Kisah Hidup Noyo Gimbal, Pejuang Anti Kolonial dari Blora
Hingga kini, tak ada yang tahu di mana makam Noyo Gimbal berada.
Hingga kini, tak ada yang tahu di mana makam Noyo Gimbal berada.
Kisah Hidup Noyo Gimbal, Pejuang Anti Kolonial dari Blora
Pada abad ke-18, di wilayah Blora pernah hidup seorang pejuang bernama Noyo Gimbal atau Noyo Sentiko. Pada masa hidupnya, ia pernah melakukan tapa brata di Gunung Genuk, wilayah pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Rembang.
Dilansir dari kanal Liputan6.com, Noyo Gimbal mengawali perlawanan terhadap kolonial Belanda dari daerah Rembang. Pada saat itu, keputusannya untuk memerangi Belanda disambut sorak-sorai masyarakat.
-
Siapa yang disebut Sontoloyo di masa lalu? Dahulu, Sontoloyo lumrah sebagai sebutan untuk orang-orang yang berprofesi sebagai pertenak bebek dan sesekali mengumbarnya ke area kampung.
-
Apa itu Sontoloyo? Sontoloyo memiliki arti bodoh, konyol, atau tidak beres.
-
Dimana TB Simatupang melakukan gerilya di Kulon Progo? Di Dusun Banaran, Desa Banjarsari, Kecamatan Samigaluh, terdapat sebuah rumah joglo tua.
-
Dimana warga Blora nobar? Titik nobar pertama ada di Halaman Kantor Bupati Blora. Tampak banyak warga Blora yang berkumpul menyaksikan pertandingan melalui layar Videotron yang terpasang di depan kantor Bupati.
-
Bagaimana Nyi Mas Gamparan melawan Belanda? Ia banyak melakukan penyerangan dari balik hutan, dan bersembunyi di pedalaman Banten.
-
Siapa yang berjuang untuk Indonesia? Kata-kata ini membangkitkan semangat juang dan patriotisme dalam diri setiap pemuda Indonesia.
Setelah itu, Noyo Sentiko mengumpulkan kekuatan di sebuah wilayah bernama Gunung Surak. Pasukannya terdiri dari para berandal Sedan dan Pamotan.
Dalam sebuah perang melawan tentara Belanda, mereka terjebak di tanah lapang daerah Tireman, Rembang. Pusakanya yang berwujud payung terbakar menjadi abu karena terkena meriam Belanda.
Namun, tekad pantang menyerah sudah menyatu dan tidak membuat mereka mundur selangkahpun. Hal ini membuat banyak rakyat bersimpati dan mendukung perjuangan Noyo Gimbal.
“Akhirnya para pejuang yang terdiri dari orang-orang Pribumi dan keturunan Cina, para berandal, santri, hingga kiai berkumpul di alun-alun Masjid Jami’ Lasem,” kata Sariman Lawantiran, Koordinator Komunitas Jelajah Blora, dikutip dari Liputan6.com.
Setelah Sholat Jumat, mereka Bersatu untuk angkat senjata melawan Kompeni Belanda. Mereka berjuang sampai mati mengorbankan jiwa dan raga untuk mengusir penjajah.
Pada saat itulah Noyo Gimbal bersumpah tidak akan memotong rambutnya hingga penjajah kolonial Belanda mundur dan hengkang dari bumi Jawa.
Karena lama bergerilya di gunung, hutan, desa, hingga kota, rambutnya terurai panjang. Hal inilah yang membuatnya mendapat julukan “Gimbal” di nama belakangnya.
Mbah Moeljadi, tokoh masyarakat dan sesepuh Desa Bangsri, Jepon, Blora, menjelaskan di kemudian hari perjalanan gerilya Noyo Gimbal sampai di Desa Bangsri.
Di sana, terjadi perang terbuka antara para pejuang pimpinan Noyo Gimbal dengan kompeni Belanda bersama antek-anteknya.
Pada perang itu, banyak musuh yang terbunuh sehingga rambutnya yang terurai panjang bercampur dengan darah.
Dari perjalanan gerilya tersebut, munculah nama-nama desa seperti Desa Ngrapah, Desa Nglorong, Desa Sitinggil, Desa Semampir, Desa Kemiri, Desa Sambeng, dan Desa Besah.
Karena perlawanan itu cukup masif, akhirnya Belanda kewalahan. Pihak kolonial mencari strategi untuk mengalahkannya dengan segala cara, termasuk siasat licik. Konon lewat makanan yang telah dicampur racun, Noyo Gimbal tidak sadarkan diri dan berhasil ditangkap.
“Karena tergolong sakti dan punya banyak kelebihan, tubuh Noyo Gimbal diikat, dimasukkan ke dalam tong besar, dipatri, lalu diceburkan ke laut,” kata Mbah Moeljadi.
Hingga kini, tak ada yang tahu di mana makam Noyo Gimbal berada. Hanya ada satu monumen di Desa Bangsri, Kecamatan Jepon, Blora, yang dibuat untuk mengenang jasa-jasa Noyo Gimbal.