Sejarah Tradisi Syawalan di Pantura Jawa
Tradisi syawalan di Pulau Jawa telah berlangsung lintas generasi.
Sejarah Tradisi Syawalan di Pantura Jawa
Tradisi syawalan, yang diambil dari kata salah satu bulan dalam kalender Islam yaitu bulan Syawal, adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa untuk menyemarakkan pelaksanaan Idulfitri.
- Blak-blakan Jaksa Bongkar Kecurangan-Kecurangan Termasuk Dilakoni Kepala Desa
- Cerita Pilu dari Mampang, Sekeluarga Tewas Terjebak di Atas Kobaran Api Kepung Lantai Bawah
- Sederet Para Pesohor dari Dapil Jabar I Lolos ke Senayan, Ada Melly Goeslaw hingga Istri Ridwan Kamil
- Melihat Tradisi Mamanukan Khas Pantura Jawa Barat, Hadirkan Patung Burung Besar untuk Kendaraan Anak yang Disunat
Tradisi yang juga dikenal sebagai lebaran ketupat atau kupatan ini biasanya diadakan satu minggu setelah hari Idulfitri.
Ahli sejarah peradaban Islam Martina Safitry menjelaskan, bahwa tradisi syawalan kini sudah menjelma menjadi berbagai macam perayaan yang disesuaikan dengan budaya kearifan lokal.
"Tradisi syawalan itu identik dengan masyarakat Jawa, terutama karena beberapa waktu ini agak viral terkait dengan tradisi syawalan yang kemudian menjadi perayaan-perayaan, seperti balon di Pekalongan. Kalau sependek dari pencarian yang saya cari, memang banyak tradisi syawalan itu ada di wilayah pesisir Pulau Jawa," terangnya ketika dihubungi Merdeka, Rabu (17/4).
Martina kemudian menyebutkan perayaan syawalan yang variatif di Indonesia. Seperti di Pekalongan yang dirayakan dengan menerbangkan balon udara.
Wilayah utara pesisir Jawa tepatnya daerah Gunung Pati yang melaksanakan tradisi syawalan dengan Sesaji Rewanda atau aksi pemberian makan monyet di Goa Kreo, dan di Jepara dengan kegiatan Lomban atau perayaan Syawalan yang dilakukan para nelayan.
"Ada simbol-simbol nilai-nilai setempat yang kemudian dibuat tradisi untuk bisa mengungkapkan rasa syukur, atas dilaluinya bulan Ramadan dan juga memasuki hari ke tujuh bulan Syawal setelah puasa syawal," jelas Martina.
Terkait dengan sejarah tradisi syawalan, Martina mengungkap bahwa kerajaan-kerajaan Jawa adalah tempat di mana akar tradisi ini bermula, tepatnya di Keraton Solo dan Yogyakarta.
"Sebetulnya akan sulit melacak kapan dimulainya tradisi itu (tradisi syawalan), tapi di kerajaan-kerajaan besar seperti di Solo, di Yogya, itu sudah ada laporan yang menuliskan kapan tradisi syawalan atau grebeg syawal itu dimulai. Seperti contohnya di keraton Yogyakarta 1725 itu sudah ada grebeg syawal pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono pertama," lanjutnya lagi.
Bagian menariknya adalah, meski tradisi syawalan kental dengan komponen budaya Jawa, namun syawalan tercatat dilakukan pula di wilayah luar Pulau Jawa.
Martina menyebutkan mengenai tradisi bancaan di Kampung Singaraja, Bali. Hal ini bisa terjadi karena masyarakat muslim Jawa membawa tradisi syawalan dengan mengundang penduduk sekitar untuk makan bersama.
"Ini menjadi ajang silaturahmi antar warga Kampung Jawa dengan Kerajaan Buleleng," tutur Martina.
Syawalan ini pun menjadi tradisi khas Nusantara yang patut kita banggakan. Meski beberapa negara seperti Mesir dan Afghanistan menerapkan libur nasional selama tiga hari usai lebaran, namun perayaan meriah dengan sentuhan budaya lokal hanya dapat ditemui di bumi pertiwi.
Reporter magang: Alma Dhyan Kinansih