kebakaran hutan pada musim kemarau. Alternatifnya, kata peneliti, manusia yang mengunjungi gua bisa saja menggunakan api di dalam atau di dekat pintu masuk.
“Produk sampingan pembakaran yang terawetkan yang diidentifikasi dalam sedimen menunjukkan dua kemungkinan skenario, satu ketika kebakaran hutan kecil mungkin terjadi selama periode kekeringan regional dan/atau yang lain ketika manusia mengunjungi gua tersebut,” tulis para peneliti dalam studi tersebut.
Meskipun demikian, kebakaran hutan kemungkinan besar terjadi dalam skala kecil dan terbatas pada area terbuka di kanopi hutan.
“Penelitian ini memungkinkan tim kami untuk mengembangkan wawasan yang belum pernah ada sebelumnya mengenai dinamika nenek moyang kita saat mereka menyebar melalui tutupan hutan yang terus berubah di Asia Tenggara, dan selama periode ketidakstabilan iklim regional yang bervariasi,” jelas salah satu penulis dalam studi tersebut, Fabrice Demeter.