Sejarah Boven Digoel di Ujung Papua, Dulunya Jadi 'Pembuangan' Para Tokoh Besar Indonesia
Saat menjadi kamp pembuangan, Boven Digoel merupakan perpaduan kawasan rawa dan hutan yang iklimnya cukup panas.
Boven Digoel merupakan sebuah wilayah kabupaten di Provinsi Papua Selatan. Wilayah kabupaten ini baru terbentuk pada tahun 2002 sebagai pemekaran dari Kabupaten Merauke, bersamaan pula dengan terbentuknya kabupaten lain di selatan Papua yaitu Kabupaten Asmat dan Kabupaten Mappi.
Walaupun terhitung kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Merauke, namun Boven Digoel merupakan salah satu tempat bersejarah di Indonesia. Dulunya tempat itu menjadi lokasi pembuangan para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Sayuti Melik, hingga Marco Kartodikromo pernah dibuang di tempat itu.
-
Kapan Benteng Van Der Capellen dibangun? Mengutip dari beberapa sumber, Benteng Van Der Capellen ini berdiri sekira tahun 1824 bertepatan dengan Perang Paderi.
-
Mengapa Benteng Van Der Capellen dibangun? Faktanya, pemerintah Belanda cukup kesulitan menguasai daerah tersebut karena berbagai halangan sehingga menuntut mereka untuk mendirikan benteng pertahanan.
-
Kapan Benteng Duurstede dibangun? Benteng ini adalah peninggalan Portugis namun berakhir di tangan VOC pada 1691.
-
Kenapa Benteng Speelwijk dibangun? “Pendirian benteng dilatari ketika Belanda ingin menguasai secara politik dan ekonomi di wilayah Kesultanan Banten,” terang Arkeolog dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VIII, Juliana.
-
Kenapa Buleng digemari? Warga menyukai Buleng lantaran penampilannya yang menyenangkan, dengan suguhan musik tradisional Betawi, Gambang Kromong.
-
Kapan Benteng Speelwijk dibangun? Pada 1682 sejumlah fasilitas penunjang kolonialisme Belanda dibangun di sana, salah satunya benteng Speelwijk.
Lalu seperti apa sejarahnya dulu Boven Digoel sebagai tempat pembuangan para tokoh bangsa? Dan bagaimana kondisinya saat ini? berikut selengkapnya:
Jadi Tempat Pembuangan
Pemerintah Hindia Belanda memutuskan Boven Digoel sebagai tempat pembuangan para tawanan dan pemberontak negara sejak 18 November 1926.
Saat itu, tempat itu merupakan perpaduan kawasan rawa dan hutan yang iklimnya cukup panas. Satu-satunya akses menuju kamp itu hanyalah Sungai Digoel yang bisa dilalui dengan kapal motor. Di sepanjang sungai itu menjadi tempat bermukimnya berbagai suku di Papua.
Rombongan tawanan pertama yang tiba di Boven Digoel berjumlah 1.300 orang. Saat itu mereka ditempatkan di Tanah Merah, sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Boven Digoel. Pada tahun-tahun itu, ratusan orang meninggal karena kelaparan dan sakit.
Penderitaan selama di Boven Digoel membuat mereka mencoba melarikan diri ke Australia. Tapi hanya sedikit dari mereka yang berhasil. Sebagian dari mereka terpaksa kembali dan yang lainnya mati tenggelam.
- Pernah Melawan Penjajah Belanda Sampai 50 Tahun, Begini Sejarah Suku Basemah di Sumatera Selatan
- Menilik Sejarah Gunungkidul, Dulunya Tempat Pelarian Manusia Purba dari Banjir
- Jejak Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia, Berawal dari Perusahaan Besar Milik Belanda di Pantai Timur Sumatra
- Menggali Sejarah Tambang Mangan Kliripan di Kulon Progo, Primadona Pertambangan Indonesia yang Kini Terlupakan
Kondisi Para Tokoh Bangsa
Sementara itu, Mohammad Hatta lebih banyak menghabiskan waktu di Boven Digoel dengan banyak membaca buku. Buku-buku itu dibawa oleh orang Kaya-kaya yang merupakan penduduk asli Boven Digoel dengan bayaran sebesar 5 sen untuk setiap peti buku. Mereka mengangkut peti-peti itu dari kapal yang mengangkut Hatta menuju lokasi kamp tempat kediamannya selama di Boven Digoel.
Setiap dua kali seminggu Hatta akan mengajarkan tentang ilmu ekonomi dan ilmu filsafat kepada sesama tahanan di Boven Digoel. Ia menambah penghasilannya dengan menulis di surat kabar Pemandangan.
Sementara itu Sjahrir memilih masuk dalam kategori tahanan naturalis. Di sana ia mendapatkan sebuah rumah dari seng. Ia mengisi waktu di sana dengan bermain sepak bola dan berenang di sungai. Setelah 10 bulan di Boven Digoel, Sjahrir terkena penyakit Malaria dan merasakan penderitaan yang hebat. Setahun di Boven Digoel, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke kamp tahanan di Banda Neira, Maluku.
Kondisi Kamp Boven Digoel Saat Ini
Di Boven Digoel, kamp tahanan itu kini menjadi salah satu bangunan bersejarah. Dikutip dari kanal YouTube Kominfo Newsroom, bangunan penjara itu rata-rata dapat menampung sebanyak 50 orang narapidana dengan tempat tidur bersama seperti balai besar. Selain itu penjara tersebut memiliki ruang bawah tanah yang dipergunakan untuk menyimpan bahan makanan dan narapidana yang tidak patuh.
Adrianus Moromon, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Boven Digoel, mengatakan pihaknya berencana akan membangun sarana pendukung seperti museum dan galeri budaya di situs kamp tahanan itu.