Ilmuwan Menelisik Perilaku Asal Usul Ciuman, Siapa yang Memulai?
Ciuman telah menjadi simbol kasih sayang dalam berbagai budaya. Namun, apakah ini kebiasaan universal manusia atau hanya budaya tertentu?
Sebuah penelitian mencoba mengupas secara tuntas bagaimana awal mula orang-orang melakukan ciuman. Mengutip IFLScience, Kamis (31/10), sebagaimana diketahui, ciuman menjadi cara yang serbaguna untuk menunjukkan kasih sayang, keintiman, dan barangkali bagi sebagian negara mencerminkan rasa hormat.
Tetapi, pada penelitian terdahulu belum jelas bagaimana ciuman menjadi penting bagi spesies manusia. Beberapa berpendapat bahwa asal-usulnya berasal dari perilaku perawatan antara ibu dan bayi atau dalam bentuk pemberian makanan dengan mengunyah terlebih dahulu.
-
Apa yang diuji oleh ketiga ilmuwan tersebut? Mereka adalah trio ilmuwan yang berhasil memenangkan penghargaan Nobel Prize 2022 dengan jumlah hadiah sebesar 10 juta krona Swedia (USD915.000) atau Rp 14 miliar. Penghargaan tersebut diraih atas keberhasilannya dalam melakukan eksperimen mekanika kuantum dan menjelaskan titik lemah dari Teori Kuantum temuan Einstein.
-
Bagaimana para ilmuwan meneliti lukisan gua tersebut? Sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh arkeolog Indonesia Adhi Augus Oktaviana menggunakan teknik yang disebut pencitraan seri U ablasi laser, yang menurut mereka dalam penelitian tersebut adalah “aplikasi baru dari pendekatan ini”.
-
Bagaimana para ilmuwan memastikan asal usul senjata-senjata kuno itu? "Beberapa kilogram besi berkarat penuh lumpur tanpa bentuk dibungkus dengan aman dan dibawa keluar dari hutan untuk dibersihkan dan memastikan asal usul temuan ini," jelas Darius Kopciowski dari Konservator Monumen Provinsi Lublin.
-
Apa yang ditemukan oleh para ilmuwan? Ilmuwan menemukan dua spesies dinosaurus baru, yang hidup 66 juta tahun lalu.
Teori lain menyebut bahwa ciuman bisa menjadi semacam tes kecocokan untuk mencium atau mencicipi mikroflora pasangan guna menilai kesehatan genetik mereka. Karena belum jelas asal usulnya, para ilmuwan mencoba melakukan riset pada perilaku primata.
Hasilnya, sulit menemukan perilaku yang serupa dengan ciuman manusia. Beberapa hewan melakukan kontak erat seperti bergesekan, tetapi hanya simpanse dan bonobo yang memiliki perilaku serupa dengan ciuman.
Menurut Adriano R. Lameira dari Universitas Warwick, dalam studi komprehensifnya mengungkapkan bahwa perilaku perawatan, seperti membersihkan sesama kawan, adalah cara utama untuk membentuk dan memelihara ikatan sosial pada kera besar.
Dengan demikian, bisa jadi ciuman muncul sebagai sisa perilaku leluhur ketika kera saling merawat secara bersamaan. Lameira menulis bahwa pada manusia, ciuman mungkin bertahan karena efek hedonik tambahan yang menyenangkan secara fisik. Namun, studi lebih lanjut dibutuhkan untuk memvalidasi asumsi ini.
Hanya Sekadar Budaya?
Pada 2015, sebuah studi terhadap 168 budaya menemukan bahwa hanya 46 persen yang terlibat dalam ciuman romantis. Banyak budaya pemburu-peramu tidak mencium, dan sebagian bahkan menganggapnya menjijikkan. Ini menunjukkan bahwa ciuman mungkin hanyalah budaya tertentu, bukan perilaku universal pada manusia.
Dengan demikian, ciuman adalah praktik yang diatur oleh aturan. Ada waktu dan tempat untuk melakukannya, dengan aturan sosio-kultural yang mendalam yang menentukan siapa yang bisa mencium siapa dan bagaimana melakukannya, tergantung budayanya.
Misalnya, dalam budaya Romawi, ada beberapa jenis ciuman yang memiliki peran berbeda sesuai konteksnya – “osculum” adalah ciuman di pipi yang menandakan kasih sayang sosial dan keluarga (bukan romantis); “basium” adalah ciuman di bibir yang menandakan hubungan erat antara anggota keluarga atau pasangan tanpa konotasi seksual; dan “savium”, ciuman di bibir yang menyiratkan keinginan seksual antara pasangan.
Di Eropa Latin modern, dua ciuman di pipi bisa digunakan sebagai salam antara wanita atau lawan jenis (meski pria biasanya berjabat tangan), namun ada juga variasi regional. Di kesempatan lain, mencium cincin, tangan, atau kaki seseorang menunjukkan rasa hormat, terutama dalam konteks seremonial atau keagamaan.